,

221 Anak Sungai Musi Hilang, Pendangkalan Sungai di Medan pun Parah

Dampak beragam aktivitas, dari penimbunan buat pembangunan sampai pembuangan sampah sembarangan menyebabkan dua daerah ini mengalami kondisi hampir sama. Di Palembang, 221 anak Sungai Musi hilang dan di Medan terjadi pendangkalan sungai dan parit.

Usia belum sampai satu abad, Palembang telah kehilangan sekitar 221 anak Sungai Musi. Kepastian kehilangan ratusan anak Musi  ini setelah Dinas Pekerjaan Umum Bina Marga dan Pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) Kota Palembang merilis data 95 anak Sungai Musi di Palembang, melalui situs remi mereka yang dikutip Jumat (21/2/14).

Jika dibandingkan data milik pemerintah Belanda dikutip budayawan Palembang Djohan Hanfiah (2010), tahun 1930-an daerah ini memiliki 316 anak sungai . Jadi,  selama Indonesia berdiri, Palembang kehilangan 221 anak sungai.

Berdasarkan catatan sejarah, pemerintah Belanda hanya menimbun satu anak sungai yakni Sungai Kapuran, dijadikan jalan yang kini dikenal sebagai Jalan Merdeka.

Dari puluhan anak Sungai Musi ini, hanya Sungai Bendung terletak Ilir Timur II dengan kondisi agak lebih baik, dengan panjang mencapai 8.500 meter, lebar berkisar 6-15 meter dan kedalaman antara satu sampai tiga meter.

Anak Sungai Musi dengan kondisi sangat memprihatinkan yakni Sungai Rengas berada di Ilir Timur II sepanjang 200 meter, lebar tiga sampai lima meter dan kedalaman satu sampai tiga meter.

Anak Sungai Musi paling banyak bertahan ada di Kecamatan Seberang Ulu 1 sebanyak 22, disusul Kecamatan Gandus dengan 16, Ilir Barat satu dan Ilir Barat II dengan sembilan anak sungai.

Secara umum, panjang anak Sungai Musi yang bertahan hanya ratusan meter, kedalaman berkisar satu sampai tiga meter, dan lebar rata-rata di bawah 10 meter. Bahkan ada yang hanya satu meter.

Dulu, Palembang nyaris tidak pernah mengalami banjir meskipun sebagian wilayah dataran rendah, peranan anak-anak Sungai Musi ini sangat penting sebagai sarana transportasi masyarakat. “Saat masih kecil, saya dan orangtua dengan menggunakan perahu tidak perlu menyusuri Sungai Musi seperti sekarang ini untuk pergi ke Kuto. Kami cukup menyeberang Sungai Musi. Masuk ke Sungai Sekanak, lalu Sungai Kapuran hingga menembus Sungai Bayas,” kata Mang Zim (81), warga Seberang Ulu I Palembang.

Sungai Sekanak. sudahlah menyempit, dangkal pula. Keberadaan sungai inipun terancam hilang jika tak ada upaya perbaikan. Foto: Taufik Wijaya
Sungai Sekanak, sudahlah menyempit, dangkal pula. Keberadaan sungai inipun terancam hilang jika tak ada upaya perbaikan. Foto: Taufik Wijaya

Berdasarkan penelitian Balai Arkeologi Palembang, Sungai Sekanak diperkirakan sebagai sarana transportasi menuju Bukitsiguntang. Berarti memiliki panjang puluhan kilometer. Kini, panjang anak sungai ini tinggal 2.000 meter.

Begitu pula Sungai Aur. Anak sungai yang dijadikan kantor dagang atau loji VOC, dulu bisa disinggahi banyak kapal, kini lebar tak lebih dari 10 meter dan panjang tinggal 1.000 meter. Sampah nyaris menutupi badan anak sungai. Saat musim kemarau, Sungai Aur mirip bak sampah besar.

Padahal, anak sungai ini di masa lalu sangat dikenal masyarakat Eropa. Sebab akibat peristiwa penyerangan loji VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie)  di Sungai Aur oleh rakyat Palembang, yang diduga didukung persenjataan Inggris pada 14 September 1811, melahirkan peristiwa politik Traktat London pada 17 Maret 1824.

