, ,

Ketika Rawa dan Sungai di Palembang Makin Kritis

Palembang dikenal sebagai kota air. Sebagian besar daerah ini berupa rawa-rawa dan sungai yang menjadi tempat hidup warga. Mulai di rumah panggung, pasar terapung, hingga transportasi menggunakan perahu. Bak Venesia, kota air di Italia.

Namun itu dulu. Kini,  kota dengan luas 358,55 kilometer persegi dan penduduk sekitar 2 juta ini, berubah menjadi kota seolah berdiri di dataran tinggi. Tak lagi seperti Venesia yang masih mempertahankan karakter. Bangunan menggunakan batu dan semen, berdinding tebal, dengan lantai langsung berhubungan dengan tanah, berdiri. Bukan berbentuk panggung lagi.

Tak pelak, wilayah rawa menyusut. Salah satu proyek besar pembasmian rawa-rawa yakni kawasan Jakabaring dan Gandus. Jakabaring terletak di Palembang Ulu, merupakan proyek reklamasi dipelopori Siti Hardijanti Rukmana dan Gubernur Sumsel Ramli Hasan Basri awal 1990-an.

Kini Jakabaring menjadi perkantoran pemerintah, kawasan olahraga, petokoan juga perumahan. Sedang Gandus, di Palembang Ilir berada di ujung Barat Palembang, dulu juga rawa. Kini, menjadi pemukiman seperti perumahan yang pembangunan dimulai dengan penimbunan.

Tak berhenti di situ. Selama 10 tahun terakhir, wilayah rawa di Kalidoni dan Kenten juga disasar penimbunan untuk perumahan dan rumah toko. Tidaklah heran, berdasarkan catatan Walhi Sumsel, luas rawa di Palembang sebelumnya sekitar 200 kilometer kini menjadi 50-an kilometer.

Sungai Menyempit, Ikanpun Hilang 

Bersamaan dengan itu, kondisi anak-anak Sungai Musi makin memprihatinkan. Selain pendangkalan, juga hilang karena ditimbun. Penyempitan atau ditimbun umumnya oleh warga yang memerlukan lahan untuk pemukiman. Warga turut tertarik membuat bangunan bergaya Mediterania. Bukan lagi bangunan rumah panggung.

Pendangkalan anak sungai ini karena pembuangan sampah ke anak sungai. Mengapa terjadi? Anak sungai tak lagi berfungsi sebagai sarana transportasi. Masyarakat menyukai kendaraan bermotor karena banyak dibangun jalan darat, anak sungai juga tidak dapat dilalui lagi karena terhadang jembatan yang dibangun lurus, tidak melengkung. Tak sedikit pipa air bersih melintang di bawah jembatan, hingga perahu tidak dapat melintas di bawah jembatan kecuali musim kemarau.

“Dulu anak sungai ini masih dapat dilalui perahu, karena jembatan rendah hingga tidak dapat dilalui lagi. Anak sungai tidak dapat difungsikan, masyarakat malas membersihkan sampah, sebagian justru menimbun tepian ini buat bangunan,” kata Sigid Widagdo, aktivis dari Wahana Buana Hijau (WBH). Rumah dia di tepi Sungai Saudagar Kocing, anak Sungai Musi.

Dengan perilaku ini, tidak heran anak Sungai Musi tinggal puluhan. Dulu, berdasarkan catatan Belanda, seperti diungkapkan budayawan Djohan Hanafiah, pada 1930-an, ada 316 anak sungai!

“Pembangunan kota yang mengarah pada tradisi dan budaya daratan selama rejim Orde Baru hingga reformasi, menyebabkan puluhan anak Sungai Musi hilang,” kata Djohan Hanafiah, dalam perbincangan dengan penulis sebelum meninggal dunia pada 2010

Beberapa anak Sungai Musi yang masih ada tetapi kondisi memprihatinkan antara lain Sungai Buah, Jeruju, Lumpur, Saudagar Kocing, Kedukan Anyar, Kenduruan, Temenggung, Perigi, Goren, Sekanak, Rendang, Tatang, Demang Jambul, Sintren, Semajid, Kapuran, Sang Putri, Srengam, dan Tikung.

