Saat ini Delapan Perusahaan Telah Memiliki Ijin Konsesi Restorasi Ekosistem

Meskipun banyak masalah yang dijumpai, pemerintah berkomitmen untuk tetap menjalankan restorasi ekosistem di hutan alam produksi. Saat ini terdapat 8 konsesi yang telah memperoleh ijin.

Selama ini hutan produksi dikenal kawasan hutan yang diijinkan untuk dieksploitasi demi usaha pemanfaatan kayu komersilnya. Sebaliknya, kawasan konservasi diperuntukkan untuk perlindungan berbagai kekayaan plasma nutfah. Eksploitasi hutan alam sendiripun telah dilakukan masif sejak tahun 1967 hingga mencapai puncak pada dekade 1990-an.

Paradigma ini mulai bergeser sejak munculnya Peraturan Menteri Kehutanan nomor 159/2004 tentang restorasi ekosistem di hutan alam produksi.  Menyadari bahwa eksploitasi hutan alam telah menyebabkan degradasi lingkungan dan kawasan, upaya Restorasi Ekosistem (RE) ditujukan untuk mengembalikan unsur biotik (flora dan fauna) serta unsur abiotik (tanah, iklim dan topografi) pada kawasan hutan produksi, sehingga tercapai keseimbangan hayati.

Meskipun upaya serupa juga dilakukan di negara-negara lain, di Indonesia RE berbeda.  Pertama karena upaya pemulihan dilakukan di hutan produksi bukan di hutan konservasi atau hutan lindung seperti yang dilakukan di negara lain, dan kedua karena upaya RE dilakukan oleh investor dalam bentuk area konsesi usaha.  Dari ijin RE, investor masih dapat memanfaatkan kayu, hasil hutan non kayu, jasa lingkungan seperti air dan pariwisata.

Ijin RE, yang disebut dengan IUPHHK-RE (Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Restorasi Ekosistem) ternyata banyak menarik minat dan perhatian investor. Berbeda dengan IUPHHK-HA (Hutan Alam) yang memiliki maksimum ijin 55 tahun, maka IUPHHK-RE memiliki konsesi hingga 60 tahun dan dapat diperpanjang hingga 35 tahun.

Ijin IUPHHK-RE

Hingga bulan November 2013, telah terdapat 8 unit areal Restorasi Ekosistem yang diterbitkan ijinnya, dengan total meliputi 377.428 hektar kawasan hutan produksi.  Hingga saat ini, pemerintah masih memproses 30 pengajuan aplikasi untuk ijin RE. Upaya ini tidak terlepas dari target pemerintah untuk mencapai 2,6 juta kawasan hutan produksi untuk aktivitas RE.

Ijin IUPHHK-RE pertama dilakukan pada tahun 2007 di Sumatera Selatan, yang dilakukan oleh PT REKI (Restorasi Ekosistem Indonesia) yang disponsori oleh konsorsium Burung Indonesia.  Burung sendiri adalah sebuah lembaga non profit yang peduli terhadap kehidupan satwa liar, dengan perlindungan habitat hidupan burung sebagai pusat perhatiannya.

Dalam perjalanannya masih dijumpai berbagai tantangan untuk mewujudkan area RE.  Bambang Hendroyono, Dirjen Bina Usaha Kehutanan Kemenhut mengakui jika lokasi RE tidak bebas dari perambahan, illegal logging, illegal mining yang dapat menggangu aktivitas konservasi.  Demikian pula dukungan dari pemerintah daerah dianggap masih rendah karena konsep RE sendiri belum sepenuhnya dipahami.

Bertempat di IPB Bogor (28 November 2013), di sela acara Seminar Internasional Ecosystem Restoration in the Tropics, Mongabay Indonesia melakukan wawancara panel dengan para pihak yang terlibat dalam restorasi Ekosistem, yaitu: Ir Drasospolino Msc, Direktur Bina Rencana Pemanfaatan dan Usaha Kawasan, Dirjen BUK Kemenhut,  Effendy A. Sumardja, Presiden Direktur Harapan Rainforest, PT Restorasi Ekosistem Indonesia (REKI), Dr. Ani Mardiastuti, Ketua Badan Penyantun Burung Indonesia dan Prof  Dr. Bambang Hero Saharjo, M.Agr, Dekan Fakultas Kehutanan IPB.  Berikut hasil wawancaranya.

