,

Jatam Kaltim: 77 Juta Ton Limbah Tambang PT KEM Ancam DAS Mahakam

Terkait penolakan pengakhiran lokasi tambang emas PT Kelian Equatorial Mining (KEM) milik Rio Tinto di Kutai Barat oleh Lembaga Kesejahteraan Masyarakat Tambang dan Lingkungan (LKMTL) Kutai Barat (Kubar) dan Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Kaltim, keduanya menilai tidak ada kata pengakhiran PT KEM, karena selama 77 juta tailing di dam Nakan dan dam Namuk tidak bisa diurai, maka ini akan menjadi masalah yang harus dipikirkan perusahaan yang menguasai 44 persen pertambangan di dunia tersebut, seperti yang dikatakan Merah Johansyah selaku dimisiator Jatam Kaltim.

Nota penutupan tambang emas tersebut menurut dinamisator Jatam Kaltim, Merah Johansyah di Balikpapan beberapa waktu lalu, akan memindahkan beban tanggung jawab mengurus 77 juta ton tailing di dam Nakan dan dam Namuk, ke tangan pemerintah daerah. Begitu pula dengan sejumlah kasus pelanggaran HAM dan konflik sosial yang belum terpulihkan.

Peninggalan 77 juta ton di 2 dam ini tentu saja menjadi ancaman  bagi Daerah Aliran Sungai (DAS) Mahakam. Menurut Merah Johansyah, dam tidak akan pernah bertahan selamanya dan limbah tailing adalah salah satu unsur paling beracun dalam industri pertambangan. Dua dam seluas 455 hektar di ketinggian 425 meter di atas permukaan laut ini jelas menjadi teror bagi 32 desa dan 4 kecamatan yang berada di bawahnya melalui Sungai Kelian.

“Secara tekhnis, mereka tidak pernah mensosialisasikan bahaya dari pada dua dam ini. Termasuk misalnya ketika ada masalah (trouble) diantara dua dam ini. Jika sampai dam ini jebol, dampaknya bisa sampai ke kota-kota yang dialiri sungai Mahakam, termasuk Samarinda karena dia akan mengikuti alur Sungai Mahakam,” kata kata Merah “Tahun ini terakhir proses reklamasinya dan tanggung jawab selanjutnya untuk penjagaan wilayah bekas tambang mereka akan diserahkan ke pemerintah kabupaten. Dan kedepan, pemerintah kabupaten akan kewalahan untuk membiayai kawasan ini,” tambahnya.

Seperti diberitakan dalam artikel sebelumnya di Mongabay-Indonesia, Lembaga Kesejahteraan Masyarakat Tambang dan Lingkungan (LKMTL) Kutai Barat (Kubar) dan Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), mendesak pemerintah Indonesia untuk menunda dan tidak menandatangani nota penutupan tambang emas PT Kelian Equatorial Mining (KEM) milik Rio Tinto tersebut.

PT KEM ini beroperasi sejak tahun 1992 dan menghasilkan 14 ton emas setiap tahunnya. Hingga diumumkannya penutupan pada tahun 2004 lalu. Rio Tinto adalah perusahaan tambang mineral dan batu bara terbesar di dunia milik Negara Australia. Perusahaan tersebut memiliki sebanyak 71 ribu tenaga kerja di 40 negara dan 6 benua dimana perusahaan milik Rio Tinto berada. Di Indonesia, mereka juga memiliki separuh saham pada perusahaan tambang emas dan tembaga Freeport di grasberg Papua.

Bentuk desakan ini dilayangkan dalam somasi yang serentak dilakukan di 3 daerah yakni Samarinda, Jakarta dan Desa Tutung Kubar. Somasi ini juga secara khusus ditujukan kepada bupati Kubar dan petinggi PT KEM yang merupakan Ketua Bersama Komite Pengarah Pengakhiran Tambang.

Tentunya ada beberapa hal yang menjadi tuntutan masyarakat terkait dokumen penutupan tambang. Diantaranya tidak adanya transparansi komite, dan ada janji-janji kepada masyarakat yang seharusnya sudah dipenuhi sebelum tambang ditutup. Sampai saat ini, perubahan status pinjam pakai hutan lindung seluas 6.750 hektar masih tidak jelas dan tidak ada keterlibatan masyarakat dalam proses perubahan status kawasan. Padahal, implikasi perubahan status ini akan berimplikasi pada kehidupan masyarakat.

Begitu juga dengan dana abadi sebesar USD 11,2 juta (sekitar Rp 128 miliar dengan kurs Rp 11.462) yang dikelola PT Hutan Lindung Kelian Lestari (HLKL) sampai saat ini tidak transparan dan tidak melibatkan masyarakat.

Pemerintah Indonesia kata Merah, harus turun tangan dan memberi perhatian serius atas pengakhiran tambang PT KEM di Kubar. Sebelum PT KEM mengambil keuntungan dengan berkoar-koar menyerukan sebagai proyek penutupan tambang terbaik dan memuluskan jalan untuk mendapatkan dukungan dari Bank Dunia.

Saat ini kawasan daerah tambang PT KEM telah menjadi kota hantu dari 1000 warga yang tinggal di sana, saat ini hanya sisa ratusan. “PT KEM harus berfikir bagaimana cara mengurai tailing tersebut, kalau tidak bisa maka perusahaan tetap harus bertanggung jawab sampai teiling tersebut dapat diuraikan

Bukan hanya permasalahan dua tam tersebut, masih banyak persoalan sosial di balik penutupan PT KEM. Jatam menyebutkan, kasus pelanggaran HAM dimulai dari perampasan tanah masyarakat adat Dayak. Ditambah kekerasan fisik seperti kejahatan seksual terhadap perempuan. Merah mengkritik ganti rugi 20 perempuan korban kejahatan seksual yang dilakukan petinggi perusahaan KEM masih meninggalkan persoalan.

Natasha Rireq, adalah korban yang telah memiliki anak yang kini berusia belasan tahun, akibat pelanggaran HAM. “Anaknya bernama Haris, bermata biru, lahir karena dirinya diperkosa. Dia menjadi olokan teman-temanya karena diejek sebagai bule masuk kampung,” Merah.

Dari penelusuran Jatam, beberapa warga yang memaksa masuk ke wilayah tambang ditembak oknum aparat yang dibiayai perusahaan. “Tentu kejadian ini menjadi cerita miris yang harus dituntaskan,” sambung Merah Johansyah. Dia menyayangkan rencana penutupan tambang emas PT KEM di Kubar secara diam-diam oleh pemerintah seolah-olah tak meninggalkan warisan masalah.

PT Kelian Equatorial Mining (KEM) di Kubar ditutup pada Februari 2005. Kegiatan eksploitasi perusahaan yang 90 persen sahamnya dikuasai The Anglo-Australian Rio Tinto Group ini diakhiri karena kandungan biji logam telah habis. Selama 12 tahun beroperasi, PT KEM mampu memproduksi 14 ton emas dan 10 ton perak per tahun.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,