Suryadi, Berkeras Tangani Kasus Sumberdaya Alam Kendati Tak Hasilkan Materi

Belum sempat beristirahat setelah lima jam menempuh perjalanan Pekanbaru-Bengkalis, Suryadi bergegas keluar dari mobil memasuki ruang sidang Pengadilan Negeri Bengkalis. Tiga majelis hakim, panitera Aminah, Penuntut Umum Zia Ulfattah dan terdakwa Yannas sudah berada dalam ruang sidang.

Pagi itu, pukul 11.25, Kamis, 31 Oktober 2013 sidang kasus penembakan oleh masyarakat terhadap pekerja PT Riau Andalan Pulp and Paper dengan agenda pembacaan putusan akan segera dilakukan. Dalam persidangan ini hakim menyatakan terdakwa Yannas bersalah, karena melakukan penembakan terhadap pekerja PT RAPP bernama Chodirin tanggal 13 Juli 2013 silam. Hakim memutuskan terdakwa Yannas, yang merupakan warga yang merasa dirugikan oleh PT RAPP dengan hukuman di balik jrusi selama 16 tahun.

Itulah sekelebat gambaran aktivitas Suryadi. Seorang pengacara yang kerap kali membela masyarakat berkonflik dengan perusahaan bidang pulp and paper, kelapa sawit maupun tambang dan pemerintah di sektor sumberdaya alam. Ia mulai membela masyarakat terkait hak atas sumberdaya alam bermula tahun 2008 atas konflik masyarakat Suluk Bongkal melawan PT Arara Ababdi di Bengkalis. Sejak saat itu, Suryadi peduli pada lingkungan.

Lepas sebagai Direktur LBH Pekanbaru dan Dewan Daerah Walhi, selain menjadi pengacara, mengajar di Fakultas Hukum Uiversitas Riau, kuliah di pasca sarjana Fakulas Hukum Universitas Islam Riau dan terlibat dalam aktifitas penyelamatan hutan, merupakan aktifitas lainnya.

Suryadi, kelahiran Sungai Pakning, Bengkalis pada 21 Maret 1978,juga saat ini menjadi advokat gugatan Perubahan Iklim yang diajukan delapan warga Riau bersama Jikalahari dan ICEL dengan mekanisme citizen lawsuit terhadapa Presiden, Menteri Lingkungan Hidup, Menteri Kehutanan dan Gubernur Riau di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. suryadi juga menjadi advokat gugatan asap yang diajukan oleh Walhi dengan mekanisme legal standing. Proses peradilannya masih berjalan hingga saat ini.

Suryadi bersama pengacara lainnya saat memenangkan gugatan PTUN terkait tambang galian C. Foto: istimewa
Suryadi bersama pengacara lainnya saat memenangkan gugatan PTUN terkait tambang galian C. Foto: istimewa

Mongabay-Indonesia: Majelis Hakim baru saja memvonis 16 tahun penjara terdakwa Yannas, bagaimana menurut anda?

Suryadi: Kasus ini tidak bisa dilihat serta merta murni pembunuhan, tapi dilihat juga jauh ke belakang, kenapa kasus ini muncul? Karena konflik kepentingan masyarakat melawan PT RAPP dan pemerintah. Sebagai sebuah Negara, pemerintah berdasarkan pasal 33 UUD 45 menguasai SDA demi kemakmuran rakyat. Faktanya kejadian ini membuktikan bahwa kebijakan yang dikeluarkan pemerintah tidak berdampak pada masyarakat terutama paling dekat dengan kawasan hutan di Pulau Padang. Dari fakta persidangan itu tidak muncul, penuntut umum dan hakim hanya bicara soal meninggal, ada perbuatan pidana. Putusan hakim harusnya melihat aspek sebelumnya.