Kerusakan rawa dan anak Sungai Musi memberikan dampak bagi sejumlah jenis ikan di Palembang. Salah satu ikan belida (Notopterus chitala H.B.). Ikan ini dipercaya paling enak dijadikan pempek. “Ikan belida sudah sulit didapatkan di Palembang. Termasuk di rawa yang masih tersisa. Ikan ini hidup di rawa yang air tenang,” kata Sigid.

Jembatan di  anak Sungai Musi yang rendah dan mematikan fungsi sebagai transportasi. Foto: Taufik Wijaya
Jembatan di anak Sungai Musi yang rendah dan mematikan fungsi sebagai transportasi. Foto: Taufik Wijaya

Para pedagang pempek maupun makanan khas Palembang lain seperti pindang dan pepes, terpaksa mendatangkan ikan  itu dari Kalimantan, yang disebut ikan pipih oleh masyarakat Kalimantan. Lantaran sulit didapatkan, harga beragam produk ini pun mahal.

“Ikan ini terancam punah. Sebab sampai saat ini belum ditemukan cara membuidayakan,” kata Sigid. Selain belida, juga ikan putak (Notopterus notopterus), satu genus dengan belida tapi ukuran dewasa lebih kecil. “Kalau mancing di Sungai Musi kita sulit mendapatkan ikan, sebab rawa sebagian sudah tidak ada lagi atau rusak.”

Menyusul Jakarta?

Meskipun banjir di Palembang, tidak seperti di Jakarta, tetapi setiap kali musim penghujan selalu banjir. Rumah penduduk dan jalan-jalan protokol kebanjiran, termasuk Kantor Gubernur Sumsel. “Jika tidak segera dihentikan semua pembangunan yang menimbun rawa, terus normalisasi anak sungai, serta perbaikan drainase, bukan tidak mungkin dua atau tiga tahun ke depan Palembang akan mengalami banjir seperti di Jakarta,” kata Hadi Jatmiko, Direktur Walhi Sumsel.

Bagaimana sikap pemerintah Kota Palembang terhadap ancaman banjir? “Pemerintah Palembang berkomitmen mempertahankan rawa konservasi yang berperan sebagai fungsi asli sumber air dan memelihara kelestarian rawa,” kata Aris Munandar, Kepala Bidang Rencana Strategis dan Tata Ruang Bappeda Kota Palembang.

Berdasarkan pendataan Bappeda Palembang, saat ini luas rawa di sekitar 5.834 hektar atau 58,34 kilometer. Di bawah 2005, luas rawa di Palembang sekitar 200 kilometer.

Dari luasan rawa ini, semua bukan lagi alami. Melainkan rawa konservasi, budidaya dan reklamasi. Rawa konservasi luas 2.106 hektar, budidaya 2.811 hektar dan reklamasi 917 hektar.

Untuk mengantisipasi banjir dan genangan air pada beberapa tempat di Palembang, akan terus dibangun kolam retensi. Pada 2014, akan dibangun empat kolam retensi. Empat kolam retensi baru berada di Kalidoni dan Sematang Borang. Sebelumnya, Palembang sudah ada 22 kolam retensi.

“Pada 2014, kita akan membangun empat kolam retensi di lokasi rentan banjir. Saat ini terpantau titik genangan sudah menurun dari 32 menjadi 12 titik,” kata Dharma Budi, Kepala Dinas Pekerjaan Umum Bina Marga dan Pengelola Sumber Daya Air Kota Palembang akhir tahun 2013.

Pemerintah Palembang juga melakukan normalisasi sejumlah anak Sungai Musi, misal Sungai Sekanak dan Sungai Bendung. “Saya tidak begitu yakin jika hanya mengandalkan pembuatan kolam retensi dan normalisasi anak sungai akan mampu mengantisipasi banjir. Sebab, karakter rawa dengan kolam retensi berbeda.”

Menurut Hadi,  rawa itu resapan air, dengan didukung sejumlah tanaman yang secara alami menjaga volume air, dan memiliki aliran tersendiri ke anak sungai.  Sedang kolam retensi itu penampungan, dan gampang meluap.

Menurut dia, cara paling tepat yakni menghentikan semua kegiatan penimbunan rawa. “Bongkar bangunan atau cabut izin semua bangunan yang menggunakan menimbun rawa. Lanjutkan pembangunan kolam retensi, perbaikan drainase dan normalisasi anak sungai.”

Potensi banjir Februari 2014 di Bengkulu, Jambi, Sumatera Selatan dan Lampung
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,