Perambahan kawasan, salah satu masalah di area restorasi ekosistem. Jalan keluar harus dicari untuk menjamin fungsi kawasan. Foto: Aulia Erlanga/ Burung Indonesia
Perambahan kawasan, salah satu masalah di area restorasi ekosistem. Jalan keluar harus dicari untuk menjamin fungsi kawasan. Foto: Aulia Erlanga/ Burung Indonesia

Mongabay Indonesia: Bagaimana anda melihat target dan kinerja restorasi di hutan produksi. Dari total 2,7 juta hektar target IUPHHK-RE, hingga akhir tahun 2013 baru sekitar 370 ribu hektar?

Drasospolino:  Dari sekitar 75 juta hektar kawasan hutan produksi di Indonsia, 2,6 juta hektar dialokasikan untuk dijadikan target IUPHHK-RE, hingga tahun 2014 target kami adalah 600 ribu hektar. Hingga sekarang sudah ada 8 pemegang hutan yang meliputi total area 377 ribu hektar.  Kami optimis 600 ribu hektar sesuai dengan rencana strategis yang dilakukan oleh pemerintah akan tercapai.  Dengan RE, kita coba upaya terobosan, belum ada di negara manapun, termasuk di negara maju.  Pemerintah mengusahan upaya perbaikan, ada capaian-capaian dan strategi.

Mongabay Indonesia: Bagaimana pemerintah melihat upaya RE di hutan produksi ini?

Drasospolino:  Patut dipahami bahwa restorasi adalah hal yang baru, dan mungkin satu-satunya di dunia.  Upaya ini sejalan dengan moratorium yaitu sekitar 64 juta hektar hutan yang tidak boleh ditebang. Restorasi adalah untuk mengembalikan hutan menjadi lebih baik kedepan. Hasil evaluasi kinerja HPH di hutan alam, kami nilai tidak terlalu baik.

Di awal 2004 kita orientasi bahwa cara pandang harus berubah dari timber based management, menjadi forest based management.  Selama ini, kalau kita bicara konservasi dilakukan di kawasan hutan konservasi, tetapi belum ada di hutan produksi.  Di hutan produksi bukan cuma kayu, tetapi juga ada keragaman hayati di situ. Secara khusus RE dilakukan di areal yang memiliki ekosistem unik.

Mongabay Indonesia: Apakah ada kebijakan insentif khusus, misalnya untuk pajak, karena di awal pengusahaan konsesi IUPHHK-RE disamakan dengan konsesi kayu untuk hutan alam?

Drasospolino:  Kita menyadari bahwa kebijakan belum sempurna di tahun 2004, tahun 2007 PT REKI mulai, belum ada rencana kerja hingga rencana pengelolaan tahunan. Namun, pelan-pelan kita perbaiki semua. Dengan mendapatkan RE sebenarnya investor otomatis sudah mendapatkan insentif, apakah air, jasa lingkungannya, apakah hasil hutan non kayunya, itu semua insentif.  Insentif tidak selalu dalam bentuk cash income. 

Pengelolaan dan aktivitas dalam Restorasi Ekosistem

Mongabay Indonesia: Apa yang mendasari ide berdirinya PT REKI?

Effendy A. Sumardja:  Kami berpikir seperti orang konservasi, kami lihat konservasi di kawasan konservasi sudah ada, tetapi konservasi di hutan produksi belum ada.  Di tahun 1979, saya pernah mengatakan HPH harus menyisihkan wilayah di area kerjanya untuk wildlife preservation, untuk berlindung satwa jika terjadi penebangan, termasuk perlindungan plasma nutfahnya.  Waktu itu saya ditertawai oleh Dephut, karena waktu itu masih menggebu-gebunya penebangan, baru 20 tahun kemudian wacana itu direalisir.  Setelah 7 tahun meyakinkan menteri, akhirnya itu disetujui.

Mongabay Indonesia: Apa masalah yang selama ini dirasakan oleh kawasan Hutan Harapan yang dikelola oleh PT REKI?

Effendy A. Sumardja: Masalah utama adalah perambahan, perambahan di lokasi kita tinggi sekali yaitu 17.000 ha.  Modus perambahan adalah dengan menggunakan masyarakat setempat yaitu Suku Anak Dalam (SAD).  Yang terjadi, ini mendeskreditkan SAD dan juga mendeskreditkan masyarakat setempat.  Kami prihatin, dan ini perjuangan yang tidak mudah.  Kami meminta pemerintah membantu kami untuk menghentikan perambahan ini.

