Ekonomi Komoditas: Rotan Indonesia, Menuju Kebangkitan atau Keterpurukan?

Indonesia merupakan negara penghasil rotan terbesar di dunia. Tidak kurang dari 85% bahan baku rotan dunia berasal dari Indonesia.  Sebagai tumbuhan rambat rotan tergantung di rimbunnya tegakan hutan.  Karena sifat alaminya, rotan menjadi salah satu indikator kesehatan ekologi hutan, tidak berlebihan kiranya jika rotan pun dikenal sebagai green product. 

Bagi sebagian suku di Indonesia, seperti Dayak, budidaya rotan secara sosio kultural merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari. Telah ratusan tahun rotan dibudidayakan dan dipelihara oleh masyarakat secara tradisional.  Dari para petani atau para pencari rotan di dalam hutan, rotan kemudian diperdagangkan melalui pedagang perantara.  Hasil akhir dari alir perdagangan ini, rotan masuk dalam proses produksi pembuatan mebel seperti kursi dan berbagai kerajinan tangan lainnya.

“Rotan dulu merupakan tumpuan hidup kami, pada sekitar tahun 1980-an dengan mengambil 1 kwintal rotan dari dalam hutan saya bisa membayar uang kuliah 1 semester tetapi sekarang harga jual rotan tidak bisa memenuhi biaya hidup, 1 kg rotan hanya dihargai paling mahal 3.500 rupiah,“ demikian Sarwepin dari Perkumpulan Petani Rotan Katingan (P2RK) Kalimantan Tengah membeberkan permasalahan harga rotan di kampungnya.

Di Kabupaten Katingan diperkirakan terdapat potensi rotan sebesar 1.000 ton/bulan yang dapat dipanen, dari total lebih kurang 325 ribu hektar kawasan hutan dan kebun rotan yang diusahakan oleh masyarakat.  Menurut catatan P2RK, setidak-tidaknya 61% dari total 44.000 kepala keluarga di Katingan memiliki dan atau tergantung hidupnya dari rotan.

Sarwepin mengeluhkan harga rotan yang rendah saat ini.  Selain masalah kelembagaan di tingkat petani dan penanganan pasca panen rotan yang belum maksimal, secara khusus ia menyoroti regulasi pemerintah yang melarang penjualan rotan mentah untuk tujuan ekspor.  Regulasi yang dimaksud Sarwepin adalah SK Menteri Perdagangan nomor 35/2011 tentang pelarangan ekspor rotan mentah dan setengah jadi.

Alasan dibelakang larangan ekspor rotan sendiri bagi Menteri Perdagangan adalah untuk memberdayakan industri dalam negeri.  Sebelum rotan mentah dilarang untuk diekspor, kebanyakan bahan baku rotan diekspor ke China dan menghidupi industri mebel yang ada disana.

Salah satu pengrajin rotan dalam sebuah demonstrasi pembuatan anyaman. Foto: NTFP-EP

Agak ironis memang, ketika China yang tidak memiliki bahan baku rotan, akhirnya malah mampu menjadi industri mebel rotan nomor wahid di dunia.  Akibat maraknya mebel rotan China, industri mebel rotan domestik yang kebanyakan berada di pesisir utara pulau Jawa terpukul dan gulung tikar. Geram melihat hal ini, pemerintah pun melakukan pelarangan ekspor mentah rotan.

Data yang dikeluarkan oleh BPS, Kemendag dan Kemenperin mencatat, pasca ditutupnya keran ekspor rotan mentah, terjadi peningkatan produksi di dalam negeri dari USD 180 juta pada tahun 2011 menjadi USD 202 juta pada tahun 2012. Lonjakan terbesar terjadi untuk furniture rotan dari USD 128 juta menjadi USD 151 juta.

Jika industri rotan olahan melonjak, lalu apa yang menyebabkan harga bahan baku rotan di tingkat petani di luar Jawa menjadi jatuh seperti yang dikeluhkan oleh Sarwepin?

Bukankah seharusnya ketika industri bergairah, seperti asumsi pemerintah akan menarik permintaan akan bahan baku yang pada akhirnya akan meningkatkan harga beli rotan di tingkat produsen?

Jawabannya adalah terlalu banyak penawaran (over supply) di tingkat petani.

Dengan ditutupnya keran ekspor rotan mentah, bahan baku rotan di luar Jawa menjadi berlimpah.  Seperti yang dikemukan oleh Haryadi Himawan, Direktur Bina Perhutanan Sosial, Kemenhut yang menyatakan daya serap industri rotan domestik hanya 20-30% dari total bahan baku rotan yang dihasilkan oleh petani.

Klik pada gambar untuk memperbesar

Akibat yang terjadi, melimpahnya rotan menyebabkan harga bahan baku ini jatuh, bahkan banyak sekali rotan yang tidak dapat terjual terutama di kantung-kantung produsen rotan utama seperti di Kalimantan dan Sulawesi.

Sejauh ini, asumsi bahwa industri mebel rotan akan berekspansi ke luar Jawa karena mengejar harga bahan baku tidak terjadi.  Mansyur, pengurus Asosiasi Pengusaha Mebel Indonesia (ASMINDO) Makassar menyebutkan industri mebel rotan akan kesulitan untuk berproduksi dan berjalan di luar Jawa.  Berdasarkan pengalamannya, dari 4 pabrik rotan yang pernah ada di Makassar, dua diantaranya mati dan dua yang lainnya terpaksa hijrah ke Surabaya.

