,

Upaya Adil untuk Menyelamatkan Hutan Dunia: Jangan Menaruh Beban Pada si Miskin

Bahwa warisan hijau Presiden Yudhoyono mungkin dalam bahaya telah menjadi sorotan Harrison Ford, -seorang megabintang Hollywood dan aktivis lingkungan-, dalam kunjungannya ke Indonesia beberapa waktu yang lalu.

Ford berada di Indonesia untuk melakukan pengambilan gambar dari serial film ‘Years of Living Dangerously’, yang merupakan paket dokumentari tentang perubahan iklim. Perjalanannya ke Kalimantan Tengah dan Riau, seperti yang digambarkan oleh Michael Bachelard dari Sydney Morning Herald, adalah untuk menjadi saksi kehancuran hutan tropis Indonesia.

Kunjungan Ford menyoroti dua masalah yaitu tentang perambahan ilegal di Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) Riau dan kawasan konsesi ekosistem restorasi yang ijinnya sedang diminta oleh sebuah perusahaan swasta PT Rimba Makmur Utama (RMU) di Katingan, Kalimantan Tengah. Kasus-kasus ini menjadi sasaran utama dalam upaya untuk mengungkap kelemahan komitmen Presiden Yudhoyono dalam melindungi hutan negara.

Pelajaran Mahal untuk REDD+

Sebagai negara yang berusaha untuk menjalankan REDD+, -sebuah sistem yang mendorong agar masyarakat internasional membayar untuk pengurangan laju deforestasi-, kasus di atas menyoroti langsung pada kesulitan yang sangat nyata di lapangan terutama dalam upaya mengurangi hilangnya tutupan hutan kaya karbon yang tidak boleh ditebang.

Skema REDD+ menuntut pelaksanaan Free, Prior and Informed Consent/FPIC (Persetujuan atas Dasar Informasi Awal Tanpa Paksaan) dari warga masyarakat yang lahannya akan digunakan dalam proyek, termasuk menuntut pembagian yang adil kompensasi pembayaran yang akan diterima oleh masyarakat karena tidak lagi diperbolehkan untuk menebang pohon.

Namun di lapangan seringkali orang-orang lokal hanya memiliki sedikit pilihan mata pencaharian serta ketidakcukupan sumberdaya untuk berinvestasi dalam hal-hal yang legal. Akibatnya adalah mereka terpaksa memanen pohon.

Oleh sebab itu, perlu dipastikan bahwa salah satu tujuan utama konservasi dan restorasi ekosistem adalah untuk memberikan dukungan dalam pembangunan berkelanjutan masyarakat lokal, baik yang hidup di dalam maupun yang berada di sekitar wilayah izin konsesi restorasi ekosistem. Dengan cara ini, masyarakat akan menjadi aset bagi proyek-proyek konservasi dan restorasi, bukan lagi ancaman.

Selama 3 tahun terakhir banyak pelajaran berharga dan mahal dalam upaya untuk menciptakan hasil yang layak dalam bidang pencegahan deforestasi, konservasi hutan dan lahan gambut, serta upaya pemulihannya. Upaya besar telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Kehutanan, yang melibatkan sektor swasta dan LSM.

Hutan yang terancam oleh pembukaan jalan, foto jalan eksisting tambang. Foto: Burung Indonesia
Pembukaan jalan berpacu dengan hamparan kawasan restorasi ekosistem. Foto jalan tambang eksisting.  Foto: Burung Indonesia

Namun, dari pelajaran ini telah menjadi jelas bahwa upaya konservasi dan restorasi tidaklah mudah. Menghindari deforestasi dan memulihkan kawasan hutan gambut merupakan paradigma baru yang coba dilakukan oleh para pemangku kepentingan. Sebuah proses eksperimental di alam, dan sangat wajar jika terjadi beberapa kesalahan yang dilakukan.

Kita belajar dari situasi di mana dimulai dari banyak hal yang tidak beres. Konsesi ekosistem restorasi pertama didirikan pada tahun 2005 dan dikelola oleh PT Restorasi Ekosistem Konservasi Indonesia (REKI) di Jambi.

Saat ini di lokasi konsesi menderita karena perambahan oleh penebang liar dan pengembangan perkebunan kelapa sawit ilegal. REKI juga dituduh oleh LSM telah mengabaikan hak-hak masyarakat atas wilayah adat mereka. Selain itu, daerah ini terancam oleh pembangunan jalan 51 kilometer yang direncanakan akan melintasi wilayah restorasi untuk pengangkutan batubara.

Pelajaran berharga lain berasal dari Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) Riau.  Pada awalnya taman nasional ini ditunjuk dengan luas 38.576 ha pada tahun 2004 dan pada tahun 2009 diperluas untuk mencakup luasan 83.068 ha. Tesso Nilo dikelola melalui kolaborasi antara Kementerian Kehutanan (Kemenhut) dengan WWF dengan tujuan bersama untuk melindungi keanekaragaman hayati di kawasan taman nasional. Hal ini didukung oleh dana dari beberapa lembaga donor asing.

Namun kini Tesso Nilo menderita perambahan, penebangan liar dan pemukim ilegal yang telah mengubah sebagian dari taman nasional ini menjadi perkebunan kelapa sawit.

