,

Samalona, Pulau Indah dalam Keterancaman

Kota Makassar, Sulawesi Selatan, identik dengan Pantai Losari. Tak lengkap jika berkunjung ke Makassar jika belum mengunjungi dan berpose di sepanjang anjungan pantai yang membentang di pesisir Selatan kota anging mamiri ini. Apalagi dengan makin banyak fasilitas publik yang dibangun demi kenyamanan pengunjung berjubel tiap hari.

Tak jauh dari Losari ini, ada lokasi rekreasi keluarga yang tak kalah menarik. Di antara gugusan pulau sepanjang kawasan yang disebut spermonde ini terletak satu pulau kecil yang disebut Pulau Samalona.

Setiap Jumat–Minggu atau pada hari libur, puluhan hingga ratusan orang mendatangi pulau ini. Bukan hanya dari Makassar, tapi daerah lain sekitar Makassar. Bahkan wisatawan asing kerap berkunjung.

Untuk menjangkau pulau yang hanya seluas sekitar satu hektar ini cukup menyewa perahu berpasitas lima orang di dermaga Kayu Bangkoang atau popsa. Bayaran sekitar Rp 300 ribu untuk pengantaran pergi dan pulang dari pulau, dengan waktu tempuh sekitar 30 menit.

Pulau Samalona menjadi unik karena lokasi berdekatan dengan Makassar. Dari pulau ini bisa melihat Makassar dari sisi berbeda. Terlihat gedung-gedung tinggi sepanjang pantai. Termasuk lalu lalang kapal angkut barang dan penumpang dari pelabuhan Soekarno Hatta yang memang berada tak jauh dari lokasi itu.

Air jernih, jauh dari kebisingan kota, hingga menjadi semacam oase bagi warga Makassar untuk menenangkan diri atau sekadar bercengkrama dengan keluarga. Banyak juga yang memancing dan menyelam. Sejumlah spot penyelaman berada di sekitaran pulau ini.

Pulau Samalona bukanlah tak bertuan. Sekitar 37 keluarga berdiam di pulau ini, yang masih keluarga dekat. Menurut Daeng Muna, warga pulau, yang ditemui Mongabay awal Februari lalu, ada tujuh keluarga besar yang mengklaim pemilik pulau ini. Nama-nama keluarga pemilik pulau bahkan terpasang di dermaga pulau.

Ada klaim kepemilikan atas pulau ini pulalah yang kemungkinan penyebab tidak ada perhatian pemerintah kota. Meski menjadi salah satu tujuan wisata bahari namun tak satupun kantor atau petugas pemerintah terlihat. Pengelolaan wisata di pulau ini otomatis oleh warga.

Ketika menginjakkan kaki di pulau ini,  belasan warga sudah menyambut menawarkan berbagai layanan. Terdapat belasan rumah bisa disewa dengan tarif antara Rp300 ribu–Rp1 juta per malam. Bagi yang tak ingin menginap bisa menyewa gasebo atau tempat beristirahat dari bambu dan papan dengan tarif Rp50 ribu. Warga juga menyewakan sejumlah peralatan mandi, menyelam dan memancing.

Pengunjung bisa menikmati masakan ikan dengan tarif beragam. Terdapat sejumlah penangkaran ikan di sekitar pantai. Pembeli bisa memilih jenis ikan, dengan harga kisaran Rp25 ribu-35 ribu per ekor.

Dengan segala keindahan dan kenyamanan, Pulau Samalona ini bukan tak bermasalah. Ada ancaman abrasi pantai. Di sisi berbeda, daerah perairan sekitar pulau mengalami sedimentasi cukup parah. Termasuk banyak sampah kiriman dari daratan.

Pagar-pagar yang dibangun guna melindungi pulau dari terjangan ombak dan kikisan abrasi yang sudah 'memakan' hampir separuh pulau ini. Foto: Wahyu Chandra
Pagar-pagar yang dibangun guna melindungi pulau dari terjangan ombak dan kikisan abrasi yang sudah ‘memakan’ hampir separuh pulau ini. Foto: Wahyu Chandra

Menurut Bakri, warga setempat, dahulu luas pulau ini mencapai dua hektar lebih. Perlahan luas daratan pulai ini menyempit akibat abrasi beberapa tahun silam.“Dulu daratan jauh lebih luas. Sekarang tinggal seperti ini. Perlahan mulai terkikis.”

