, , ,

Konflik Lahan dan SDA Tinggi, UU Agraria Dikebiri

Konflik lahan dan sumber daya alam (SDA) di Indonesia, terus meningkat dari waktu ke waktu menjadi indikasi reforma agraria belum berjalan. UU Pokok Agraria (UUPA), yang diharapkan bisa menjawab persoalan pun bak dikebiri dengan kemunculan UU sektoral. Demikian dikatakan Iwan Nurdin, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) dalam dialog publik bertajuk “Penyelesaian Konflik Agraria dan Masa Depan Reforma Agraria Gorontalo” awal Februari 2014.

Dialog ini menghadirkan Bondan Andriyanu, Sawit Watch; Haris Azhar, Kontras;  Iwan Nurdin Sekjen KPA, dan perwakilan pemerintah seta kepolisian Gorontalo.

Iwan mengatakan, masih banyak menganggap UUPA produk Belanda, hingga ada yang bisa diambil dan dibuang. Ada juga tudingan UU ini lekat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), hanya karena lahir tahun 1960-an. Padahal, UUPA Nomor 5 tahun 1960, itu sangat nasionalis.

“Dalam UUPA, tujuan reforma agraria intinya mewujudkan keadilan agraria sebagai bagian keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sumber-sumber agraria ditata ulang tidak hanya tanah, tetapi semua bagian bumi yang memberi penghidupan bagi masyarakat,” katanya.

Dia menjelaskan, reforma agraria mengandung pengertian sebagai strategi politik pembangunan ekonomi melalui penataan kembali struktur kepemilikan, dan penguasaan. Lalu, pengelolaan sumber-sumber agraria yang sebelumnya timpang menjadi lebih berkeadilan.

Sayangnya, UUPA tak pernah berjalan sesuai semangat para pembentuknya. Bahkan, diselewengkan dan dikebiri oleh UU sektoral seperti UU Pertanahan, Minerba, Kehutanan, dan lain-lain. “Konflik agraria pun muncul di berbagai sektor. Kerusakan lingkungan dan pelanggaran HAM meluas.”

Pada tahun 2013, KPA mencatat, 369 konflik agraria meliputi 1.281.660.09 hektar, korban 139.874 keluarga. Korban tewas 21 orang, ditembak 30, ditahan 239 orang, dan disiksa 130 orang.

Jika dibandingkan 2012, naik 86 persen, dimana 198 konflik agraria meliputi 963.411,2 hektar, dan 141.915 keluarga, 156 petani ditangkap, 55 mendapat penyiksaan, serta tiga orang tewas.

Menurut Bondan, persoalan pokok saat ini yaitu ketimpangan penguasaan lahan, tumpang tindih perizinan dan penggunaan lahan serta tidak ada transparansi. Lalu, ada dualisme rezim tanah, ketiadaan mekanisme penyelesaian konflik lahan yang memadai, dan tanah-tanah adat atau ulayat belum ada pengakuan.

Dia mengatakan, penguasaan tanah skala besar, dengan cara apapun baik legal maupun ilegal, kepada korporasi, kebanyakan bersifat lintas batas, seperti teritori, wilayah administrasif, dan negara. Di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, katanya, ada empat faktor proses penggusuran masyarakat atas tanah mereka yakni, peraturan, pasar, legitimasi politik dan paksaan ataupun melalui penipuan dan gabungan.

Untuk itu, agenda penting segera dilaksanakan adalah legal audit dan legal complain terhadap semua perizinan perusahaan perkebunan, kehutanan maupun tambang. Kebijakan daerah mengenai perkebunan berkelanjutan juga hal penting yang harus didorong.

Mengenai konflik agraria yang melibatkan aparat kepolisian, AKBP Donny Arief Praptomo, Kepala Sub Direktorat IV Tindak Pidana Tertentu (Tipidter) Polda Gorontalo mengungkapkan, dengan berbagai peraturan perundang-undangan maupun peraturan pemerintah, disertai pembagian kewenangan pusat dan daerah, belum bisa mencegah tidak ada konflik.

Sumber-sumber konflik agraria, katanya, antara lain muncul peraturan sektoral pasca UUPA, antara lain UU Kehutanan, UU Sumber Daya Air, UU Perkebunan, UU Mineba, dan lain-lain. Kebijakan penyelesaian konflik yang diambilpun tidak komprehensif. Terjadi kurang koordinasi pemda, instansi terkait dan aparat keamanan dalam mengambil kebijakan khusus terkait investasi.

Sumber: KPA
Sumber: KPA
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,