, ,

Memperjuangkan Hak Masyarakat Adat Bada’ yang Terabaikan

Langit mulai memerah ketika kami memasuki kawasan Bada’. Sebuah kawasan adat di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah (Sulteng). Dingin menusuk hingga terasa ke tulang. Untuk sampai ke sini, kami harus menempuh jalan cukup jauh, sebelum tiba di Tentena, Poso.

Perjalanan menuju Bada’, di ketinggian, bukan perkara mudah. Jika berangkat dari Kota Palu, menggunakan transportasi setempat, diperlukan sekitar 12 jam hanya untuk ke Tentena. Dari Tentena, kita akan menuju Bada’, meski berjarak 68 km, harus ditempuh minimal selama empat jam. Itupun jika kondisi cukup baik.

Lama perjalanan bisa enam jam di musim penghujan. Kondisi jalan belum beraspal. Bahkan tak jarang, jalanan menuju Bada’ ini tidak bisa dilalui ketika curah hujan tinggi dan meninggalkan kubangan parah.

Kawasan adat Bada’ merupakan lembah dikelilingi gunung-gunung, dalam kawasan Taman Nasional Lore Lindu dan hutan adat. Kawasan ini dibelah Sungai Lariang, membagi wilayah ini menjadi dua kecamatan yaitu Kecamatan Lore Selatan. Ia terdiri atas beberapa desa antara lain Desa Gintu, Bewa, Bada’ngkaia, Runde, Bakekau, Bulili, Pada dan Bomba. Sedangkan, Kecamatan Lore Barat terdiri atas wilayah Lelio, Kolori, Lengkeka (ibukota kecamatan), Kageroa, Tomehipi dan Tuare. Kedua wilayah ini pada ketinggian 750 dpl.

Komunitas adat Bada’ merupakan sebuah rumpun adat besar, ada lima komunitas adat kecil, antara lain, Kolori, Lelio, Lengkeka, Kageroa dan Tuare. Mereka hidup menyebar di 14 desa, dua kecamatan, dengan populasi sekitar 9.000 jiwa.

Rizal Mahfud, Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sulteng ditemui awal Desember, menjelaskan, masyarakat Bada’ atau biasa disebut To Bada’ (To berarti orang), dalam keseharian menganut dua kepercayaan, beragama Islam dan Kristen. To Bada’ dikenal memiliki jiwa toleransi tinggi dan menghargai perbedaan.“Sangat jarang ada konflik karena keyakinan beragama,”  katanya.

To Bada’ juga dikenal memiliki kepedulian tinggi dalam menjaga hutan. To Bada’ menganggap hutan sebagai bagian tak terpisahkan dari kehidupan dan kepercayaan mereka. Mereka memiliki ritual-ritual tersendiri sebagai penghargaan mereka atas hutan dan alam sekitar. “Setiap tempat mereka memiliki nama-nama tersendiri, dengan fungsi-fungsi berbeda.”

Dia mencontohkan, tempat yang dikeramatkan atau daerah larangan dinamai Wumbu Wana. Tempat ini di puncak gunung, ditumbuhi pepohonan berdiameter kecil dan ditumbuhi lumut. Di tempat ini merupakan sumber mata air, yang menjadi penghidupan masyarakat sekitar.

Syukur Tohokeke, tokoh adat Kolori, mengatakan, kawasan Wumbu Wana adalah terlarang menjamah bagi siapapun. Ada sanksi adat bagi yang melanggar. Ada juga kawasan hutan disebut Wana, yaitu hamparan pohon-pohon cukup besar, juga terlarang dikelola karena dianggap penyangga kawasan. Ia sebagai pelindung kawasan dari banjir.

Dikenal pula kawasan yang disebut Pandulu, yaitu hutan sekunder, di sana hidup berbagai satwa endemik, seperti anoa dan babi rusa. Kawasan ini bagi warga sekitar untuk mengambil hasil hutan non kayu seperti obat-obatan dan rotan. Pengambilan hasil hutan di kawasan ini diatur oleh adat. “Dalam aturan adat ditetapkan setiap pengambilan hasil hutan, seperti damar dan rotan, di kawasan ini dikenakan pungutan 15 persen, diserahkan kepada kas adat desa,”  kata Syukur.