Kedua adalah illegal logging itu menjadi masalah yang cukup meningkat, dan tidak bisa lepas dari masalah di luar yang membutuhkan kayu.  Kegiatan kami sendiri sudah mengikuti aturan main bersama Kemenhut.  Karena kami yang pertama, kami juga turut memberikan saran kepada pemerintah bagaimana sebetulnya aturan yang harus dikembangkan untuk RE itu lain dan tidak bisa disamakan dengan aturan untuk hutan alam.  Secara bertahap kita saling membuat perbaikan.  Apapun juga, kami yang merintis selama 7 tahun.

Jalan tambang eksisting, terdapat permintaan pembangunan jalan tambang yang membelah konsesi Restorasi Ekosistem di Hutan Harapan. Foto: Burung Indonesia

Mongabay Indonesia: Bagaimana kondisi terakhir permintaan akan pembukaan jalan tambang di area Hutan Harapan?

Effendy A. Sumardja:  Saya sangat prihatin, kami telah mengirim surat kemana-mana supaya ini tidak terjadi.  Terakhir saya mengirimkan surat ke Menteri Kehutanan dan sejauh ini tidak ada respon.  Sudah berkali-kali mengirim surat dan tidak ada satupun pihak yang menjawab.  Saya tetap berjuang untuk tidak ada jalan.  Saya baru mendengar Menteri ESDM mengulangi permintaan pembuatan jalan ini, saya tidak tahu bagaimana Menhut merespon ini.  Pada intinya kami keberatan.

Jika itu terjadi akan terjadi 800 mobil lewat tiap hari, bayangkan bagaimana kondisi lingkungan itu terjadi.  Saya melihat ada kepentingan uang yang bermain di belakang ini.

Saya takutnya ini masalah potensi batubara, ketika sudah ada data, mereka akan mengeksploitasi batubara dari dalam kawasan REKI.  Dua propinsi, yaitu Jambi dan Sumatera Selatan juga tidak setuju dengan jalan tersebut, mereka bilang ini kan masalah pusat.  Pada intinya kami keberatan jika harus dibuat jalan melintas, di luar area sebenarnya sudah ada jalan, itu saja sebenarnya yang dapat digunakan.

Kita sudah mendapat ijin RE, tujuannya untuk menghutankan kembali, kemudian datang ijin baru, dimana ijin lama belum dicabut, yang akan merusak hutan itu.  Kita sudah berusaha tidak mudah dan tidak murah untuk melakukan upaya restorasi.  Dapatkah ijin di atas ijin?

Peta jalan tambang yang melintasi Hutan Harapan. Sumber: Burung Indonesia

Mongabay Indonesia: Bagaimana anda menyikapi persoalan seperti yang terjadi di konsesi IUPHHK-RE PT REKI ini?

Drasospolino:  Itu belum sampai ke saya.  Pada prinsipnya kami bekerja berdasarkan regulasi.

Mongabay Indonesia: Apa yang mendorong Burung Indonesia untuk terlibat dalam Restorasi Ekosistem?

Ani Mardiastuti: Fokus kami adalah untuk proteksi habitat. Barangkali karena REKI Hutan Harapan mendapat sorotan besar dari publik sehingga pekerjaan ini banyak diekspose.  Meskipun hingga saat ini kami masih bekerja di lokasi-lokasi lain seperti di Wallacea, seperti Sulawesi, Nusa Tenggara, daerah-daerah penting bagi proteksi burung.

Pekerjaan RE ini adalah salah satu dari inovasi kami. Sumatera dipilih, karena hutan Sumatera yang paling tinggi tekanannya, baik karena tekanan masyarakat maupun hal yang lain. Kami bekerja melalui konsep habitat, landscape dan spesies.  Ini yang kemudian dikemas melalui RE, dengan harapan dapat melestarikan ekosistem burung dan habitatnya melalui RE.  Kami melihat dari berbagai sudut.

Mongabay Indonesia: Apa hambatan dirasakan dalam menjalankan misi ini?

Ani Mardiastuti: Terkadang banyak pernyataan di media yang memojokkan kami.  Dari tudingan land grabbing, pencurian plasma nutfah untuk dibawa ke luar negeri hingga tudingan tidak mengindahkan kehidupan masyarakat lokal.  Mohon semuanya dapat dicek kembali.  Selama ini kami punya niat baik, kami juga tidak menggunakan dana pemerintah, kami coba cari uang sendiri, tetapi melakukan pekerjaan baik susah sekali.

