Dinilai Berpotensi Bencana, Jalan Menembus TN Kerinci Seblat Ditolak

Sejumlah lembaga yang tergabung dalam Solidaritas Kerinci Seblat (SKS) menolak pembangunan dua jalan evakuasi yang baru untuk mengantisipasi meletusnya Gunung Kerinci dan Gunung Kunyit sewaktu-waktu. Mereka meminta pemerintah untuk lebih memaksimalkan jalan-jalan yang sudah ada karena jauh lebih ekonomis dan lebih rasional.

Belasan lembaga tersebut antara lain: Walhi Jambi, Walhi Bengkulu, Genesis, Aliansi Konservasi Alam Raya, LTA, Lembaga Tiga Beradik, Ulayat, ICS, Gerakan Cinta Desa, LAHAR, Yayasan Kedaulatan Rakyat, Warisan Kekayaan Sumatra, YKS, Komunitas Konservasi Indonesia WARSI, Kerinci Hijau, dan Kerinci Bird Club. Mereka mendiskusikan usulan itu untuk direkomendasikan ke pemerintah pusat dan daerah di Kantor Walhi Jambi pada 6 Maret lalu.

Usul Rencana Jalan evakuasi. Sumber : Olahan Solidaritas Kerinci Seblat.
Usul Rencana Jalan evakuasi. Sumber : Olahan Solidaritas Kerinci Seblat.

Seperti diketahui pada 17 Februari lalu, Aliansi Rakyat Kerinci Bersatu (ARKEB) telah mengadakan  dengar pendapat dengan DPR-RI dan Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) serta Bupati Kerinci, Murasman terkait usulan pembangunan jalan evakuasi sebanyak dua jalur: Lempur (Kerinci) – Sungai Ipuh (Mukomuko, Bengkulu) sepanjang 17 kilometer dan Masgo (Kerinci) – Dusun Tuo (Merangin) sepanjang 11 kilometer. Kedua jalan ini hendak dibangun selebar 8 meter.

Ketua DPR-RI, Marzuki Alie meminta agar legislatif memberi dukungan untuk merealisasikan kedua jalan evakuasi tersebut. Mengingat di sana terdapat gunung berapi aktif Gunung Kerinci. “Saya berani pasang badan bahwa DPR pasti setuju. DPR tidak ada persoalan untuk mendukung realisasi jalan evakuasi,” ujar Marzuki Alie ketika itu.

Kabupaten Kerinci yang terletak sekitar 410 Km bagian barat Provinsi Jambi termasuk daerah rawan bencana. Bencana alam gempa bumi akan terus berulang karena Indonesia merupakan daerah rawan gempa bumi, baik vulkanik maupun tektonik. Sering disebut sebagai daerah sabuk api Pasific (Pacific Ring of Fire). Penduduk Kerinci dan Sungai Penuh mencapai 324.560 jiwa.

Peta rencana pola ruang

Selain tanah longsor dan banjir, daerah ini juga rawan bencana letusan gunung api, yakni Gunung Kerinci dan Gunung Raya. Gunung Kerinci dengan tinggi 3.805 meter merupakan gunung api tertinggi di Sumatra yang masih aktif dan sewaktu-waktu berpotensi meletus.

Sebelum bencana itu terjadi, Marzuki Alie, pemerintah perlu melakukan langkah antisipasi, termasuk perubahan izin terhadap fungsi Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) untuk jalan evakuasi. Maklum jalan evakuasi tersebut melewati 11 kilometer membelah TNKS dan jalan tanah eks HPH Serestra sepanjang 12 kilometer. Bila ruas jalan disetujui maka Pemerintah Kabupaten Kerinci menjamin akan memasang pagar pengaman di sepanjang jalan untuk mengantisipasi ancaman penebangan liar.

Ketua DPR Marzuki Alie juga mendesak Kementrian Kehutanan untuk lebih mementingkan keselamatan hidup masyarakat di sekitar gunung Kerinci. “Aturan ini, kan, bukan kitab suci. Jadi bisa kita ubah untuk menyelamatkan masyarakat,” Marzuki Alie menegaskan.

Alhasil, hasil pertemuan tersebut bersepakat untuk pembangunan kedua jalan evakuasi tersebut. Langkah awal kesepakatan, kata Ketua Presidium ARKEB, Adhi Putra Siaga adalah mengusulkan alih fungsi dari hutan konservasi menjadi hutan lindung. “Ini menurut saran dari Dirjen PHKA,” kata Adhi kepada Mongabay-Indonesia pada 6 Maret lalu.

