, , ,

Kala Siswa SMU Sulsel Belajar Lingkungan Lewat Mading 3D

Kala sebagian orang tertidur lelap, puluhan siswa SMU di Aula Sekolah Luar Biasa (SLB) Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel), justru kasak kusuk dengan berbagai aktivitas. Ada yang menggunting kertas, membelah gabus putih (styrofoam). Sebagian lagi menulis dan menggambar di kertas berwarna dengan spidol warna warni. Sebagian sibuk mewawancarai.

Begitulah suasana workshop pembuatan majalah dinding (mading) oleh Lembaga Pers Mahasiswa (LPM), Profesi, Universitas Negeri Makassar (UNM) Makassar, dan Mongabay-Indonesia, pada Sabtu malam (7/2/2014). Uniknya, workshop sekaligus lomba ini dilaksanakan pukul 22.00–03.00 dini hari.

Para siswa terlihat antusias mengikuti materi ini, meskipun mereka baru datang dari kunjungan ke sejumlah media. Beberapa kali mereka terlibat diskusi sengit dan itu efektif dalam menghilangkan rasa kantuk. Apalagi setelah materi tata cara pembuatan mading yang saya bawakan, mewakili Mongabay di Sulsel. Kami langsung praktik pembuatan mading tiga dimensi (3D) bertema lingkungan.

Penentuan tema mading masing-masing, dari delapan kelompok, ditentukan dengan diundi. Tujuannya, agar mereka mempunyai cukup untuk mendiskusikan bentuk mading yang akan dibuat dan mencari bahan-bahan yang dibutuhkan, termasuk membeli di toko-toko terdekat.

Setiap kelompok membuat mading terkait isu lingkungan hasil pengundian, masing-masing isu kehutanan, satwa liar, laut lestari, kelestarian mangrove, masyarakat adat, banjir dan sampah.

Suasana pembuatan mading cukup meriah. Tawa riang terdengar ketika mereka berhasil mengerjakan suatu tahapan dengan baik. Sebelum workshop mading ini, terlebih dahulu peserta mendapatkan pengenalan lingkungan melalui seminar bertema Green Writing, pemateri antara lain Mustam Arif dari Jurnal Celebes dan Kurniawan Sabar dari Walhi Sulsel. Peserta dilatih menulis dan reportase, dan berkunjung ke sejumlah media cetak, radio dan TV di Makassar.

Mustam Arif, mengatakan, perhatian media mainstream terhadap isu-isu lingkungan masih rendah. Tak hanya karena keterbatasan kemampuan dan pengetahuan jurnalis terkait isu-isu lingkungan, tetapi komitmen dari media itu.

“Bagi sebagian media, isu lingkungan mungkin dianggap kurang seksi dan berbobot. Isu-isu lingkungan ini biasa baru mengemuka ketika masalah-masalah lingkungan mulai bermunculan. Itupun dalam porsi masih sangat terbatas,” katanya.

Dengan keterbatasan ini, tidak berarti ruang publikasi isu-isu lingkungan menjadi terbatas. Apalagi dengan media sosial yang memberi ruang bagi setiap orang berbagi dan memperoleh informasi dengan mudah. Jadi, tidak lagi mengandalkan informasi dari media mainstream.

“Sekarang sudah ada blog-blog seperti blogspot dan wordpress yang bisa digunakan siapa saja berbagi informasi. Atau ada blog-blog seperti Kompasiana atau di Readersblog Mongabay. Ini bisa kita gunakan untuk menginformasikan info-info lingkungan di sekitar kita.”

Keberadaan berbagai media-media alternatif itu, kata Mustam, peluang yang tak bisa dianggap remeh. Dia mencontohkan, berbagai informasi awal terkait bencana seperti tsunami di Aceh ataupun topan Haiyan di Filipina justru dari liputan dan publikasi warga, yang digunakan media sebagai sumber informasi mereka.

Dia menambahkan, sebagai siswa, pengkajian terhadap persoalan lingkungan sangat penting. Sebab, alam tidak akan lestari jika manusia tidak mengubah cara berpikir dan bertindak.

“Kita bisa mulai dengan segera bertindak, dari yang kecil-kecil, misal penggunaan tissu. Coba bayangkan, jika setiap penduduk Indonesia kurang lebih 250 juta jiwa menggunakan satu lembar tissu, bisa berapa banyak pohon yang ditebang. Ini seharusnya bisa membuat kita lebih arif mengkonsumsi sesuatu,” kata Mustam.