Kami menganggap Kemenhut mitra kami, karena ijin konsesi RE pertama adalah kami, dalam proses ini kami tidak tahu apa yang akan terjadi selama dalam perjalanan (along the way).  Kami menyadari bahwa peraturan yang dibuat tidak sempurna, saya mengutip pernyataan pak Emil Salim, kita sambil berlayar sambil membuat rakit.

Catatan: Dalam presentasi sebelumnya Ani Mardiastuti menyebutkan masih terdapat masalah dalam IUPHHK-RE diantaranya pemantapan area kerja konsesi, insentif fiskal,  terkendalanya ijin produk hasil hutan non kayu dan masih disamakannya ijin RE dengan ijin konsesi hutan alam biasa (IUPHHK-HA).

Salah satu lokasi praktik pembalakan liar di area yang diusulkan menjadi area Restorasi Ekosistem di Katingan, Kalteng. Foto: Rhett Butler

Mongabay Indonesia: Bagaimana anda melihat berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah ini secara khusus tentang perlindungan ekosistem? 

Bambang Hero Saharjo: Kami melihat bahwa semua harus berangkat dari satu paham, tidak bisa diadu antara kepentingan ekonomi dengan kepentingan ekologi.  Semua harus dilihat dari pendekatan ekosistem (ecosystem based).  Burung sudah lakukan itu, melalui Program Hutan Harapan oleh PT REKI.  Disatu sisi kita perlu ekonomi, tetapi tidak bisa berjalan tanpa adanya dukungan ekologi. Jika bencana terjadi, misalnya seperti kebakaran, banjir, longsor, itu sinyal bahwa kita harus memperhatikan sisi ekologi. Jangan cuma berpikir ekonomi saja. Akibatnya yang dirasakan sekarang biaya rehabilitasi lebih besar dari biaya eksploitasi.

Mongabay Indonesia: Bagaimana pengelolaan yang seharusnya dilakukan?

Bambang Hero Saharjo: Pengelolaan harus berbasis model pengelolaan ecosystem based.  Sekarang antara pemerintah pusat dan daerah ribut tentang One Map.  Beberapa daerah masih ribut dengan status kawasan hutannya.  Apa yang dinyatakan sebagai kawasan hutan oleh Pusat di lapangan ternyata berbeda.Jangan-jangan apa yang kita lakukan menjawab pertanyaan yang salah, pilihannya adalah tetap disini atau berubah. PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) Kehutanan masih konstan sekitar 0,67%, padahal dahulu menjadi sektor unggulan.  Kehutanan mau berubah atau tidak, menjadi 5 besar seperti dulu.  Kami dari pihak akademisi mengeluarkan resolusi untuk menuju kehutanan baru, suatu jawaban baru, paradigma baru.

Mongabay Indonesia: Apa yang ingin disampaikan dari cerita restorasi ekosistem ini?

Bambang Hero Saharjo: Restorasi bukan dongeng, tetapi adalah kisah nyata.  Proses ini akan terus berjalan, syukur-syukur jika Kemenhut bisa mendukung ini.  Namun memang RE prosesnya masih panjang dengan aturan main yang banyak.  Konsesi IUPHHK-RE tidak bisa disamakan dengan HPH di hutan alam (sekarang IUPHHK-HA), tidak boleh diperlakukan sama.

Kami di IPB juga mempunyai cerita tentang keberhasilan merestorasi kawasan hutan.  Dari semak-semak sekarang sudah menjadi hutan lebat.  Di lokasi contoh kami di Gunung Walat, Jawa Barat misalnya, sekarang masyarakat sendiri yang membiayai pengelolaan hutan.  Masyarakat memanfaatkan air untuk tanam padi. Ini terjadi saat publik di luar ribut tentang REDD. Kami sudah melangkah dan membuktikan.

Mongabay Indonesia: Kesimpulan atau kata terakhir dari pihak Pemerintah?

Drasospolino:  Kita semua sedang dalam perjalanan. Kami akan membuat guideline IUPHHK-RE yang dapat diimplementasikan, termasuk berbagi tanggung jawab antara pemerintah pusat dengan daerah, dan juga invesor sebagai mitra.  Sekarang masalahnya adalah pusat dan daerah tidak nyambung, karena ada beberapa regulasi tentang otonomi daerah.  Jika semua pihak berkomitmen, kita berada di jalan yang benar. Kita yakin semua berproses menuju lebih baik, kami dari kementerian siap dikritik.

Artikel yang diterbitkan oleh
, ,