,

Nelayan Teluk Mayalibit Lestarikan Kembung Lewat Peraturan Kampung

Masyarakat nelayan di Kampung Warsambin dan Kampung Lopintol, Teluk Mayalibit, Raja Ampat, Papua Barat,  berupaya melestarikan populasi ikan lema (Rastrelliger sp), atau ikan kembung dengan membuat peraturan kampung.

Kembung merupakan produk unggulan Teluk Mayalibit, tetapi belakangan ini pasokan mulai menipis. Permintaan dan harga yang tinggi, menyebabkan penangkapan berlebih. Dampaknya, pasokan ikan menyusut, hasil tangkap nelayan pun minim. Padahal, pada 1980-an, nelayan bisa menangkap kembung hingga ratusan bahkan ribuan ekor dalam semalam.

“Sekarang, sudah tidak seperti dulu lagi. Walaupun sudah semalamam di laut, hanya bisa mendapat puluhan. Bahkan terkadang tidak dapat hasil tangkapan sama sekali,” kata Jufri Labago, nelayan di Kampung Lopintol, dalam rilis Rare kepada media dari Warsambin, pertengahan November 2013.

Untuk itu, sejak Oktober 2013, Pemerintah Distrik Teluk Mayalibit bekerja sama dengan Conservation International Indonesia (CII) Raja Ampat dan Rare. Dua lembaga ini memfasilitasi pemerintah Kampung Warsambin dan Kampung Lopintol,  membentuk kesepakatan kampung tentang pengaturan waktu penangkapan lema ini.

Nelayan pun sepakat menghentikan penangkapan kembung setiap Sabtu malam dan Minggu malam,  selama musim puncak ikan bertelur di saat bulan gelap, yaitu September, Oktober dan November. Penghentian tangkap ini memberi kesempatan induk kembung melepaskan telur.

Tak hanya itu. Nelayan juga setuju berhenti menangkap kembung setiap Sabtu malam sepanjang tahun. Yonathan Wutoy, nelayan muda dari Kampung Warsambin mengatakan, kembung merupakan mata pencarian dan sumber protein masyarakat di sana sejak zaman dulu. “Penting bagi kami membiarkan ikan lema bertelur dan membesar agar bisa tetap tersedia,” katanya.

Pada 8 November 2013, Sidang Badan Musyawarah Kampung (Bamuskam) di Kampung Warsambin, ibukota Distrik Teluk Mayalibit, resmi menetapkan dan mengesahkan Peraturan Kampung Nomor 1 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pengelolaan Sumber Daya Ikan Lema. Teluk Mayalibit ditetapkan sebagai kawasan konservasi perairan daerah (KKPD) melalui Perda No. 27 tahun 2008 dengan luas 53.100 hektar.

Kajian ekologis oleh Conservation International Indonesia (CII) menunjukkan, habitat hutan bakau dan padang lamun yang sangat baik membuat Teluk Mayalibit menjadi daerah pemijahan dan pembesaran utama bagi kembung. Ikan ini paling banyak ditangkap untuk dijual dan dikonsumsi masyarakat Raja Ampat.

Pada 2011-2012, Dian Oktaviani, mahasiswi  S3 Jurusan Biologi Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia, melakukan penelitian dan menemukan,  Teluk Mayalibit kaya udang halus (ebi) sebagai makanan kembung. Juga ada arus kuat sebagai jalur migrasi kembung ke teluk ini.

Data Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Raja Ampat menyatakan, tahun 2006 kurang lebih 162 rumah tangga perikanan atau sekitar 731 orang tergantung pada hasil laut atau menjadi nelayan penangkap kembung. Data valuasi ekonomi dari CII dan Universitas Negeri Papua (Unipa) menunjukkan,  produksi kembung di Teluk Mayalibit pada 2006 sebesar 144 ton per tahun dengan penerimaan kotor Rp1,4 miliar per tahun.

Proses pengesahan peraturan kampung tentang penangkapan lema di Teluk Mayalibit. Foto: Rare
Proses pengesahan peraturan kampung tentang penangkapan lema di Teluk Mayalibit. Foto: Rare
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,