Menurutnya, meskipun secara teori lebih mendekat ke sumber bahan baku, tetapi faktor tenaga kerja terampil tetaplah menjadi kendala.  Hal ini amat berbeda dengan kondisi di sentra-sentra kerajinan rotan di pesisir Jawa seperti Cirebon dan Surabaya.

Hal lain menurutnya yaitu faktor resiko usaha. Belajar dari naik turunnya permintaan furniture rotan dunia, industri tidak akan memaksakan diri bekerja dalam skala raksasa dengan mempekerjakan banyak tenaga kerja, namun akan memilih bekerja lewat sistem kemitraan sub-kontrak.

Industri di Jawa akan lebih senang dan memilih untuk melakukan sub-kontrak untuk beberapa pekerjaan perakitan kepada industri rumahan (home industry) yang berada di sekelilingnya. Dengan memilih opsi sub-kontrak, ketika permintaan menurun, maka industri hanya perlu memutuskan hubungan order kepada sub-kontraktornya, tanpa perlu berhubungan dengan isu pemutusan hubungan kerja karyawan.  Berbeda dengan di Jawa, di luar Jawa industri rumahan ini tidak banyak dijumpai.

Sudarsono Sudomo, staf pengajar Fakultas Kehutanan IPB, mengkritisi kebijakan pemerintah “yang seolah-olah benar” ini. “Dari beberapa pengalaman komoditas di Indonesia, sebelum ada intervensi kebijakan pemerintah, contohnya jeruk pontianak ataupun cengkeh di tahun 1990-an, komoditas ini berjalan baik-baik saja di tingkat produsen.  Namun, ketika pemerintah mulai melakukan intervensi kebijakan, misalnya melalui tataniaga, komoditas pertanian ini kemudian menjadi bermasalah, hal mana yang sekarang terjadi untuk rotan,” ujarnya.

Menurutnya debat rotan lebih banyak diwarnai oleh common sense yang tidak didukung oleh data yang kuat.  Tidak ada informasi dan data akurat yang digunakan untuk menghitung berapa jumlah aktual permintaan rotan mentah atau setengah jadi oleh industri di Indonesia, sebaliknya tidak ada data tentang ketersediaan rotan mentah atau setengah jadi di tingkat petani. Demikian pula tidak ada patokan berapa harga wajar rotan mentah atau setengah jadi di tingkat petani.

Berbagai produk kerajinan rotan.  Sumber foto: agro.kemenperin.go.id
Berbagai produk kerajinan rotan. Sumber foto: agro.kemenperin.go.id

Harga jual rotan yang rendah telah menyebabkan petani enggan untuk mengambil maupun membudayakan rotan.  Rotan tidak lagi dianggap sebagai sumber penghasilan keluarga, yang terjadi masyarakat mulai mencari alternatif lain dalam memanfaatkan lahan milik mereka.  Untuk mengejar keuntungan, masyarakat pun mulai melakukan konversi kebun rotan menjadi lahan budidaya lain bernilai lebih seperti kebun karet, sawit bahkan menggali lahan miliknya untuk mencari batubara dan tambang mineral.

“Sekali kebun rotan dikonversi, dapat dipastikan bahwa tempat itu tidak akan dapat kembali pulih.  Kehilangan tidak saja untuk rotannya, tetapi dipastikan pula kehilangan untuk hutannya,” demikian EY Yovi, peneliti dari Yayasan Rotan Indonesia.

Yovi mengkuatirkan pada akhirnya harga jual rotan yang rendah mengakibatkan rotan tidak lagi menjadi komoditas berharga di mata petani, ibaratnya seperti spiral tertutup, pelan tapi pasti ketiadaan dan kelangkaan bahan baku pada akhirnya akan balik menghantam industri.

“Bagaimana industri furniture rotan di kemudian hari mau berjalan kalau tidak ada lagi yang memasok bahan baku rotan, apalagi kebun rotan sudah tidak lagi nantinya,” ujar Yovi.

Dalam menyikapi hal ini, pemikiran lain disampaikan oleh Sunoto dari Asosiasi Mebel dan Kerajinan Indonesia (AMKRI).  Ia mengajak seluruh pihak tidak larut dalam dikotomi antara permasalahan kepentingan di hulu yaitu produsen di luar Jawa dengan kepentingan hilir di industri rotan di Jawa.  Ia mengajak permasalahan ini ditangani dari kacamata nasional dan tidak terjebak dalam stagnasi.

Kerjasama ini tentunya harus melibatkan pemerintah daerah dan juga peran asosiasi dan swasta agar mau turun dan memikirkan persoalan melimpahnya bahan baku lokal di daerah.  Termasuk di dalam strategi yaitu mendorong hilirisasi industri di daerah penghasil rotan, membangun pusat inovasi produksi rotan, membangun sekolah kejuruan bidang rotan di daerah penghasil, memberikan insentif bagi industri, hingga mendorong kebijakan yang mewajibkan penggunaan mebel rotan di instansi pemerintah maupun di sekolah.

Terakhir, mungkin menarik untuk merenungkan kembali apa yang dipikirkan oleh Sarwepin. Jika pemerintah merasa perlu mengeluarkan peraturan pelarangan ekspor rotan untuk melindungi industri rotan dalam negeri, sudah saatnya sekarang pemerintah memikirkan nasib petani rotan di daerah.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,