Kematian Gajah: Potret Pincang Ekspansi Kelapa Sawit & Penegakan Hukum

Penemuan tujuh kerangka gajah Sumatra (Elephas maximus sumatrae) di dekat Taman Nasional Tesso Nilo pada pekan lalu merupakan eskalasi dari perperangan antara meningkatnya permintaan terhadap kelapa sawit dunia dengan lemahnya penegakkan hukum Indonesia dan tidak kuatnya kebijakan keberlanjutan perusahaan.

Demikian disampaikan Eyes on the Forest (EoF) terkait dengan tingginya angka kematian gajah sumatra di habitatnya di Riau hari ini sebagaimana tertulis di laman Eyes on the Forest, sebuah koalisi WWF, Walhi Riau dan Jikalahari.

Dari 2012 hingga pekan lalu sebanyak 33 gajah telah ditemukan mati di Tesso Nilo, satu-satunya habitat di Riau yang masih bisa diharapkan namun terancam. Mayoritas bangkai gajah yang diperkirakan mati sejak beberapa bulan itu telah diambil gadingnya. Namun demikian koalisi ini menilai pencurian gading bukanlah satu-satunya alasan pembunuhan gajah tersebut meski harganya cukup menjanjikan.

“Jika hutan semakin berkurang dan kematian gajah tidak ditekan, maka populasi gajah Tesso Nilo diperkirakan akan punah kurang dari sepuluh tahun mendatang,” tertulis dalam rilis.

Laju pertumbuhan perkebunan kelapa sawit dan hilangnya tutupan hutan di
Laju pertumbuhan perkebunan kelapa sawit dan hilangnya tutupan hutan di Indonesia dan Malaysia

Tersudutnya gajah dan satwa penting lainnya dikarenakan meluasnya para perambah yang secara ilegal menanam kelapa sawit. Perubahan hutan menjadi sawit telah menyebabkan gajah – si penghuni aslinya terdesak dan akhirnya berkonflik dengan para perambah. Kelapa sawit telah lama menjadi pembunuh nomor satu gajah di Sumatra. Seringkali pemilik kebun yang marah menebar racun di daun-daun atau memasukkannya ke dalam buah yang akan dimakan oleh gajah.

Dalam investigasi WWF beberapa waktu lalu menemukan bahwa rute suplai kelapa sawit dari dalam taman nasional itu berakhir di pabrik-pabrik yang dioperasikan Wilmar dan Asian Agri dan disuling di kilang di pelabuhan Dumai. Minyak sawit yang telah disuling kemudian dikapalkan ke sejumlah pabrik di sejumlah negara dan diproses lebih lanjut untuk menjadi apa saja mulai dari margarin dan lipstik.

“WWF mendesak pemerintah Indonesia untuk mengindentifikasi dan memperkarakan para pembunuh dan mengembalikan Taman Nasional  ke penghuni aslinya, gajah, harimau dan banyak lagi spesies lainnya,” tulisnya.

Kehancuran Tesso Nilo telah menarik banyak perhatian sejumlah publik dunia. Pada September lalu, bintang hollywood, Harrison Ford secara khusus berkunjung dan menyaksikan dengan mata sendiri bagaimana hutan yang kaya keanekaragaman hayati ini terancam. Keanekaragaman hayati di kawasan ini antara lain terdapat 360 jenis flora dalam 165 marga dan 57 suku di setiap hektarnya. Selain rumah bagi gajah dan harimau Sumatra juga terdapat 114 jenis burung, 50 jenis ikan, 33 jenis herpetofauna dan 644 jenis kumbang. Dan faktanya, lebih dari 50 persen dari total luas Tesso Nilo 83 ribu hektar kini telah dirambah.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,