, ,

Dua Raperda Masyarakat Adat Malinau Segera Disahkan

Dua Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Kelembagaan Adat dan Perlindungan Lahan Pertanian Masyarakat Adat di Kabupaten Malinau, Kalimantan Timur (Kaltim), segera disahkan, menurut rencana pada 18 Desember 2013. Dua raperda ini,  memperkuat aturan sebelum itu, yakni Perda No 10 Tahun 2012 tentang Perlindungan dan Pengakuan Hak-hak Masyarakat Adat di Malinau.

Abdon Nababan, Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengatakan, AMAN diminta DPRD Malinau menyiapkan dua perda ini. “Kami membuat naskah akademik dan rancangannya. Setelah enam bulan bekerja, hari ini kami menyerahkan draf ini,” katanya di Jakarta,  Jumat (13/12/13).

Abdon berharap,  setelah serah terima draf, DPRD Malinau bisa membahas internal dan segera disahkan. Acara serah terima ini dihadiri hampir seluruh anggota DPRD Malinau.“Respon dari mereka sangat bagus. Seminggu lalu kita konsultasikan raperda ini dan perbaikan-perbaikan.”

Kedua raperda ini penting karena hak-hak masyarakat adat itu banyak hingga diperlukan perda lebih spesifik. “Salah satu hak mengatur dan mengurus diri lewat kelembagaan adat. Di perda kelembagaan adat diatur supaya jelas kelembagaan adat asli itu seperti apa agar mereka dilindungi dan diperkuat,” ucap Abdon.

Menurut dia, memperkuat kelembagaan adat asli mutlak karena selama zaman orde baru banyak lembaga adat buatan dengan berbagai kepentingan. “Lewat perda juga diatur mitra pemerintah di dalam program-program terkait masyarakat adat. Hingga ada satu lembaga adat di kabupaten untuk konsultasi dengan lembaga adat asli tadi.”

Sedang Raperda Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Masyarakat Adat bertujuan menahan laju konversi hutan adat. Sebab, lahan pertanian masyarakat banyak menjadi peruntukan lain. “Lewat perda kedua ini,  DPRD dan pemerintah kabupaten ingin memastikan lahan-lahan masyarakat adat tak dikonversi.”

Lewat perda ini juga ingin memastikan penduduk Malinau mendapat kecukupan pangan.  Bahkan, mereka menargetkan produksi pertanian surplus hingga bisa membantu pangan daerah lain. “Caranya, melindungi lahan-lahan adat itu konversi. Lahan pertanian pangan masyarakat adat itu kan seperti hutan.”

Kedua raperda ini, katanya, lahir karena banyak konflik di sini. Izin-izin dikeluarkan pemerintah di wilayah adat.

Martin Labo, Ketua DPRD Malinau, mengungkapkan, kedua raperda ini bisa menjadi jawaban atas permasalahan masyarakat adat di Malinau,  selama ini. “Tentu kita gembira karena raperda ini bisa selesai sesuai rencana dan jadwal yang disepakati bersama.”

Menurut dia,  raperda ini sangat diperlukan.  “Saya mendengar raperda ini bisa menjadi percontohan bagi wilayah-wilayah lain guna pengakuan hak-hak masyarakat adat. Bagi saya, terpenting perda ini bisa menjadi pemecahan masalah kongkrit masyarakat adat di tempat kita.”

Martin mengatakan, kelembagaan masyarakat adat itu kompleks dan rumit. Masyarakat adat Dayak,  terdiri dari puluhan bahkan ratusan sub suku dengan berbagai varian lembaga adat yang asli. “Persoalan kita, bagaimana berbagai varian dari lembaga adat asli ini tetap dipertahankan tetapi bisa dipersatukan menjadi lembaga adat yang mengayomi dan mengelola hak-hak adat pada tingkat kabupaten.”

Raperda ini inisiaif DPRD. Dalam proses pembuatan, semua fraksi menyetujui. Setelah raperda ini diserahkan, sesuai mekanisme dikirim kepada bupati.  “Untuk meminta tanggapan bupati. Apakah bupati setuju atau tidak berkebaratan perda ini. Pengesahan 18 Desember ini.”

Martin merasa DPRD bagian dari masyarakat adat. Banyak anggota DPRD wilayah lain kurang peka hak-hak masyarakat adat karena mereka tak mengerti soal itu.  “Sama juga orang-orang di pusat banyak tidak mengerti masyarakat adat.”

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,