, , ,

Lapor Massal Ribuan Petani, Koalisi Minta KPK Seriusi Korupsi Pertanahan

Ribuan petani dari berbagai wilayah di Jawa Barat (Jabar) yang tergabung dalam aksi koalisi anti korupsi pertanahan mendatangi KPK pada Selasa (11/2/14). Mereka mendesak KPK menyeriusi pengusutan kasus-kasus korupsi pertanahan yang berdampak langsung menyengsarakan rakyat sekaligus merugikan negara triliunan rupiah.

Pada aksi itu, perwakilan warga sebanyak 500 orang tanda tangan memberikan kuasa kepada pengacara untuk melaporkan dugaan kasus korupsi kepada KPK. Saat itu, tim pengacara total melaporkan empat  kasus dugaan korupsi pertanahan di beberapa daerah dengan kerugian di atas Rp5 triliun.

Di depan Gedung KPK, tim pengacara menyiapkan tiga meja untuk tanda tangan surat kuasa, yakni perwakilan warga Tasik Malaya, Ciamis dan Garut. Berhubung cuaca mendung, meskipun belum selesai semua, sekitar pukul 11.30-an, pembubuhan tanda tangan ditutup. Tim pengacara lalu masuk ke Gedung KPK buat laporan. Mereka ditemui Imam Trumbudi, bagian Direktorat Pengaduan Masyarakat.

Chairil Syah, Ketua Tim Pengacara Koalisi mengatakan, kali ini mereka melaporkan empat kasus, menyusul 120 kasus. Pertama, dugaan korupsi di PTPN VIII Perkebunan Buni Sari Lendra di Garut, Jabar, dengan kerugian negara ditaksir sekitar Rp4 triliun. Kasus ini dilaporkan massal oleh petani diwakili 500 orang yang memberi kuasa hukum. Diduga kuat terjadi korupsi karena hak guna usaha (HGU) PTPN ini telah habis sejak 1997, tetapi tetap beroperasi. Baru 2013, HGU perpanjangan keluar.

Tiga kasus lain, kata Chairil, pelapor Walhi dan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA). Kedua, kasus perkebunan sawit PT Kurnia Luwuk Sejati di Banggai, Sulawesi tengah, dugaan terjadi pelanggaran peruntukan fungsi karena beroperasi di dalam Suaka Margasatwa Bangkirian dan negara dirugikan sekitar Rp1,4 triliun.

Ketiga, kasus PT PN VII Cinta Manis, di Sumatera Selatan, wilayah operasi jauh lebih luas dari HGU yang dikeluarkan sejak puluhan tahun lalu. Keempat, dugaan korupsi yang terjadi dari dana reboisasi hutan tanaman industri (HTI), PT Berkat Hutan Pusaka, dengan taksiran kerugian negara sekitar Rp11,8 miliar.   “Sebenarnya, kasus dana reboisasi PT Berkat, ini laporan kedua, pertama 2010, begitu juga PTPN Cinta Manis, pada 2013 sudah dilaporkan. Kami ingin tahu perkembangan kasus ini sampai di mana,” katanya.

Warga Garut, yang bersiap-siap membubuhkan tanda tangan guna memberikan surat kuasa laporan dugaan korupsi kepada tim pengacara di depan Gedung KPK. Foto: Sapariah Saturi
Warga Garut, yang bersiap-siap membubuhkan tanda tangan guna memberikan surat kuasa laporan dugaan korupsi kepada tim pengacara di depan Gedung KPK. Foto: Sapariah Saturi

Iwan Nurdin, Sekretaris Jenderal KPA sekaligus koordinator aksi mengatakan, KPK harus menindaklanjuti kasus-kasus korupsi pertanahan yang dilaporkan, seperti HGU perkebunan ini. “HGU yang diperpanjang terlambat, itu uangnya ke mana? Masuk pembukuan negara, kan ga bisa, masuk uang haram?”