Di beberapa lokasi bahkan merupakan hasil timbunan warga, dengan tanah diambil berasal dari pulau itu juga.“Dulu pantai agak masuk ke dalam, tapi segera ditimbun.”

Untuk mencegah abrasi lebih parah, Bakri dan sejumlah warga membangun tanggul sederhana dari kayu dan tumpukan batu.Pulau ini juga terlihat tak terawat. Terdapat sejumlah bangunan hampir roboh ditinggalkan pemilik. Tumpukan sampah banyak terlihat berserakan di sekitar pantai. Sejumlah pengunjung terlihat seenaknya membuang sampah, meski di tempat itu tersedia tempat pembuangan sampah.

Air juga sangat susah dan harus didatangkan dari daratan. Harga bisa mencapai Rp20 ribu per jirigen. Tak heran jika buang aikr kecil atau membersihkan diri setelah mandi pengunjung harus membayar tarif Rp5.000 dengan air terjatah.

Masalah lain adalah sedimentasi. Awaluddinnoer dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Laut Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Universitas Hasanuddin mengatakan, sedimentasi ini antara lain  karena makin banyak pembangunan dan reklamasi di sepanjang Pantai Losari.

“Ada banyak pembangunan di sekitar pantai beberapa tahun terakhir, itulah yang memicu sedimentasi di Samalona ini dan sejumlah pulau lain sekitar Makassar,” katanya.

Dampak lain, makin tinggi tingkat kekeruhan air di sepanjang pulau. Kondisi ini, khawatir berdampak pada keberlangsungan karang di kawasan itu.“Beberapa hari lalu saya bersama teman-teman menyelam di sekitar pulau itu, namun tak banyak yang bisa kami lihat karena kondisi makin keruh. Entah karena pengaruh hujan atau lainnya, yang jelas dulu kondisinya jauh lebih baik.”

Penyebab lain sedimentasi di Pulau Samalona disinyialir Awaluddinnoer karena aliran lumpur dari Sungai Jeneberang, Selain mengangkut limbah industri dan residu pupuk dan pestisida yang menyebabkan eutrofikasi, juga menyebabkan sedimentasi cukup parah.

Menikmati kejernihan air di pulau ini ternyata hanya bisa pada pagi hari. Di siang hari, air mulai surut dan mulai keruh. Bahkan pada sore hari kondisi jauh lebih buruk. Tumpukan sampah mulai terlihat memenuhi sepanjang pesisir pulau.

Menurut Awaluddinnoer, Pantai Losari menjadi tempat pembuangan sampah raksasa, dimana sejumlah kanal atau gorong-gorong pembuangan sampah bermuara di pantai ini.

Ironisnya, dampak dari limbah ini mencapai pulau-pulau kecil di sekitar Makassar dengan radius cemaran diperkirakan telah mencapai 10 km.

Menurut dia,, jika proses sedimentasi dan pencemaran ini terus berlanjut dan mengalami loncatan perkembangan, bisa diperkirakan lima tahun ke depan terumbu karang di sekitar kawasan ini hancur total.

Mengatasi hal ini, katanya, perlu pembangunan pesisir pantai yang tidak bersifat parsial, tidak hanya melihat pada laut juga dengan apa yang terjadi di darat.“Harus dilihat bahwa apa yang terjadi di darat akan sangat berpengaruh dengan apa yang akan terjadi di laut. Ini berarti upaya-upaya haruslah besifat komprehensif dengan memberi perhatian di kedua kawasan itu.”

Para turis yang datang menikmati keindahan pulau, dari berenang, sampai memancing. Foto: Wahyu Chandra
Para turis yang datang menikmati keindahan pulau, dari berenang, sampai memancing. Foto: Wahyu Chandra
Beberapa rumah di Pulau Samolana, yang diklaim milik beberapa keluarga. Foto: Wahyu Chandra
Beberapa rumah di Pulau Samolana, yang diklaim milik beberapa keluarga. Foto: Wahyu Chandra
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,