Di kawasan adat Bada’ ada tempat disebut Holu atau bekas kebun yang ditinggalkan selama  5-10 tahun, lalu menjadi kawasan hutan, ditumbuhi semak-semak belukar.

Di kawasan adat Bada banyak ditemukan peninggalan purbakala berupa batu-batu megalit yang masih bertahan sampai saat ini. Inilah yang membuat kawasan Bada ini juga kerap disebut Lembah Purbakala. Foto: AMAN Sulteng
Di kawasan adat Bada banyak ditemukan peninggalan purbakala berupa batu-batu megalit yang masih bertahan sampai saat ini. Inilah yang membuat kawasan Bada ini juga kerap disebut Lembah Purbakala. Foto: AMAN Sulteng

Menurut Apolos Wengkau, Ketua Adat Kageroa Bada’, hal ini sebagai rotasi perladangan agar tanah kembali subur hingga bisa diolah.“Sebelum dibuka kembali menjadi kebun, harus ritual adat, dengan memegang kulit kepala manusia yang disebut Ohihi, bekas peperangan zaman dulu. Ini bertujuan mengusir roh-roh penghuni di daerah itu.”

Kepemilikan wilayah adat Holu ini, bersifat individu ataupun keluarga. Ada juga kawasan Tobu, berupa tebing atau daerah kemiringan dan pertemuan dua sungai atau lebih yang tidak dikelola untuk menjadi kebun. Kondisi tanah labil. Tempat ini sangat cocok sebagai kawasan wisata karena memiliki pemandangan indah.

Kawasan lain Polida’a, atau persawahan masyarakat yang dikelola terus menerus dan kepemilikan individu maupun marga atau keluarga. Untuk pemukiman dan sarana publik lain di daerah dinamakan Powanua’a.

Di kawasan adat Bada’ juga banyak peninggalan purbakala berupa batu-batu megalit yang masih bertahan sampai. Inilah yang membuat kawasan ini kerap disebut Lembah Purbakala.

Masyarakat adat Bada’’ umumnya hidup dari pertanian dan perkebunan. Sejumlah potensi sumber daya alam di kawasan ini antara lain damar, emas, dan rotan. Juga, kakao, sawah, bambu, kopi, aren, durian, madu, pandan, rambutan, kemiri, langsat, kelapa, palawija, sagu dan sejumlah potensi lain.

Menurut Rizal, sejak penetapan Taman Nasional (TN) Lore Lindu oleh Menteri Kehutanan, wilayah adat To Bada’ diklaim sebagai bagian dari kawasan itu. Sejak itu, konflik antara pemerintah dan masyarakat adat kerap terjadi. “Di awal, pemerintah berdalih kawasan ini hanya akan diawasi pemerintah dan tidak ada larangan masyarakat masuk. Sampai hari ini masyarakat adat mulai tersingkir.”

Bagi masyarakat adat Bada’, sejumlah masalah timbul sejak TN Lore Lindu ini antara lain pengelolaan hasil hutan terbatas karena di tapal batas, akses jalan tidak dapat dibuka karena di kawasan TN. Ada kewajiban masyarakat turut melestarikan TN, tapi tak ada jaminan penghidupan mereka. “Saat ini, dari 36.100 hektar lahan diklaim sebagai kawasan adat Bada’, hanya sekitar 8.000 hektar yang diserahkan ke masyarakat adat untuk dikelola.”

Rizal mengatakan, melindungi eksistensi masyarakat adat Bada’, AMAN Sulteng melakukan advokasi sejak 2011. Antara lain pemetaan partisipatif di dua komunitas adat, yaitu Kolori dan Lelio, Kecamatan Lore Barat.

Tahun ini, AMAN Sulteng mendorong peta dan kearifan lokal ini mendapat pengakuan pemerintah daerah. Untuk menempuh jalan ini, mereka melakukan pendokumentasian wilayah masyarakat adat beserta aturan adat dan sanksi-sanksinya.  AMAN juga berhasil mendorong pengakuan peradilan adat dari pemerintah daerah Poso.“Kami juga melakukan peningkatan kapasitas masyarakat terkait pemahaman masyarakat adat dengan hukum.”

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,