Hasil karya Mading Tiga Dimensi (3D) dari para siswa. Tidak hanya  hasil karya, penilaian mading ini juga dilihat pada  kerjasama kelompok dan  kepekaan mereka pada isu-isu lingkungan. Foto: Wahyu Chandra
Hasil karya Mading Tiga Dimensi (3D) dari para siswa. Tidak hanya hasil karya, penilaian mading ini juga dilihat pada kerjasama kelompok dan kepekaan mereka pada isu-isu lingkungan. Foto: Wahyu Chandra

Kurniawan Sabar dari Walhi Sulsel banyak menyoroti berbagai kasus lingkungan di Sulsel, baik terkait kehutanan, pertambangan, konflik lahan maupun banjir dan tata ruang yang buruk. “Dulu kita memiliki luasan hutan mencapai 2 juta gektar, sekarang diperkirakan tinggal setengah. Ini hanya sebagian kecil dari kasus lingkungan di Sulsel,” ujar dia.

Menjawab pertanyaan peserta yang mengaku mendapat manfaat ekonomi dengan tambang,  kata Kurniawan, meskipun sekilas keberadaan tambang berdampak positif,  sebenarnya keuntungan lebih banyak dinikmati pihak luar, termasuk dari negara-negara investor tambang itu.

Dia mencontohkan ketika PT Vale di Soroako, Luwu Timur, masih bernama PT Inco dan dikuasai Kanada, orang Kanada setiap bertemu orang Soroako pasti akan sangat hormat. “Mereka berpikir orang Soroako yang telah memberi makan kepada mereka. Mereka menjadi sejahtera karena ada tambang nikel itu, penduduk lokal di Soroako belum tentu menikmati hal sama.”

Keberadaan tambang seharusnya memperhatikan lingkungan. Tanpa terkelola baik akan berdampak buruk pada lingkungan jangka panjang. “Marak bencana di berbagai daerah menunjukkan makin buruk kualitas lingkungan. Kasus banjir dan longsor di Sulawesi Utara, justru di daerah ketinggian, bisa menjadi contoh bagi kita,” katanya.

Menurut Kurniawan, banyak peran bisa dilakukan para siswa dalam melestarikan lingkungan, salah satu melalui tulisan. “Saya kira banyak peran bisa dilakukan, tak sekadar seremonial, jauh lebih penting ketika adik-adik bisa menulis isu-isu lingkungan sekitar kita di blog atau di media lain.”

Sejumlah siswa menyatakan senang dengan pelatihan ini. “Saya senang bisa lebih tahu tentang pemberitaan isu lingkungan, saya sangat ingin menulis. Selama ini di kampung saya di Kabupaten Bone banyak kasus-kasus lingkungan namun tak pernah terekspos di media,”  kata Andi Tenri, peserta dari SMU Watangpone, Kabupaten Bone.

Hal sama diakui Nirwani, siswa SMU Alla, Kabupaten Enrekang. Nirwani yang aktif dalam komunitas siswa pecinta alam, mengakui banyak masalah lingkungan yang perlu diekspos ke media, seperti pembuangan sampah di lembah gunung dan penebangan liar. “Saya ingin mengetahui dunia jurnalistik lebih mendalam dan ancaman kerusakan lingkungan yang terjadi,” kata Ardiansyah, siswa SMK I Parepare.

Menurut Yenny Febriati, panitia pelaksana, pemilihan tema lingkungan untuk memperkenalkan isu  ini sejak dini, hingga siswa bisa menulis isu lingkungan di sekitar mereka.

Sebanyak 67 siswa dari sejumlah sekolah di Sulsel dan Sulbar mengikuti kegiatan pelatihan bertema “Be Creative, Be Natural as a Journalist.” Foto: Wahyu Chandra
Sebanyak 67 siswa dari sejumlah sekolah di Sulsel dan Sulbar mengikuti kegiatan pelatihan bertema “Be Creative, Be Natural as a Journalist.” Foto: Wahyu Chandra
Hasil Mading Tiga Dimensi. Foto: Wahyu Chandra
Hasil Mading Tiga Dimensi. Foto: Wahyu Chandra
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,