Traktat London ini yang memutuskan pembagian wilayah kekuasaan Belanda dan Inggris di Nusantara. Kemudian hari menjadi dasar pembagian wilayah Indonesia, Singapura, Brunei dan Malaysia.

Begitu pula lokasi Kuto Gawang, diperkirakan tempat kelahiran Raden Hasan atau dikenal sebagai Raden Fatah, pendiri Kesultanan Demak. Setelah lokasi keraton Kerajaan Palembang ini dijadikan PT Pupuk Sriwidjaja, dua anak Sungai Musi yang mengapit ini memprihatinkan. Yakni Sungai Buah panjang tinggal 1.400 meter, dan Sungai Taligawe panjang berkisar 500-an meter.

Julian Junaidi Polong (JJ Polong) dari Serikat Petani Indonesia (SPI) di Palembang mengatakan, guna mempertahankan keberadaan anak sungai itu, dengan revitalisasi. “Sungai yang menyempit diperlebar, dan telah tertimbun digali kembali. Tanami sepanjang anak sungai itu dengan tanaman yang dapat mengontrol air,” katanya. Lalu. hukum berat mereka yang telah menimbun atau menyempitkan anak sungai.

Dulu, katanya, Palembang dijaga ratusan anak Sungai Musi. Palembang menjadi seperti saat ini, selalu dilanda banjir, karena anak-anak sungai itu tidak berfungsi lagi. Rawapun habis. “Jika anak Sungai Musi ini kembali ditata, dan bisa dilalui perahu seperti di masa lalu, dapat menjadi obyek wisata menarik.”

Dzulmi Eldin, Plt Walikota Medan  (jongkok) saat melihat perbaikan selokan parit  yang rusak parah akibat  sampah. Foto: Ayat S Karokaro
Dzulmi Eldin, Plt Walikota Medan (jongkok) saat melihat perbaikan selokan parit yang rusak parah akibat sampah. Foto: Ayat S Karokaro

Pendangkalan Sungai Memprihatinkan

Sedangkan di Medan, Sumatera Utara (Sumut), Pembuangan sampah organik dan non organik sembarangan ke parit dan sungai, dilengkapi dengan pengawasan lemah menyebabkan pendangkalan (sedimentasi) dan penyumbatan drainase parah. Parahnya lagi, drainase parit di Kota Medan, ada yang ditimbun bahkan ditutup warga, hingga mempersulit pengerukan bahkan menyebabkan aliran air tersumbat.

Dzulmi Eldin, Pelaksana Tugas Wali Kota Medan, ketika berkunjung area yang mengalami sedimentasi di Medan Selasa-Kamis (27/2/14). Dia memimpin langsung, pemetaan dan pertemuan lapangan dengan sejumlah satuan kerja di Medan.

Melihat sedimentasi dan drainase parah ini, dia memerintahkan pengerukan dan peremajaan. “Terjawab sudah, mengapa setiap kali hujan deras, kota selalu kebanjiran. Sedimentasi parah. Pembuangan limbah dan produk tidak ramah lingkungan ke parit dan aliran air salah satu penyebab, ” katanya.

Saat mendengarkan penjelasan kelurahan dan kecamatan di Medan, Dzulmi, menghentikan pembicaraan. Dia langsung memerintahkan diturunkan satu unit alat berat backhoe untuk pengerukan.

“Pengorekan tidak mungkin manual dengan cangkul maupun garukan. Selama ini apa kerja kalian? Mengapa bisa parah begini sedimentasi dan drainase, ” katanya.

Dari lapangan,  terlihat parit di Kecamatan Medan Kota, terutama di Kelurahan Kota Matsum (Komat) III, banyak tersumbat dan mengalami sendimentasi parah, akibat penuh sampah. Tak sedikit permukaan parit di depan rumah maupun usaha milik warga, ditutupi papan dan coran beton. Dampaknya, setiap kali hujan deras, parit tidak mampu menampung debit air, hingga melimpah dan menggenangi jalan maupun rumah warga.

Sebagai bentuk pembelaan diri, Clara Patricia, Lurah Komat III Medan, justru menyalahkan Dinas Bina Marga atas tumpukan sampah yang memenuhi permukaan parit dan aliran air itu.  Dia berulangkali melaporkan kepada Dinas Bina Marga, namun tidak ada aksi.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,