, , , ,

Diduga Dampak Limbah Sawit, Ratusan Kerbau Rawa di Kalsel Mati

Kerbau rawa mati satu per satu. Wargapun mengajukan gugatan ke pengadilan, meminta ganti rugi perusahaan yang diduga menyebabkan kerusakan habitat kerbau rawa.

Warga Desa Bajayau Tengah, Kecamatan Daha Barat Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan (Kalsel) mengeluhkan limbah perkebunan sawit, PT Subur Agro Makmur (SAM),  yang diduga mencemari sungai di desa mereka. Limbah dari anak usaha Astra Group yang beroperasi sejak 2007 itu mengalir langsung ke Sungai Negara dan diduga menjadi penyebab kematian ratusan ekor ternak kerbau rawa milik warga.

Akhirnya, 139 warga yang tergabung dalam enam kelompok mengajukan gugatan ganti rugi kepada SAM sebesar Rp3,760 miliar.”Kami menduga pembuangan limbah itu menjadi penyebab asal mula kenapa ekosistem kerbau rawa ini terganggu dengan mati satu persatu, hingga kami menuntut ganti rugi,” kata Syamsudin, Ketua kelompok Anugerah Bersama, Rabu (13/11/13), seperti dikutip dari JPNN.

Dia mengatakan, data sensus Dinas Peternakan Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS), sebelum ada perusahaan, warga mempunyai 635 kerbau rawa. Kala perusahaan hadir, ternak mati satu per satu. Saat ini, tersisa sekitar 130 kerbau atau berkurang hampir 500 ekor dalam tiga tahun terakhir. “Memang tidak semua mati mendadak, ada yang sakit dan disembelih untuk dijual karena kami tidak ingin rugi banyak walaupun jual sangat murah.”

Masih dikutip dari JPNN, di lapangan, tampak ujung kanal milik perusahaan berupa bangunan permanen berukuran sekitar 4 X 5 meter diduga rumah pompa pembuangan saluran. Salah satu dinding yang mengarah ke sungai ada empat paralon besar. Ini diduga saluran pembuangan limbah yang mengalir ke Sungai Negara. Di rawa,  yang menjadi lahan peternakan warga itu tampak bangkai kebau mengeluarkan aroma menyengat.

Pada Rabu (13/11/13) siang sekitar pukul 13.00, Pengadilan Negeri bersama Kejaksaan Negeri (Kejari) Kandangan dan pengacara warga turun ke lapangan melihat langsung obyek keluhan warga. Tim ini melihat langsung kanal perusahaan yang dialirkan ke Sungai Nagara, tempat kerbau rawa. Namun, mereka tak mendatangi kalangan warga, yang kala itu ada bangkai kerbau.

Dwitho Frasetiandy, Direktur Eksekutif Walhi Kalsel meminta perhatian serius dari berbagai pihak,  terutama SAM dan Pemkab HSS.“Kami mendesak pemkab, baik bupati ataupun Badan Lingkungan Hidup Daerah tak berdiam diri dengan permasalahan ini. Juga perusahaan. Mereka harus turut bertanggung jawab, karena kematian kerbau-kerbau itu makin massif pasca perkebunan beroperasi.”

Menurut Dwitho,  harus ada audit lingkungan oleh pihak independen, sebagaimana diatur dalam Pasal 50 UU No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.”“Kasus ini bisa jadi pintu masuk bagi kasus-kasus pencemaran lain di perkebunan sawit skala besar di Kalsel. Banyak pelaku kejahatan tidak tersentuh hukum khusus kejahatan lingkungan membawa keresahan masyarakat.”

Saat ini, di Kalsel, terjadi pembukaan lahan rawa seluas 201.892 hektar untuk perkebunan sawit yang dikuasasi 19 perusahaan perkebunan. Padahal,  pada 2011, dalam Pekan Rawa Nasional 1 di Kalsel, pemerintah mencanangkan rawa sebagai lumbung pangan menghadapi perubahan iklim. Kenyataan di lapangan, bertolak belakang. “Justru lahan rawa yang selama ini menjadi wilayah kelola masyarakat jadi perkebunan sawit skala besar,” ujar dia.

Dia mengatakan, penbukaan rawa besar-besaran akan berdampak pada perubahan ekosistem lingkungan satwa. Keadaan ini bisa berdampak pada peningkatan serangan hama padi dan ikan akibat ekosistem rusak. “Terjadi peningkatan serangan hama belalang, tikus, burung pada sawah dan serangan ular, biawak dan pada ekosistem koloni ikan.”

Pencemaran lingkungan akibat pemakaian pupuk dan pestisida dalam jumlah banyak juga kemungkinan terjadi. Sebab, pemupukan dan penggunaan pestisida, insektisida dan herbisida dalam jumlah besar akan menyebabkan pencemaran air, penurunan kesehatan lingkungan, dan menurunkan produktivitas ternak.

Lewat rilis, perusahaan membantah dugaan pencemaran di Sungai Negara,  karena limbah mereka. Dikutip dari JPNN, mereka malah mengaku peduli sektor peternakan dengan bekerjasama dengan Dinas Peternakan Kabupaten Hulu Sungai Selatan, sebelum peristiwa itu terjadi.

Meskipun di rawa saat itu ada bangkai kerbau yang baru mati, manajemen perusahaan menyatakan, peristiwa itu terjadi akhir 2011. Iwan Setiawan, Humas SAM, Sabtu (16/11/13) menyatakan, meski bukan disebabkan pembuangan limbah perkebunan sawit, mereka tetap memberikan perhatian dengan memberikan pengobatan kepada kerbau-kerbau yang sakit.

Iwan menegaskan, tidak benar jika kerbau-kerbau rawa mati lantaran ada pembuangan limbah perkebunan sawit. Mereka tak pernah membuang limbah ke Sungai Negara maupun kalang kerbau. “Sampai sekarang, perusahaan belum mempunyai pabrik. Artinya perusahannya tidak mempunyai limbah.”

Namun, dia mengakui jika di musim penghujan, perkebunan sering terendam air limpasan Sungai Negara dan air hujan. Hingga ada aliran air masuk ke penggembalaan dari sungai. “Bisa jadi dari kebun kami, namun itu karena elevasi. Soalnya kalang kerbau rata-rata lima meter, kebun kami delapan meter dari permukaan laut. Otomatis air mengalir ke tempat lebih rendah.”

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,