Penelitian: Kabut Asap Berdampak Serius Bagi Ekosistem Laut

Kabut asap akibat pembakaran hutan dan lahan yang menghanguskan hutan gambut Sumatera setiap tahun dan menghanguskan habitat berbagai satwa liar dilindungi, tak hanya berdampak bagi kesehatan manusia yang ada di daratan, mengganggu aktivitas ekonomi dan menghilangkan keragaman hayati. Kabut asap akibat pembukaan lahan baru untuk perkebunan kelapa sawit, pulp and paper dan pertanian ini, ternyata juga berdampak lebih luas kepada kehidupan di perairan sekitar.

“Pembakaran biomassa di Indonesia semakin intensif baik frekuensi maupun tinggkat kerusakannya sejak era 1970-an. Di bulan Juni 2013, polusi udara regional di Semenanjung Malaya mencapai rekor tertinggi, dimana kabut menyebar di tiga negara: Indonesia, Malaysia dan Singapura dan menyebabkan negara-negara tersebut berada dalam kondisi siaga,” ungkap penelitian yang dilakukan oleh Zeehan Jaafar dari University of Singapore dan Tse-Lynn Loh dari John G. Shedd Aquarium yang dimuat dalam jurnal ilmiah Global Change Biology.

Kendati terus menimbulkan krisis, namun masalah pembakaran lahan dan kabut asap ini masih terus terjadi sampai saat ini. Bulan lalu NASA masih merekam ratusan titik api di Sumatera. Sejumlah dampak terhadap kesehatan, keragaman hayati dan perekonomian ramai diberitakan oleh media massa, namun tak satupun yang membahas dampak kabut asap dan kebakaran hutan ini terhadap ekosistem laut.

Sumber WRI
Kabut asap yang terjadi Juli 2013 tahun lalu, merupakan rekor tertinggi dampak kebakaran hutan dan lahan di Sumatera. Sumber WRI

“Kami melihat bahwa dampak kebakaran hutan dan lahan terhadap ekosistem laut ternyata lebih parah dari yang kita duga. Kita perlu mengatasi keterbatasan informasi ini secepatnya,” ungkap Jaafar dan Loh dalam penelitian mereka.

Kawasan Asia Tenggara adalah salah satu pusat dari keragaman hayati dunia, dimana terbentang Segitiga Terumbu Karang yang meliputi enam negara di kawasan ini. Segitiga Terumbu Karang juga dinilai sebagai kawasan perairan dengan keragaman hayati tertinggi di dunia. Menurut penelitian WWF, kawasan Segitiga Terumbu Karang ini merupakan rumah bagi 600 spesies karang dan 2.000 spesies ikan karang.

Namun, para peneliti mengingatkan bahwa kabut asap yang terjadi di daratan setiap tahun ini bisa mengurangi masuknya cahaya matahari yang memberi kehidupan bagi berbagai spesies ini, salah satunya adalah menekan aktivitas fotosintesis di terumbu karang, dan juga mangrove serta padang lamun.

Sementara itu, limpasan dan pengikisan tanah bagian atas akibat kebakaran dapat menyebabkan eutrofikasi di lingkungan laut. Eutrofikasi disebabkan ketika nutrisi yang masuk, seperti nitrogen, mengakibatkan ledakan tiba-tiba dari fitoplankton, yang akhirnya mati dan menyedot semua oksigen keluar dari air. Eutrofikasi ini, atau zona mati, menyebabkan kerugian besar dalam kelimpahan dan keragaman spesies. Selain itu, limpasan tanah juga bisa menyebabkan sedimen pemuatan dalam ekosistem laut, yang dapat menyebabkan pemutihan karang.

Asap terlihat menutupi pandangan pengguna di daerah ujung tanjung, Rokan Hilir (25 Feb 2014). Foto Made Ali
Asap terlihat menutupi pandangan pengguna di daerah ujung tanjung, Rokan Hilir (25 Feb 2014). Foto Made Ali

“Daratan, udara dan lautan sangat terkoneksi. Sadar terhadap dampak langsung maupun tidak langsung bagi habitat perairan akan membantu kita untuk menjaga sumber daya alam ini,” tambah Loh dalam rilis medianya. Sayangnya, banyak ekosistem di Asia Tenggara kini sudah rusak akibat tekanan manusia.

“Lebih dari 85% terumbu karang di Singapura, Indonesia dan Malaysia terancam. Hal serupa juga terjadi dengan hutan mangrove di Asia tenggara, dimana 80% sudah hilang dalam 60 tahun terakhir akibat penggerusan daratan, polusi, penggunaan pukat harimau menjadi ancaman bagi ekosistem perairan.”

Lebih jauh, para pakar juga menyarankan adanya penelitian baru terhadap dampak kabut asap ini terhadap ekosistem laut, terutama yang menyangkut arus partikulat di perairan.

Para ahli juga mengatakan negara harus siap untuk merespon dengan mengambil tindakan lain selama krisis kabut asap ini, seperti menutup sementara perikanan, menutup aktivitas taman laut, dan melakukan program untuk meningkatkan keanekaragaman hayati dan pemulihan ekologi.

“Ini adalah waktu yang tepat untuk menyatakan bahwa pembakaran biomassa di daratan dan kabut asap sebagai salah satu penyebab utama kerusakan ekosistem laut selain penangkapan ikan yang berlebihan, pembangunan pesisir, perubahan iklim, dan meningkatnya keasaman air laut,” Jaafar dan Loh menyimpulkan.

CITATION: Zeehan Jaafar, Tse-Lynn Loh. Linking land, air and sea: potential impacts of biomass burning and the resultant haze on marine ecosystems of Southeast Asia. Global Change Biology, 2014; DOI: 10.1111/gcb.12539

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,