Shaggydog: Anjing Adalah Peliharaan, Bukan Untuk Dimakan….

Kebiasaan memakan satwa liar sebagai sumber protein, masih terus berlangsung di berbagai wilayah Indonesia. Tak hanya mengonsumsi satwa langka dan dilindungi, namun juga satwa yang selama ini umum didomestikasi seperti anjing atau kucing. Latar belakang budaya, menjadi salah satu penyebab tradisi ini masih berlanjut di beberapa wilayah di Indonesia. Sementara, menurut para pecinta satwa, hal ini dinilai memakan anjing bukan sebuah tindakan yang benar, selain itu memakan anjing dinilai tidak sehat karena tidak ada kontrol dan standar yang terdata terhadap daging anjing.

Demi mengampanyekan gerakan anti-makan anjing, grup band Shaggydog resmi menjadi duta kampanye Stop Makan Anjing sejak Oktober 2013 silam. Kampanye Stop Makan Anjing ini, merupakan dukungan Shaggydog terhadap gerakan aliansi Stop Makan Anjing yang diusung oleh Animal Friends Jogja (AFJ), Jakarta Animal Aid Network (JAAN), Garda Satwa dan House of Stray (HOS) dan Bali Animal Welfare Association (BAWA).

Vokalis Shaggydog, Heru Wahyono kepada Mongabay-Indonesia mengatakan, salah satu alasan mengapa Shaggydog mau terlibat dalam gerakan kampanye ini dikarenakan Anjing itu satwa domestik, yang bisa dijadikan sahabat manusia dan Anjing juga sangat setia kepada manusia. Anjing bukan hewan ternak yang bisa konsumsi masyarakat. “Kami heran, apa tidak ada makanan lain selain makan  anjing,” kata Heru Wahyono yang akrab di sapa Heru.

Heru juga menambahkan, bahwa banyak Anjing yang mengidap penyakit seperti rabies, bakteri ecoli dan distemper. Penyakit itu bisa menular ke manusia.

Program Manager Animal Friends Jogja (AFJ), DZ Angelina Pane, yang akrab dipanggil Ina, kepada Mongabay-Indonesia mengatakan, kami berterima kasih dan apresiasi besar untuk Shagggydog yang tanpa ragu mendukung kampanye Stop Makan Anjing meskipun dengan resiko kehilangan Doggies dan Honnies (fans) mereka yang kontra karena masih menutup hati terhadap kepedulian Shaggydog atas anjing-anjing yang menjadi korban perdagangan untuk dikonsumsi. Ina juga menambahkan, Shaggydog dan fansnya live up to its name,  bahkan telah memulai penyadartahuan dengan slogan “Doggies Don’t eat Dogs” yang telah digaungkan sebelum kampanye bersama Animal Friendss Jogja.

“Kami angkat sekali lagi gelas kami untuk Shaggydog yang telah jadi duta Stop Makan Anjing,” kata Ina.

Dari catatan AFJ, selama ini mereka mencermati makin maraknya perdagangan anjing untuk konsumsi di Daerah Istimewa Yogyakarta dan kota-kota lain, maupun keresahan dan keprihatinan masyarakat peduli satwa Yogyakarta dan di berbagai kota lain maupun wisatawan mancanegara mengenai kekejaman terhadap satwa, khususnya anjing, yang terjadi dalam aktivitas bisnis tersebut. bergerak karena komitmen kami untuk peningkatan kesejahteraan maupun perlindungan satwa, dan pencegahan terhadap tindakan yang melibatkan kekerasan terhadap satwa.

Selain itu, melihat fakta di DI Yogyakarta sebagai kota budaya, pariwisata dan pendidikan bahwa menu daging anjing yang melibatkan perlakuan tidak wajar dan tidak manusiawi dalam prosesnya bahkan sudah dianggap “kuliner khas Jogja” oleh banyak orang. Meskipun mayoritas warga DIY dan Jateng adalah muslim. Dari hasil wawancara AFJ dengan sekian banyak responden, kebanyakan menyatakan bahwa daging anjing biasa dikonsumsi sebagai teman minum-minuman keras.

Pecinta binatang yang memberikan makanan kepada anjing, kucing dan hewan lain yang ditinggal warga mengungsi karena Sinabung meletus. Foto: Ayat S Karokaro
Anjing adalah satwa domestik, dan bukan merupakan sumber protein yang baik karena tidak ada standar kesehatan dan kontrol terhadap daging anjing dari pemerintah. Dalam gambar ini adalah pecinta binatang yang tengah memberikan makanan kepada anjing, kucing dan hewan lain yang ditinggal warga mengungsi karena Sinabung meletus. Foto: Ayat S Karokaro

Di beberapa daerah, seperti misalnya Sumatera Utara, wilayah Indonesia timur dan Sulawesi Utara, bahkan daging anjing dianggap sangat wajar dan ‘membudaya’, ada di menu sehari-hari atau menu pesta, dengan mengesampingkan undang-undang tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan yang sebenarnya berlaku secara nasional di seluruh Indonesia dan mengabaikan perlakuan kejam terhadap hewan saat memprosesnya untuk dijadikan makanan.

“Hasil investigasi kami untuk wilayah DIY, dari satu supplier besar saja, setiap 2 hari ada sekitar 60 ekor anjing yang dibunuh untuk dikonsumsi. Ini di luar penangkapan dan pembunuhan yang dilakukan pribadi atau di tingkat rumahan,” tambah Ina.

Ina berharap, pemerintah dapat kembali berpijak pada undang-undang nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan terutama Bab VI tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Kesejahteraan Hewan, mensosialisasikan UU ini pada masyarakat (terutama pelaku bisnis terkait) dan memberlakukan UU ini secara tegas. Menegakkan hukum perlindungan hewan yaitu pasal 302 KUHP. Bersinergi dengan organisasi pemerhati kesejahteraan satwa dan instansi terkait untuk mengedukasi masyarakat mengenai prinsip-prinsip kesejahteraan hewan, kesehatan hewan dan bahaya-bahaya yang ditimbulkan dari perdagangan anjing untuk konsumsi.

“Yogyakarta dan kota-kota lain di Indonesia akan menjadi lebih sejuk dan terberkati dengan kasih yang diberikan pada satwa. Ayo Stop Makan Anjing,” tegas Ina.

Heru juga menambahkan, pemerintah dalam hal ini dinas peternakan harus ikut aktip dalam pencegahan ini.  Anjing bukan termasuk hewan untuk konsumsi dan seharusnya di stop perdagangannya, dengan masih adanya Anjing untuk di konsumsi juga bisa merugikan disegi pariwisata. Banyak wisatawan luar negeri yang merasa risih dengan adanya warung-waung Sengsu (Warung makan Anjing). “Ayo bersama stop makan Anjing, Doggies ora mangan asu bro,” tutup Heru.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,