Analisis citra udara menunjukkan bahwa selama dekade terakhir 46.960 ha Tesso Nilo telah menghilang. Laporan terbaru yang dikeluarkan oleh Greenpeace menyebutkan bahwa salah satu perusahaan kelapa sawit terbesar di dunia melakukan penanaman ilegal di dalam taman nasional .

Belajar dari pengalaman Tesso Nilo, ternyata kolaborasi antara Kemenhut dan WWF saja tidaklah cukup kuat untuk mencegah perambahan substansial ke dalam taman nasional. Tampak pula bahwa penegakan hukum di kawasan konservasi dan wilayah restorasi di daerah masih belum diberikan prioritas yang layak.

Di satu sisi, para pemegang izin konsesi penebangan, perkebunan kayu dan restorasi ekosistem bertanggung jawab untul daerah yang diberikan kepada mereka. Mereka diminta untuk mematuhi hukum negara, termasuk mencegah dan memerangi kebakaran, menjaga daerah mereka dari praktek penebangan liar dan konversi penggunaan lahan.

Namun menangkap dan membawa para pembalak liar dan pelaku lainnya ke pengadilan adalah tetap merupakan tanggung jawab aparat penegak hukum, seperti polisi, jaksa dan polisi hutan.

Tugas penegakan hukum perlu diperkuat melalui pendekatan kesejahteraan lokal untuk memastikan dalam jangka panjang upaya win-win solution dalam melaksanakan pembangunan berkelanjutan dapat terjalankan.

Masyarakat lokal dan pemangku kepentingan lokal perlu memperoleh informasi yang lengkap dan dapat langsung terlibat dalam perlindungan kawasan.

Kerusakan lahan gambut akibat pembukaan lahan.  Foto: Rhett Butler
Area kawasan gambut yang dibuka. Foto: Rhett Butler

Memperoleh Fakta yang Benar

Belajar dari deforestasi yang merajalela pada contoh kasus di atas, Kemenhut perlu untuk melakukan peningkatan kapasitas pemegang konsesi untuk secara efektif mampu melindungi konsesi mereka dan melakukan kegiatan pengentasan kemiskinan.

Pemerintah karenanya perlu meminta perusahaan seperti RMU untuk menunjukkan komitmen dan rencana kerja untuk menunjukkan kapasitas mereka untuk mengelola dan melindungi wilayah seluas 203.570 ha sebelum ijin konsesi tersebut diterbitkan.

Karena perusahaan tidak memiliki sejarah panjang dalam pengelolaan hutan dan lahan gambut, Kemenhut berkemungkinan untuk melakukan pengurangan terhadap areal konsesi yang diminta oleh perusahaan, setelah belajar dari situasi yang terjadi di tempat lainnya.

Dari sisi Kemenhut, lebih bijaksana untuk mengambil pendekatan bertahap, lewat ukuran kawasan yang mampu dikelola oleh pihak berkepentingan serta meninjau kinerja perusahaan secara reguler.

Lepas dari itu semua, tanggung jawab untuk mengurangi laju deforestasi tetap terletak di tangan pemerintah dan tidak dapat diteruskan begitu saja kepada perusahaan swasta atau LSM.

Membandingkan komitmen Presiden Yudhoyono untuk melindungi hutan Indonesia dan area lahan gambut dengan permintaan RMU untuk 203.500 hektar izin restorasi, -seperti yang telah dilakukan oleh Ford-, tidaklah adil.

Kawasan 63 juta hektar berhutan primer dan lahan gambut sekarang secara hukum hukum dilindungi di bawah Kebijakan Moratorium.  Alih-alih menempatkan tekanan pada pemerintah Indonesia melalui media internasional atau dengan advokasi aktor Hollywood, akan lebih elok bagi perusahaan untuk menunjukkan modal dan kecukupan sumber daya manusia untuk mengelola hutan dan ekosistem lahan gambut yang mereka miliki.

Melindungi hutan dan lahan gambut tidaklah murah. Belajar dari kasus di atas, memerlukan pendekatan terpadu berdasarkan pemahaman sosial, ekonomi dan ekologis. Transparansi tingkat tertinggi harus tertanam dalam upaya perwujudan tata pemerintahan yang baik.

Itu berarti meningkatkan koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah, termasuk turut menciptakan insentif ekonomi yang positif bagi masyarakat lokal dan para pemangku kepentingan yang lain.

“Ini akan menjadi adil dan merata jika seluruh dunia memberikan kontribusi terhadap upaya negara-negara yang tulus untuk turut melindungi dan melestarikan hutan mereka,” demikian Presiden Yudhoyono.

Ini akan menjadi langkah ke arah yang benar jika negara-negara maju menaruh uang mereka seperti yang telah direkomendasikan oleh para pakar perubahan iklim, daripada hanya menjatuhkan beban pada si miskin.  Dengan demikian kita semua akan memperoleh keuntungan dari kolaborasi dalam mitigasi perubahan iklim.

Yani Saloh, Asisten Staf Khusus Presiden Republik Indonesia untuk Perubahan Iklim

Tulisan ini adalah opini penulis.  Tulisan ini merupakan terjemahan dari judul asli “Equitable efforts to save the world’s forests: Don’t put the burden on the poor” oleh Yani Saloh

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,