, ,

Murniati, Guru Honor Penyelamat Mangrove di Tanakeke

Panas terik, tetapi tak masalah bagi anak-anak di Kepulauan Tanakeke, Takalar, Sulawesi Selatan (Sulsel), hari itu. Dari kejauhan mereka terlihat bermain di tepian pantai, saling menyiram dan melempar benda di sekeliling.  Mereka tampak riang. Ternyata, mereka tengah menanam mangrove.

Menanam mangrove bak menjadi aktivitas rutin bagi siswa SD Rewataya,  Kepulauan Tanakeke, beberapa tahun terakhir ini, khusus kelas IV-VI. Hampir setiap minggu ada menanam, baik sendiri-sendiri, maupun bersama, dengan teman-teman.

Semua kegiatan ini tak terlepas dari peran Murniati Duddin. Dia sejak tujuh tahun ini mengabdi sebagai guru honor di satu-satunya sekolah di kepulauan itu. Kehadiran Murniati di Kepulauan Tanakeke, memberi semangat baru bagi masyarakat bagi  kelestarian mangrove di kawasan pesisir ini. “Jika kita melihat banyak tumbuh mangrove di sekitar pulau ini, cukup rimbun, itu sebagian hasil jerih payah anak-anak didik saya sejak enam tahun silam. Kini warga sudah bisa melihat hasil. Mereka sangat senang,” katanya, pertengahan Desember 2013.

Upaya Murniati menghijaukan kawasan pesisir Tanakeke dengan mangrove terbilang unik. Siswa tak hanya diberi teori, tapi dilanjutkan di lapangan. Itu pun sukarela bukan paksaan, dan sesuai kesanggupan fisik. Menurut dia, ide itu muncul ketika datang ke Tanakeke pertengahan 2006. Dia melihat sebagian besar kawasan pesisir rusak.“Saya mendengar cerita dari warga sekitar, dulu mangrove tumbuh subur dan lebat. Bahkan mangrove dulu menjadi salah satu sumber penghidupan warga.”

Namun perlahan mangrove mulai hilang karena ditebang. Ada buat bahan bakar dan dijual. Ada juga diubah menjadi tambak. Melihat kondisi itu, Murniati berpikir untuk melakukan sesuatu. Dia mulai belajar pengelolaan mangrove, dan diajarkan kepada para siswa.

Mereka diajarkan berinteraksi dengan alam. Sejumlah mata pelajaran pun digabungkan dengan materi lingkungan, tentang bagaimana mencintai alam. Misal, pelajaran Agama, siswa diajarkan keutamaan menjaga alam sebagai sebuah mahakarya Tuhan yang harus dijaga. “Saya mengajarkan jika menanam dan menjaga alam tetap lestari, akan banyak makhluk hidup lain merasakan. Mereka akan berdoa untuk kita,” ucap Murniati.

Murniati mengatakan, konsep ini awal mula sulit dicerna siswa, bahkan dianggap tak masuk akal. “Mereka biasa bertanya, apa tumbuhan dan hewan bisa berdoa kepada kita bu? Apa penting menjaga kelestarian mereka? Mereka bingung, tetapi setelah saya jelaskan maksud sebenarnya jadi mengerti.”

Para siswa juga diajarkan mengerti berbagai masalah lingkungan sekitar menuliskan sejarah sumber daya alam di sekitar mereka. Misal, dimana dulu banyak mangrove tumbuh alami dan penyebab menghilang. Juga apa dampak kehilangan mangrove ini. “Para siswa harus mewawancarai orang tua mereka dan menuliskan, lalu didiskusikan bersama di kelas.”

Pelajaran mengarang banyak digunakan Murniati untuk menjelaskan betapa penting menjaga mangrove dan lingkungan. Metode ini ternyata cukup berhasil. Anak SD ini banyak tertarik dan menanam mangrove meski di luar agenda sekolah. “Saya kaget, ternyata banyak yang aktif menanami sekitar rumah mereka.” Dalam pembelajaran, Murniati, tak mewajibkan atau memaksa murid menanam mangrove dalam jumlah tertentu. Tergantung minat dan kemampuan mereka.

ebagian warga Tanakeke, menggantungkan hidup dari penjualan kayu mangrove, yang biasa dijual ke Makassar. Mangrove ini biasa dari lahan mereka sendiri. Foto: Wahyu Chandra

Bersyukur, Murniati mendapatkan dukungan penuh dari sekolah dan  para orang tua.”Mereka senang karena anak-anak memiliki aktivitas positif mengisi waktu luang. Apalagi hasil bisa dirasakan kini.