Pada 24 Februari lalu, Bupati Kerinci Murasman sudah mengusulkan proses tersebut kepada Gubernur Jambi, Hasan Basri Agus. Selanjutnya, kata Adhi, Gubernur mengusulkan kepada Menteri Kehutanan. Barulah Menteri Kehutanan menyampaikan rencana alih fungsi tersebut kepada Komisi IV DPR-RI. “Sampai saat ini, apakah Gubernur Jambi sudah menindaklanjuti usulan Bupati, kami belum tahu,” ujarnya. Setelah melewati semua proses tersebut, ujar Adhi, barulah pelaksanaan pembangunan jalan evakuasi bisa dilaksanakan.

Sebenarnya, sudah dua kali Gubernur Jambi, Hasan Basri Agus menyurati Menteri Kehutanan mengusulkan pembangunan dua jalur jalan evakuasi tersebut. Pertama pada 28 Maret 2011 dan kedua 31 Agustus 2012. Argumentasinya seperti yang dipaparkan dalam surat, kedua jalan tersebut adalah jalan lama. Keberadaan Desa Masgo, Lempur, Dusun Tuo, dan Desa Sei Ipuh merupakan desa-desa lama yang dibuktikan dengan Piagam Tahun 1675, 1739, dan 1759.

Jalan Lempur – Ipuh dahulu merupakan jalan setapak melalui Bukit Sitinjau Laut, merupakan tempat bersejarah pada abad 19 yang dikenal dengan Ikrar Sitinjau Laut. Tempat pertemuan antara Depati IV Alam Kerinci dan Sultan Indrapura yang diwakili pihak Kerajaan Pagaruyung.

Jalan setapak itu sudah digunakan masyarakat sejak 1901 silam oleh masyarakat Lempur dan Sei Ipuh karena memiliki hubungan kekerabatan, bahasa, dan gelar adat yang sama. Pada tahun 2005, Direjen PHKA telah memberi izin peningkatan ruas jalan Lempur – Ipuh dengan menggunakan konstruksi material alam melalui surat nomor S.685/IV-KK/2005 tanggal 11 November 2005.

Jalan Desa Masgo – Dusun Tuo, trace jalan tidak melalui jurang seperti jalan Muara Emat yang ada saat ini melainkan akan melintasi anak sungai dan memperpendek jarak tempuh Kerinci – Jambi sepanjang 96 kilometer. “Namun usulan ini bertahun-tehun mendapat penolakan dari pihak Balai TNKS,” kata Adhi.

Adhi beralasan satu-satunya jalan dari Kerinci menuju Merangin adalah melewati Muara Emat. Kondisinya berkelok-kelok, banyak tikungan tajam, banyak jurang di sisi jalan. “Ini bukan jalan. Lebih tepat disebut jalan ‘perang’. Butuh perjuangan keras untuk menempuh jalur ini,” katanya.

Sementara jalan evakuasi merupakan jawaban karena jalan evakuasi ini merupakan jalan pintas, selain dapat mengurangi tanjakan serta tikungan tajam. Itu hasil analisis pakar jalan, Ir. Akmal Thaib – pensiunan pegawai Dinas PU Provinsi Jambi. “Apapun alasannya, dengan dasar kemanusiaan kita berharap semua pihak mendukung proses pembangunan jalan evakuasi ini. Sama sekali tak ada unsur politis,” ujar Adhi.

Ketika ditanya soal nilai proyek pembangunan dua jalan evakuasi itu, Adhi mengatakan pada tahun 2011 besaran anggaran sudah pernah dibicarakan. Nilainya sekitar Rp 140 miliar. “Kalau sekarang bisa jadi lebih dari angka tersebut. Dananya sudah ada di BNPB, tak perlu diusulkan lagi,” ujar Adhi.

Peta KRB Kerinci. Sumber Olahan Solidaritas Kerinci Seblat
Peta KRB Kerinci. Sumber Olahan Solidaritas Kerinci Seblat

Tidak Rasional

Sebaliknya ide tersebut dinilai Solidaritas Kerinci Seblat (SKS) tidak rasional. Koordinator Akar Network, Supintri mengatakan bahwa kawasan TNKS memiliki banyak fungsi sekaligus benteng terakhir terhadap bencana banjir, longsor. Pembangunan jalan evakuasi semestinya mempertimbangkan fungsi TNKS sebagai kawasan hutan lindung dan konservasi. “Kita lihat usulan pembangunan dua jalan evakuasi tersebut tidak relevan,” katanya kepada Mongabay Indonesia pada 6 Maret lalu.

