, ,

Revisi UU Pesisir Dinilai Tak Berikan Kepastian Hak Nelayan Tradisional

Pada Rabu (18/12/13), sidang paripurna DPR mengesahkan perubahan UU No 27 Tahun 2007, tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Kalangan organisasi masyarakat sipil menilai pengesahan perubahan ini masih lekat dengan eksploitasi, pengkaplingan,  dan privatisasi sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil. Revisi UU ini juga dianggap tak memberikan kepastian hak nelayan tradisional dalam mengakses sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil.

Gabungan organisasi ini terdiri dari Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), dan Institute for Human Rights Commite for Social Justice (IHCS). Lalu, Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) dan Walhi Nasional.

Mereka mendesak penghentian upaya pro investor lewat UU ini. Menurut mereka, ada beberapa hal yang menjadi sorotan. Pertama, dalam revisi UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil jelas pro investasi asing. “Ini dilihat dari pasal 26 A bagaimana pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan sekitar harus mendapat izin menteri. Izin ini dikamuflase dengan persyaratan-persyaratan,” kata Abdul Halim, Sekjen Kiara, dalam pernyataan kepada media di Jakarta.

Ditambah lagi, katanya, pasal itu tak memastikan tidak akan terjadi peminggiran atau penggusuran terhadap akses nelayan tradisional terhadap sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil.  “Ini sudah banyak terjadi resort-resort milik asing di pesisir dan pulau-pulau kecil dikuasai dan menutup akses penghidupan nelayan tradisional.”

Kedua, tetap memprivatisasi dan mengkapling sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil melalui pengubahan skema hak menjadi perizinan. Skema perizinan ini, katanya, melalui dua tahap perizinan yaitu izin lokasi dan pengelolaan yang tetap mengekploitasi sumber daya pesisir pesisir dan pulau-pulau kecil.

Dalam revisi UU Pesisir, skema ini tak memastikan hak persetujuan nelayan tradisional dan masyarakat pesisir terhadap pengelolaan sumber daya pesisir. “Tanpa hak itu, skema ini dapat dipastikan akan tetap melanggar UUD 1945 yang memandatkan bumi, air dan kekayaan alam sebesar-besar untuk kemakmuran rakyat,” kata Islah, dari Walhi Nasional.

Ketiga, hak asasi nelayan tradisional kembali tak diakui dan tak dilindungi dalam revisi UU ini. Sebab, putusan MK tak menjadi rujukan revisi UU ini. Dalam revisi UU ini, nelayan tradisional dan masyarakat pesisir hanya menjadi pertimbangan dalam memberikan izin lokasi. Masyarakat pesisir tetap wajib memiliki izin dalam mengelola sumber daya pesisir walaupun difasilitasi pemerintah.

Padahal Putusan MK, menyatakan pembiaran persaingan antara nelayan tradisional dengan pengusaha merupakan pelanggaran UUD 1945. Sebab, kondisi berbeda atas akses modal, teknologi dan pengetahuan.  “Ini sangat jelas DPR tidak merujuk UUD 1945 sebagai dasar melakukan perubahan,” ucap Halim. “Atas nama nelayan tradisional, masyarakat adat dan seluruh masyarakat pesisir, mereka menolak pengesahan revisi UU ini.”

Penolakan warga terhadap penambangan pasir di Selat Madura. Lewat izin pada para investor apakah wilayah hidup nelayan akan makin terancam dengan pengesahan revisi UU Pesisir ini? Foto: Walhi Jawa Timur

Pada 16 Juni 2011, Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutus uji materil terhadap UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Putusan MK Nomor 3/PUU-VIII/2010 ini muncul berkat uji materi dari 27 nelayan tradisional bersama Kiara, IHCS, dan KPA serta lima organisasi masyarakat sipil lain.

Ada dua bagian penting dalam putusan itu, pertama, membatalkan keseluruhan pasal-pasal terkait dengan hak pengusahaan perairan pesisir (HP-3). Kedua, menilai Pasal 14 ayat (1) UU No. 27 Tahun 2007 yang meniadakan partisipasi masyarakat pesisir dalam penyusunan rencana pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dan dinyatakan melanggar UUD 1945.

Sementara itu, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) memastikan revisi UU ini akan menjamin hak masyarakat adat. Pemberdayaan masyarakat adat termasuk nelayan kecil ditandai dengan masuknya unsur masyarakat dalam inisiasi penyusunan rencana zonasi setara dengan pemerintah dan dunia usaha.

Dikutip dari Antara, Sharif C. Sutardjo, Menteri KKP pada Rapat Paripurna DPR mengatakan, keberadaan UU  ini sangat strategis. Terutama, mewujudkan keberlanjutan pengelolaan sumber daya wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Juga meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang bermukim di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

Substansi revisi UU ini, kata Sharif,  adalah perlindungan dan pemberdayaan masyarakat adat dan nelayan tradisional. Untuk pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dengan tetap mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisional. Juga mengakui dan menghormati masyarakat lokal dan masyarakat tradisional yang bermukim di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

“Kalau dulu untuk menyusun rencana pengelolaan, rencana aksi, dan rencana strategis hanya melibatkan pemda dan dunia usaha, sekarang ditambah masyarakat. Jadi revisi ini sudah menegakkan prinsip good governance.”

Perubahan ini, katanya, menempatkan peran strategis pemerintah dan pemerintah daerah dalam pemberdayaan masyarakat melalui peningkatan kapasitas, pemberian akses teknologi dan informasi, permodalan, infrastuktur, sampai jaminan pasar.

Sharif mengatakan, proses penyusunan revisi ini telah melibatkan pakar dan akademisi dari berbagai universitas, praktisi pengelolaan pesisir, masyarakat pesisir, pelaku usaha, serta lembaga kemasyarakatan.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,