Bahwa akar masalahnya Yannas bersama masyarakat Pulau Padang memperjuangkan hak hidup masyarakat atas tanah, lingkungan dan hutan. Peristiwa ini muncul akibat kebijakan pemerintah tidak mempedulikan hak masyarakat atau keselamatan jiwa masyarakat untuk masa akan datang.

Mestinya dari kejadian  ini pemerintah harus serius mengelola SDA. Kebijakan yang dikeluarkan pemerintah harus pro lingkungan, hutan dan keselamatan masyarakat. Kenapa kita punya kebijakan bagus tentang pengelaolaan hutan, kalau juga tidak bisa menyelamatkan masyarakat untuk apa?

Ketika terjadi konflik berkepenjangan mestinya perusahaan tidak harus getol memaksakan diri hanya berdasarkan alasan legal-formal atau mengantongi izin dari pemerintah, harusnya perusahaan jangan sampai melakukan hal hal yang menjadi pemicu. Kasus pembunuhan ini pemicunya merupakan perusahaan.

Mongabay-Indonesia: Dalam Tuntutan Penuntut Umum, terdakwa Yannas mengaku menembak Chodirin karena PT RAPP merampas tanah masyarakat di Pulau Padang?

Suryadi: Yannas bersama masyarakat yang tinggal di Pulau Padang melakukan perlawanan karena tiba-tiba PT RAPP masuk dengan ekskavator meratakan hutan dan lahan masyarakat masuk dalam konsesi mereka, berdasarkan izin dari pemerintah. Itu pemicunya. Logikanya kalau perusahaan tidak masuk, tidak akan terjadi korban apapun.

Mongabay-Indonesia: Lima tahun terakhir ini, anda membela masyarakat yang berjuang melawan perusahaan sektor HTI, Sawit dan tambang. Bagaimana sebenarnya akses masyarakat terhadap sumber daya alam? 

Suryadi: Dari semua konflik yang pernah saya tangani, kesalahan pada pemerintah. Karena memang kebijakan regulasi dikeluarkan pemerintah sama sekali telah mengingkari semangat konstitusi dasar kita untuk kemakmuran rakyat. Faktanya dari semua kasus itu semuanya terjadi konflik, akses masyarakat sama sekali dihilangkan. Dan pemerintah dalam hal ini tidak punya sikap atau kebijakan pro masyarakt. Ibaratnya, kita publik seperti tidak punya negara, publik tanpa republik. Pemerintah sama sekali, begitu terjadi konflik tidak berdiri paling depan, minimal pemerintah berposisi sebagai subjek hukum yang netaral. Dari semua konflik lagi-lagi masyarakat dirugikan.

Mongabay-Indonesia: Anda menangani kasus-kasus terkait sumberdaya alam. Bagaimana pertimbangan hakim dalam memutus perkara tersebut?

Suryadi: Hukum kita sangat positif. Penegak hukum cara berpikirnya berdasarkan ketentuan formil. Misal kasus konflik masyarakat Sakai Suluk Bongkal di Bengkalis dengan PT Arara  Abadi berujung pada  PT Arara Abadi melaporkan bahwa masyarakat telah menduduki kawasan PT Arara Abadi secara tidak sah. Ada 76 masyarakat ditangkap Polisi. Majelis hakim mengatakan masyarakat terbukti secara sah menduduki areal PT Arara Abadi, menghukum 5 bulan penjara. Hakim hanya meminta justifikasi apakah masyarakat adat Sakai diakui oleh pemerintah, inikan satu hal aneh, padahal suku Sakai khas orang Riau. Hakim sama sekali mengabaikan keberadaan suku Sakai. Padahal suku Sakai lebih sudah ada sejak dulu dan diakui. Majelis hakim tidak mengakui keberadaan masyarakat adat Sakai karena tidak ada legal formal pengakuan dari pemerintah. Meski waktu itu Lembaga Adat Melayu Riau sudah menyatakan pengakuan masyarakat adat Suku Sakai.