Menurut Supintri, untuk di Kerinci, yang berkemungkinan bencana adalah letusan Gunung Kerinci dan Gunung Kunyit. Yang berdampak langsung sebenarnya adalah Solok Selatan, Sumatra Barat dan Sungai Penuh, Kerinci serta Kayu Aro dan sekitarnya. “Jalan-jalan yang sudah ada dimaksimalkan, baik kualitas jalannya maupun lebarnya. Ini jauh lebih ekonomis dan rasional. Toh tak ada jaminan bahwa pembangunan jalan baru jauh lebih baik,” ujarnya.

Rekomendasi mereka, semestinya ada dua jalur evakuasi untuk Gunung Kerinci dan Gunung Kunyit. Jalan evakuasi Gunung Kerinci dengan memperbaiki jalan-jalan yang sudah ada. Kemudian melebarkan badan jalan hingga 8 meter.

Seperti Kayu Aro – Sei Penuh berjarak 47 kilometer. Kemudian Kayu Aro – Padang Aro sepanjang 35 kilometer serta Padang Aro – Abai sepanjang 28 kilometer. Kedua jalan dinilai lebih baik dimaksimalkan kualitasnya oleh pemerintah. Begitu pula dengan jalur evakuasi Gunung Kunyit, cukup dengan memaksimalkan jalan Lempur – Pulau Sangkar sepanjang 30,9 kilometer serta Pulau Sangkar – Merangin sepanjang 63,5 kilometer.

Sementara kondisi jalan yang rusak dari Kerinci menuju Merangin hanya tinggal dua titik: Birun – Muara Emat serta Lubuk Paku – Pulau Sangkar. Begitu pula dengan Sei Tapan – Sungai Penuh yang berjarak 64 kilometer kini ditempuh dengan 3 jam hanya tersisa dua titik yang rawan longsor. “Jika ini diperbaiki, mungkin bisa ditempuh hanya 1 jam,” katanya.

Salah satu Anggota Dewan Daerah Walhi Jambi, Ibnu Andrian berpendapat jalan evakuasi yang diusulkan pemerintah daerah dan ARKEB yaitu Desa Masgo – Dusun Tuo misalnya, justru melewati gunung berapi yang masih aktif yaitu Gunung Kunyit. Padahal semestinya perlu diperhatikan pemerintah adalah pembangunan beberapa titik shelter ketika gunung berapi meletus.

Selain itu jika jalan yang ada dimaksimalkan, kata Ibnu, perekonomian masyarakat bisa terdongkrak. Jika Merangin – Kerinci sepanjang 120 kilometer yang biasanya ditempuh selama 5 jam barangkali bisa menghemat waktu hingga 2-3 jam. “Bila dibandingkan dengan Sungai Penuh lewat Renah Pemetik menuju Bungo sekitar 93 kilometer, hanya berselisih beberapa kilometer. Artinya tidak signifikan keberadaan jalan evakuasi tersebut. Sekali lagi saya nilai usulan itu tidak rasional,” katanya.

Ibnu menduga ada kepentingan lain dengan ngototnya sikap pemerintah daerah mengubah kawasan hutan tersebut. “Bisa saja ada perusahaan yang hendak mengajukan izin baru. Dugaan ini sangat besar potensinya,” ujar Ibnu. Dia juga mengatakan berdasarkan informasi dari Lembaga Geologi di Amerika, USJS, Gunung Huta Panjang dan Gunung Sumbing masih berstatus gunung berapi aktif.

Pada Januari lalu, Yoan Dinata dari Flora dan Fauna International (FFI) sempat bertemu dengan konsultan dari Bogor. Konsultan itu mengaku sudah berkoordinasi dengan pihak Balai TNKS. Mereka hendak mensurvei potensi geothermal selama dua bulan di sekitar wilayah Gunung Sumbing. “Kita menduga ada potensi geothermal yang cukup besar di kawasan tersebut,” kata Yoan kepada Mongabay Indonesia pada 6 Maret lalu.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,