Laporan: HSBC Diduga Terlibat Perusakan Hutan Bernilai Konservasi Tinggi

Dalam sebuah laporan yang baru saja diterbitkan oleh Environmental Investigation Agency (EIA) mengungkapkan aktivitas perbankan yang dilakukan oleh HSBC yang berkontribusi dalam perusakan hutan hujan tropis di Asia Tenggara, termasuk Indonesia melalui program pinjaman yang mereka berikan kepada sejumlah perusahaan kelapa sawit yang merusak habitat alami spesies-spesies langka dan dilindungi.

Laporan ini juga menyebutkan bahwa HSBC telah melanggar komitmen ‘green‘ mereka dengan menempatkan orangutan dan sejumlah spesies lainnya dalam bahaya.

Pinjaman ini termasuk bantuan finansial senilai 200 juta dollar AS kepada Bumitama Agri, sebuah perusahaan kelapa sawit yang beroperasi di Ketapang, Kalimantan Barat dan mengakibatkan sejumlah orangutan harus diselamatkan setelah habitat mereka dibuldoser oleh perusahaan ini. Empat individu orangutan yang berhasil diselamatkan bahkan nyaris tewas setelah mengalami kelaparan dan dua individu lainnya hilang.

Pembukaan hutan oleh anak perusahaan Bumitama Agri di Kalimantan Tengah. Foto: COP
Pembukaan hutan oleh anak perusahaan Bumitama Agri di Kalimantan Tengah. Foto: COP

Dalam kasus lainnya, HSBC juga dituding telah memberikan bantuan senilai 470 juta dollar AS kepada Triputra Agro yang diduga telah membabat hutan di kawasan Lamandau, yang menjadi rumah bagi sejumlah owa dan spesies-spesies terancam lainnya. Ironisnya, HSBC sendiri memiliki komitmen internal dalam perusahaan mereka untuk tidak memberikan pinjaman kepada aktivitas yang terkait dengan penghancuran wilayah-wilayah yang bernilai konservasi tinggi.

“Klien HSBC yang berjumlah 60 juta orang di seluruh dunia akan kaget melihat kenyataan bahwa perusahaan dengan kredibilitas setinggi itu dan dengan merk yang terpercaya ternyata mengambil keuntungan dari deforestasi dalam skala besar, meski banyak peroyek mereka sudah membangun pencitraan perusahaan yang berkelanjutan,” ungkap juru bicara EIA Jago Wadley dalam pernyataannya,

Namun, hal ini disanggah oleh pihak HSBC. “Kami adalah salah satu bank yang memperkenalkan kebijakan kehutanan, dimana dinyatakan bahwa kami tidak akan mendanai alihfungsi hutan dengan nilai konservasi tinggi untuk perkebunan,” ungkap perwakilan perusahaan tersebut yang tidak disebutkan identitasnya, seperti dilansir oleh IBTimes UK. “Dalam kasus kelapa sawit kami memiliki preferensi terhadap klien-klien yang melakukan sertifikasi dibawah skema RSPO.”

RSPO atau Roundtable on Sustainable Palm Oil adalah lembaga yang mengatur proses produksi perusahaan-perusahaan kelapa sawit di dunia agar melakukan produksi yang sesuai dengan prinsip-prinsip ramah lingkungan dimana HSBC menjadi salah satu anggota Dewan Eksekutifnya. Sementara, RSPO sendiri kini banyak menerima protes dari lembaga-lembaga konservasi lingkungan karena dianggap tidak bergigi dan diilai sebagai sekedar upaya ‘greenwash’ atau pencitraan perusahaan-perusahaan kelapa sawit di dunia agar dinilai ramah lingkungan.

“HSBC memang telah mengadopsi prinsip-prinsip ramah lingkungan, namun mereka menyerahkan tanggung jawab pelaksanaannya kepada pihak lain. Terlalu mudah bagi mereka untuk menyerahkan tanggung jawab kepada RSPO. Yang menjadi kekhawatiran kami adalah ini merupakan industri dimana mereka hanya berupaya memastikan bahwa produksi kelapa sawit terus berjalan,” ungkap Paul Newman dari EIA.

Tak terima dinilai sebagai macan ompong, pihak RSPO pun menyanggah melalui juru bicara mereka. “Keanggotaan dan sertifikasi tidak sekedar komitmen kepada publik, namun hal ini dibuktikan dengan proses audit tahunan secara independen, serta serifikasi pihak ketiga terhadap prinsip-prinsip dan kriteris yang dietapkan RSPO. Setiap anggota yang tidak patuh terhadap peraturan ini  akan menerima konsekuensi  penilaian dari publik dan tekanan publik.”

Untuk membaca lebih lengkap laporan yang dirilis oleh EIA, silakan klik di link ini: http://www.eia-international.org/wp-content/uploads/EIA-Banking-on-Extinction-FINAL-lo-res.pdf 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,