Belakangan, seiring ada program Restoring Coastal Livelihood (RCL) OXFAM, oleh Yayasan Konservasi Laut (YKL) dan Mangrove Plan Action (MAP) Indonesia, upaya pemberdayaan juga diberikan kepada ibu-ibu rumah tangga di sana. Murniati terlibat sebagai fasilitator dan banyak membantu ibu-ibu di pulau itu. Mereka membentuk kelompok usaha ibu rumah tangga dan koperasi bernama Bangko Indah.

Jerih payah Murniati ini menggugah banyak pihak. BaKTI, sebuah lembaga nirlaba yang mengkampanyekan praktik-praktik cerdas di Indonesia Timur, mengundang dia mempresentasikan aksi di Tanakeke di Lombok, Nusa Tenggara Barat, 2011.

Tahun 2011, dia diundang khusus Menteri Kehutanan RI bersama dengan Ibu Negara, Ani Yudhoyono dalam aksi  penanaman pohon sejak dini. Pada 2012, diundang UNESCO untuk berbagi di depan peserta dari 10 negara, terkait pendidikan lingkungan bagi anak-anak. “Acara ini terkait bagaimana menanamkan rasa cinta anak-anak pada lingkungan. Mereka tergugah dengan apa yang saya lakukan, yang katanya mau melakukan sesuatu secara sukarela.”

Pada Juni 2013, bersama 10 guru lain diundang Green Teacher untuk mengikuti program skill share di beberapa sekolah di Australia. “Bahasa Inggris saya belum terlalu bagus, tapi sekedar diskusi dan berbagi saya mampu sedikit-sedikit.” Terakhir, November 2013, dia terpilih sebagai salah seorang perempuan yang menginspirasi oleh program Tupperware SheCan.

Tak puas hanya mengajar di SD, Murniati membangun Taman Kanak-kanak (TK), sejak 2008. Awal berdiri, TK ini belum memiliki bangunan permanen. Hanya memanfaatkan rumah warga. Namun, sejak 2011, TK yang dibina Murniati sudah memiliki bangunan. Dia membangun atas biaya sendiri dan sebagian dana operasional dari Dinas Pendidikan setempat. Dia bahkan memiliki tiga TK di tempat berbeda.

Metode pembelajaran di TK ini pun memberikan pembelajaran lingkungan dengan bermain, disesuaikan daya tangkap anak TK. TK yang dibangun Murniati mendapat antusias warga. Apalagi tak ada pungutan biaya hingga bulan lalu.“Selama ini, sejak 2008, kami tak meminta bayaran. Baru bulan ini coba meminta iuran. Itupun hanya Rp8.000 per bulan, bisa dicicil.”

Untuk membiayai sejumlah aktivitas, kata Murniati, tak mungkin mengandalkan gaji honor dari sekolah, yang biasa dibayarkan tiap tiga bulan. Honor sebagai fasilitator di YKL dan MAP juga dia berikan untuk honor sejumlah guru TK yang membantu. “Para guru TK itu sukarela mau membantu. Paling saya bisa gaji Rp400 ribu per tiga bulan. Kadang saya kasih lebih juga bila ada keperluan penting, misal bayar kuliah mereka.” Sebagian guru TK ini masih mahasiswa. Mereka dulu, siswa yang diajar Murniati.

Murniati bukan penduduk asli Tanakeke. Dia dari seberang laut, Takalar Daratan, Desa Lengekesa, Kecamatan Maggarabombang, Takalar. Berjarak sekitar 15 km dari pelabuhan penyeberangan ke Tanakeke. Dia pertama datang ke Tanakeke, ketika ada lowongan menjadi guru honor SD Rewataya pada 2006, di pulau yang berpenduduk sekitar 300 keluarga. “Setiap dua minggu sekali saya balik ke kampung halaman. Terkadang sebulan saya tidak pulang, jika kegiatan di pulau lagi banyak.”

Anak-anak didik Murniati, usai menanam mangrove di pinggiran pantai. Anak-anak SD Rewataya Pulau Tanakeke ini, kini dengan inisiatif sendiri menanam mangrove di sekitar tempat tinggal mereka. Mereka mencari dan mengumpulkan bibit mangrove , tak peduli dengan sengatan terik matahari. Foto: Wahyu Chandra
Anak-anak didik Murniati, usai menanam mangrove di pinggiran pantai. Anak-anak SD Rewataya Pulau Tanakeke ini, kini dengan inisiatif sendiri menanam mangrove di sekitar tempat tinggal mereka. Mereka mencari dan mengumpulkan bibit mangrove , tak peduli dengan sengatan terik matahari. Foto: Wahyu Chandra
Pelajaran teori di kelas, lalu dilanjutkan dengan praktik di lapangan menanam mangrove. Foto: Wahyu Chandra
Pelajaran teori di kelas, lalu dilanjutkan dengan praktik di lapangan menanam mangrove. Foto: Wahyu Chandra
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,