Namun kasus di Terantang Kampar masyarakat adat melawan Bupati Kampar karena menerbitkan izin galian c untuk pengusaha. Dampaknya lingkungan rusak, air sungai Kampar tercemar dan pulau tempat ninik mamak biasa bermusyawarah bisa hilang. Wilayah izin itu masuk ke dalam wilayah adat masyarakat Terantang. Kita gugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara Pekanbaru. Kita dimenangkan, karena izin bupati bertentangan dengan perda ulayat Kampar. Dalam perda itu, salah satunya mengatur terkait pengelollan SDA, yaitu harus melalui mekasnime kerapatan adat bila hendak melakukan usaha.

Mongabay-Indonesia: Lima tahun membela hak-hak masyarakat atas sumberdaya alam di Riau, bagaimana kualitas penegak hukum terutama putusan Hakim?

Suryadi: Mereka harus belajar lagi soal perkembangan hukum terkait pengelolan lingkungan. Apalagi perkembangan hukum lingkungan makin dinamis baik tingkat internasional maupun nasional. Saran saya Mahkamah Agung menempatkan tiap provinsi 10 hakim bersertifikat lingkungan, agar para hakim bisa menguasai dan memahami bagaimana konflik ini terjadi.

Gugatan citizen lawsuit delapan warga Riau terkait Perubahakan Iklim dan gugatan legal standing Walhi atas kebakaran lahan yang terjadi di Sumatera, kita ajukan di Jakarta Pusat bukan di Riau. Karena kita ragu dengan hakim di Riau, itu hasil evaluasi kita tahun 2011. Di Jakarta minimal sudah ada hakim yang bersertifikat lingkungan dan memahami gugatan model citizen lawsuit dan legal standing. Kita juga mendorong ada perubahan regulasi, salah satunya ada pengadilan khusus lingkungan. Kasus kasus terkait lingkungan ditangani oleh pengadilan khusus lingkungan dan hakim yang sudah bersertifikat lingkungan.

Mongabay-Indonesia: Apa yang membuat anda mau membela hak-hak masyarakat atas sumberdaya alam, Padahal secara materi tidak “seksi”?

Suryadi: Saya cenderung bicara lingkungan dan SDA ini karena bicara kesadaran semesta. Kalau kita membela lingkungan, kita menolong semua orang. Misalnya gugatan dampak perubahan iklim dan asap, masyarakat Riau hanya bisa mengeluh anak  mereka terkena ISPA. Faktanya tidak ada upaya apa-apa. Nah, sebagai kaum muda kita harus ambil alih keluhan ini menjadi sebuah dengan menggugat Negara ini, agar pemerintah memperbaiki regulasi.

Saya itu punya keyakinan bahwa menurut agama saya sebaik-baik manusia, tidak diniali Tuhan bagaimana ibadahnya, tapi bisa memberikan manfaat bagi orang lain. Semua pengacara mesti paling tidak satu tahun harus memberikan jasa layanan atas bantuan hukum bagi masyarakat tidak mampu, salah satunya kasus lingkungan.  Kalau selam setahun para lawyer tidak permah tangani kasus prodeo secara cuma-cuma, profesi lawyer perlu dipertanyakan.

Mongabay-Indonesia: Oh ya, dari enam pengacara kasus Yannas, tinggal anda sendiri. Bagaimana ceritanya?

Suryadi: Tahun 2008, pertama kali saya ikut menangani kasus Suluk Bongkal, ada lima belas pengacara dari Riau membela masyarakat. Dalam perjalanan, tinggal dua pengacara bertahan hingga putusan majelis hakim. Mereka mundur, karena memang tak ada duitnya. Namun, itukan pilihan. Saya kira mereka tidak punya kepekaan membela lingkungan. Sama juga dengan kasus terdakwa Yannas. Dari enam pengacara, tinggal saya sendiri. Saya kira juga soal materi, karena yang kita bela terdakwa Yannas yang memang miskin secara materi. Saya kira ini soal pilihan bagi pengacara.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,