, , ,

AMAN Perkirakan 2014 Konflik Lahan di Sulsel Makin Tinggi

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sulawesi Selatan (Sulsel) memperkirakan dalam tahun 2014, eskalasi konflik lahan dan sumber daya alam (SDA) bakal mengalami peningkatan lebih besar dibanding sebelumnya. Penilaian ini berdasarkan pada ruang kebijakan yang mulai tersedia, seperti putusan MK 2013, tentang hutan adat bukan hutan negara,  –yang makin memperjelas hak-hak masyarakat adat– tetapi cara pandang pemerintah masih menggunakan paradigma lama.

“Di sejumlah daerah malah belum menerima keberadaan masyarakat adat, meski aturan secara nasional sudah ada. Ini akan makin membuka ruang bagi konflik antara pemerintah daerah dan masyarakat adat,” kata Sardi Razak, Ketua AMAN Sulsel, akhir Desember 2013.

Penyebab lain yang akan mendorong konflik makin tinggi, dengan kesadaran kritis masyarakat. Masyarakat, makin paham hak dan bagaimana memperjuangkan. Tak hanya itu, akses informasi juga makin terbuka dan berperan menumbuhan sikap kritis masyarakat. “Dengan akses informasi terbuka, bisa jadi apa yang terjadi di Mesuji terjadi di Sulsel,” ujar dia.

Selain itu, kata Sardi, dengan makin terbuka ruang investasi di Sulsel, akan nyata berimbas pada wilayah masyarakat adat, terutama sektor pertambangan. “Di kawasan adat Seko, Kabupaten Luwu Utara, saat ini sudah ada tujuh perusahaan mendapat izin pertambangan.”

Belum lagi pelaksanaan program Master Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Program ini diperkirakan banyak merugikan warga, baik pengambilan paksa lahan dengan alasan pembangunan, maupun pengurasan sumber daya air. “Sumber air yang seharusnya untuk pertanian, justru untuk pembangunan PLTA sebagai suplai energi bagi perusahaan-perusahaan tambang. Ini potensi konflik yang harus dicermati bersama.”

Sumber: AMAN Sulsel
Sumber: AMAN Sulsel

Sedangkan, laporan akhir tahun AMAN Sulsel menunjukkan sedikitnya 13 konflik antara masyarakat adat dengan pemerintah dan swasta sepanjang 2013. Terdapat, 11.733 warga merasakan dampak konflik ini.

Warga tak hanya diusir, juga kerap diintimidasi bahkan kriminalisasi. Sejumlah kasus kriminalisasi warga adat masih berlangsung. “Kriminalisasi masih menjadi momok masyarakat adat di beberapa daerah. Belum lagi pengusiran dan berbagai bentuk intimidasi lain.”

Menurut dia, konflik tenurial di Sulsel sebenarnya terjadi hampir di seluruh Indonesia. Di Sulsel dari tipologi konflik, sebagian besar antara masyarakat adat lawan kehutanan, masyarakat adat versus pertambangan dan masyarakat versus perkebunan (PTPN XIV).

Mengenai konflik masyarakat adat dengan Dinas Kehutanan, jika ditilik terjadi antara lain karena karena ada pembatasan akses masyarakat terhadap hutan, pengusiran, dan kriminalisasi. “Pokok persoalan penetapan tapal batas kawasan hutan lindung yang tak demokratis, tidak partisipatif hingga mengorbankan kepentingan masyarakat adat.”

Sardi mencontohkan, kasus masyarakat adat Barambang-Katute Kabupaten Sinjai, Komunitas adat Sando Batu Kabupaten Sidenreng Rappang, adat Kajang Kabupaten Bulukumba dan Adat Matteko Kabupaten Gowa.

Untuk itu, hal mendesak perlu disikapi yakni penetapan kawasan partisipatif. “Jika hal-hal seperti ini terus dibiarkan tidak menutup kemungkinan akan ada lagi korban kriminalisasi masyarakat adat dengan alasan hutan lindung.”

Padahal, katanya, jika berani jujur sekitar 5 juta hektar hutan Indonesia yang masih terjaga justru ada di wilayah adat yang dikelola dengan kearifan lokal. “Mereka mampu menjaga keseimbangan antara pemakaian berdasar kebutuhan dengan pelestarian.” Seharusnya, masyarakat adat yang bisa menjaga hutan itu diberdayakan bukan disingkirkan.

AMAN pun memberikan beberapa rekomendasi, antara lain, pemerintah diminta memberikan pengakuan formal atas wilayah-wilayah adat dan memasukkan peta-peta wilayah ke dalam rencana tata ruang wilayah (RTRW) Sulsel dan daerah kabupaten maupun kota di Sulsel. AMAN juga mendesak pemerintah transparan kepada masyarakat adat terkait pengelolaan dan pemanfaatan wilayah adat sesuai UU Keterbukaan Informasi Publik. Lalu, meminta pemerintah tak memberikan izin mengeksploitasi hutan dan SDA di wilayah adat tanpa persetujuan masyarakat.

“Kami juga mendesak pemerintah daerah dalam penyusunan peraturan daerah harus mengakomodir sistem-sistem adat yang berlaku di komunitas serta otonomi asli masyarakat adat.”

AMAN meminta, pemerintah daerah menggunakan nota kesepahaman antara BPN dan AMAN, lalu AMAN dan Kementerian Lingkungan Hidup sebagai landasan mengidentifikasi, menginventarisasi dan meregistrasi wilayah-wilayah adat.  “Termasuk, dalam penyelesaian konflik-konflik di masyarakat adat.” Sardi menyerukan, setiap kebijakan harus dilaksanakan dengan prinsip-prinsip Free, Prior and Informed Consent (FPIC) atau persetujuan di awal tanpa paksaan.

Sumber: AMAN Sulsel
Sumber: AMAN Sulsel
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,