Begitu juga kebun sawit yang masuk kawasan hutan margasatwa dan dibiarkan begitu saja. Kondisi tambah parah karena klaim-klaim HGU itu tak jarang menyerobot lahan masyarakat. Jadi, katanya, korupsi pertanahan ini jelas-jelas menyengsarakan rakyat dan merugikan negara. “Korupsi pertanahan sebabkan konflik agraria. Warga protes, polisi terlibat. Korupsi ini langsung membunuh rakyat.”

Menurut Iwan, jika KPK merasa laporan masyarakat sipil ini masih kurang bukti, KPK harus segera turun mengusut. “Sebenarnya kan bukan tugas kita menyelidiki, karena susah bagi masyarakat sipil mengakses data-data. Kami laporkan ini untuk desak KPK prioritaskan kasus-kasus ini.”

Dia mengatakan, kala proses hukum berjalan dan pelaku terjerat diharapkan ada pengembalian tanah-tanah kepada rakyat. “Hingga pemberantasan korupsi ada korelasi langung dengan keadilan masyarakat,” ujar dia.

Tak jauh beda diungkapkan Abetnego Tarigan, Direktur Eksekutif Walhi Nasional. Menurut dia, sejak 2011, sebenarnya Satgas Mafia Hukum dan KPK sudah menyatakan akan menekankan kasus-kasus petanahan. Namun, selama ini, baru satu kasus ditangani, yakni, Bupati Buol dan sang pengusaha Hartati Murdaya. “Saya mau mengingatkan kembali kepada KPK.”

Kasus-kasus korupsi pertanahan ini, katanya, merugikan negara begitu besar dan berdampak langsung kepada warga. Ia juga melibatkan bebagai kalangan, dari level bawah sampai ke atas. “Bayangkan, jutaan hektar lahan diberikan HGU, apa itu hanya keterlibatan bawahan? Bukan malah tekanan dari atas agar izin diberikan?”

Abetnego mencontohkan, banyak pemberian HGU di lahan-lahan yang ternyata berada di kawasan hutan. HGU juga banyak dikeluarkan dan tumpang tindih dengan lahan masyarakat hingga menyebabkan konflik di mana-mana.  “BPN harus bekerja ekstra mereformasi diri secara serius.” Sayangnya, upaya perbaikan diri BPN, sampai saat ini belum tampak.

Setelah lapor massal ke KPK, petani berangsek ke Mabes Polri diakhir di BPN Pusat. Mereka datang ke Jakarta, menggunakan 120 bus besar dan mobil-mobil kecil, diperkirakan 8.000 an orang.

Adapun koalisi anti korupsi pertanahan ini antara lain terdiri dari Walhi, KPA, JKPP, AMAN, Sawit Watch, YLBHI, ICW, Kiara, Bina Desa, dan KPA Jabar. Lalu, Inisiatif, KPRI, LBH Bandung, Elsam, Walhi Jabar, FAM UI, Formasi, FSBKU dan Fordem, KSN dan lain-lain.

Seorang warga Ciamis, Jawa Barat, tengah tanda tangan surat kuasa laporan dugaan korupsi pertanahan. Foto: Sapariah Saturi
Seorang warga Ciamis, Jawa Barat, tengah tanda tangan surat kuasa laporan dugaan korupsi pertanahan. Foto: Sapariah Saturi
Koalisi mendesak KPK serius tangani korupsi petanahan karena langsung menyengsarakan rakyat sekaligus merugikan negara. Kali ini tim pengacara melaporkan empat kasus dugaan korupsi pertanahan.  Itu hanya segelintir. Dalam waktu dekat, koalisi akan melaporkan 120 kasus lagi. Foto: Sapaiah Saturi
Koalisi mendesak KPK serius tangani korupsi petanahan karena langsung menyengsarakan rakyat sekaligus merugikan negara. Kali ini tim pengacara melaporkan empat kasus dugaan korupsi pertanahan. Itu hanya segelintir. Dalam waktu dekat, koalisi akan melaporkan 120 kasus lagi. Foto: Sapaiah Saturi
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , ,