, ,

ICW-HRW Dorong KPK Prioritas Usut Korupsi Kehutanan

Indonesia Corruption Watch (ICW) bersama dengan Human Rights Watch (HRW) mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memprioritaskan pengusutan kasus-kasus korupsi di sektor kehutanan. Joe Saunders,  Wakil Direktur Program HRW dalam jumpa pers, mengatakan, dengan menjadikan sektor kehutanan prioritas, KPK tidak saja berperan memberantas korupsi namun mencegah kerusakan hutan lebih luas di Indonesia.

Kedua lembaga ini mendorong KPK tak hanya pada penindakan juga pencegahan. Emerson Yuntho, Anggota Badan Pekerja ICW, mengatakan, KPK belum maksimal mengusut korupsi sektor kehutanan. Penegakan hukum belum banyak menjerat pelaku kunci, seperti korporasi.

Adapun modus korupsi yang kerab terjadi di sektor kehutanan, katanya,  terkait perizinan hutan tak prosedural, misal surat keterangan sahnya hasil hutan dikeluarkan lewat dokumentasi sah. “Dokumentasi sah tapi perolehan tidak sah,” katanya dalam jumpa pers bersama ICW-HRW di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (7/11/13).

Praktik korupsi yang marak, kata Emerson, menyebabkan pengawasan hutan tak efektif hingga pembabatan hutan tinggi dan mempercepat deforestasi. Dampak korupsi pula, alih fungsi lahan dari hutan menjadi perkebunan tak terkendali. Berjuta-juta hektar hutan dikonversi menjadi perkebunan dan berbagai keperluan lain. “Lebih parah korupsi menjadikan praktik illegal logging menjadi legal logging.”

Dari catatan ICW, sejak KPK berdiri, akhir tahun 2003 hingga Agustus 2012, setidaknya ada tujuh perkara korupsi sektor kehutanan telah dan sedang ditangani. Dari perkara-perkara itu, tercatat 26 aktor diproses KPK, diadili dan divonis oleh pengadilan tipikor.

Mayoritas menjalani pidana penjara di lembaga pemasyarakatan. Mereka terdiri dari 15 orang dari lingkungan eksekutif baik mantan kepala daerah, pejabat dinas atau Kementerian Kehutanan atau Dinas Kehutanan provinsi, enam orang politisi atau legislatif dan lima orang swasta.

HRW pun secara resmi pada 6 November 2013, menyerahkan laporan berjudul Sisi Buruk Pertumbuhan Hijau: Dampak Tata Kelola yang Lemah dalam Sektor Kehutanan terhadap Hak Asasi Manusia.  Temuan penting dalam laporan ini, tentang sistem sertifikasi legalitas kayu di Indonesia, yang disertakan dalam perjanjian perdagangan Indonesia-UE, tak cukup mengatasi pelanggaran yang bisa menjalar pada hak atas tanah dan korupsi sektor kehutanan.

Laporan HRW bersama ICW kepada KPK mengenai soal kejahatan sektor kehutanan termasuk korupsi bukan kali pertama. Sebelumnya 3 Desember 2009, HRW menyampaikan penelitian berjudul Dana Liar: Konsekuensi Pembalakan Liar dan Korupsi di Sektor Kehutanan Indonesia pada Hak Asasi Manusia. ICW menyerahkan penelitian tentang korupsi dalam pemberantasan illegal logging.

Joe Saunders,  Wakil Direktur Program HRW  (tengah), Emerson Yuntho, Anggota Badan Pekerja ICW (kanan) dan Andreas Harsono, peneliti HRW (kiri), saat jumpa pers di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (7/11/13). Foto: Emily Harwell
Joe Saunders, Wakil Direktur Program HRW (tengah, Emerson Yuntho, Anggota Badan Pekerja ICW (kanan) dan Andreas Harsono, peneliti HRW (kiri), saat jumpa pers di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (7/11/13). Foto: Emily Harwell

Joe mengatakan, memakai data produksi pemerintah dan industri, HRW menaksir Indonesia kehilangan sekitar US$2 miliar atau setara Rp22 triliun) atas pajak tak tertagih karena pembalakan liar dan subsidi tak diakui pada 2011. Angka ini dalam kurun waktu setahun setelah sistem legalitas kayu wajib bagi pelaku industri.

Perjanjian perdagangan kayu terbaru, antara Indonesia dan Uni Eropa ditandatangani 30 September 2013 di Brussels, disebut perjanjian kerjasama sukarela (voluntary partnership agreement). Tujuannya, mencegah praktik-praktik ilegal.

Sayangnya, kata Joe, sertifikasi kayu, yang mendasari perjanjian  ini, tak memadai. Sistem ini,  hanya mengaudit perusahaan-perusahaan untuk memeriksa apakah penjual kayu mengantungi izin. “Namun, tak mengecek apakah izin diperoleh tanpa korupsi atau pelanggaran hak tanah masyarakat.”

Sedangkan, riset ICW menunjukkan, potensi kerugian negara sektor non pajak kawasan hutan selama kurun waktu 2004-2007 mencapai Rp169,797 triliun. Nilai itu,  didapat dari perhitungan selisih antara potensi penerimaan negara dari dana reboisasi (DR) dan provisi sumber daya hutan (PSDH) dikurangi pendapatan negara yang diterima.

Dari perhitungan ICW, seharusnya negara memperoleh Rp217,629 triliun dari dana reboisasi hutan dan PSDH akibat pembukaan lahan perkebunan sawit seluas  8 juta hektar. Namun, data Kemenhut, total penerimaan negara dari kedua pos itu hanya Rp47,8 triliun.

Tak hanya itu. Secara perkara per perkara,  kerugian negara sangat luar biasa. Misal, kerugian negara akibat operasi 14 perusahaan yang dinilai bermasalah di Riau. Data Satuan Tugas Mafia Hukum menyebutkan,  total kerugian perusakan  lingkungan pada 14 perusahaan di Riau  Rp1,9 triliun.

ICW juga menginvestigasi perkara korupsi kehutanan bersama Save Our Borneo (SOB) di Kalimantan Tengah dan Kontak Rakyat Borneo (KRB) di Kalimantan Barat pada 22 perusahaan di empat kabupaten. Yakni, Sambas, Ketapang, dan Bengkayang (Kalimantan Barat) dan Seruyan (Kalimantan Tengah). Hasilnya cukup mengejutkan. Total kerugian negara dari empat kabupaten ini mencapai Rp9,14 Triliun. “Data ini setidaknya menunjukkan kerugian negara dari praktik kejahatan kehutanan sangat dahsyat,” ucap Emerson.

Untuk itu, jika korupsi dikategorikan kejahatan luar biasa (extra ordinary), sudah selayaknya kejahatan kehutanan masuk kejahatan sangat luar biasa (very extra ordinary). Jadi, cara-cara memberantasnya harus dengan cara-cara sangat luar biasa pula.

Sumber: Human Rights Watch
Sumber: Human Rights Watch
Microsoft Word - daftar kehutanan-Perkiraan Kerugian Negara Akib
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,