Masyarakat Adat Internasional Rumuskan Strategi Atasi Deforestasi

Sejumlah perwakilan masyarakat adat dan LSM lingkungan dari 8 negara, mengikuti lokakarya internasional atau Workshop on Deforestation and the Rights of Forest Peoples, di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, 9-14 Maret 2014.

Workshop ini ingin membagi cerita serta mencari solusi mengenai berbagai persoalan terkait deforestasi, serta permasalahan perubahan fungsi hutan adat di berbagai negara termasuk Indonesia.

“Pertemuan ini membahas mengenai hak masyarakat adat dan komunitas lokal di dalam dan sekitar hutan. Berbagai perwakilan negara di Asia Tenggara, Eropa, Afrika, Amerika Latin dan Amerika Utara, mendiskusikan mengenai persoalan yang sedang berkembang sekarang ini,” kata Joji Carino, perwakilan Forest Peoples Programme (FPP).

Fransesco Martone yang juga mewakili Forest Peoples Programme (FPP) mengatakan, dari dialog yang berlangsung dapat diketahui 3 hal penting mengenai hutan, yakni adanya tekanan dan intimidasi yang sangat kuat terhadap masayarakat adat, terkait hutan yang menjadi sumber kehidupan masyarakat.

“Selain tekanan, masyarakat adat juga tidak diakui dan dilindungi tanah atau hutan yang menjadi hak adat masayarakat,” ujar Fransesco Martone.

Upaya melindungi hutan dan hak masyarakat adat bukan tidak dilakukan, namun selama 1 dekade atau sepuluh tahun terkahir upaya itu belum membuahkan hasil, selain tetap adanya ancaman dan tekanan terhadap masyarakat hutan adat. Seharusnya tanah atau hutan adat masyarakat merupakan sumber kehidupan, mata pencaharian dan identitas masyarakat adat itu sendiri.

Perwakilan delegasi memberikan keterangan pers pasca dialog hari ketiga Workshop on Deforestation and the Rights of Forest People
Perwakilan delegasi memberikan keterangan pers pasca dialog hari ketiga Workshop on Deforestation and the Rights of Forest People. Foto: Petrus Riski

“Sebenarnya kearifan lokal masyarakat, melalui cara mengelola tanah dan hutan adalah solusi atas deforestasi itu sendiri. Jadi ada hubungan yang sangat dekat antara masyarakat adat dengan hutan, karena kalau hak masyarakat atas tanah dan sumber daya alam diakui, maka akan ditemukan solusi atas perubahan iklim dan kerusakan hutan,” terang Fransesco Martone seraya menambahkan bahwa hutan masyarakat adat merupakan hutan yang masih belum rusak dari keseluruhan hutan yang ada saat ini.

Franky Samperante dari Pusat Studi dan Pendokumentasian Hak Masyarakat (Pusaka) mengatakan, konferensi ini merupakan sarana untuk mendiskusikan berbagai strategi baru yang dapat dilakukan masyarakat dalam menghadapi perusahaan maupun kebijakan pemerintah yang berpotensi mengancam kawasan hutan dan tanah yang dimiliki masyarakat adat lokal.

Franky mencontohkan adanya Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 35 dan 45 mengakui bahwa hutan adat bukan lagi merupakan hutan negara, serta peraturan lain dibawahnya baik di tingkat nasional maupun daerah sudah banyak yang mengatur mengenai pengelolaan hutan. Namun sayangnya, penerapan peraturan itu tidak berjalan baik.

“Tanah-tanah dan kawasan hutan ditentukan oleh pemerintah, baik peruntukan, pemanfaatan maupun pengelolaannya. Di Indonesia sejauh ini hutan-hutan yang dikuasai masyarakat adat dalam skema hutan desa atau hutan adat, jika dibandingkan dengan penguasaan maupuan kepemilikan hutan untuk investasi sangat jauh jaraknya,” jabar Franky Samperante yang akan memperjuangkan bersama kelompok masyarakat lainnya.

Dipilihnya Palangkaraya sebagai tuan rumah penyelenggaraan lokakarya menurut Franky, didasari tingkat deforestasi yang paling tinggi diantara daerah-daerah lain di Indonesia. Selain itu, Kalimantan tengan merupakan provinsi pertama yang dijadikan uji coba penyelamatan hutan.

“Ingin perlihatkan kondisi deforestasi di sini sejak adanya proyek pengadaan lahan gambut (PLG) sejuta hektar. Ada juga hutan desa yang diinisiatif masyarakat dan mendapat pengakuan Kementerian Kehutanan, juga ada proyek sawit disini,” tutur Franky.

Sementara itu Oeban Hadjo dari Kelompok Kerja Sistem Hutan Kerakyatan (Pojjer) mengungkapkan, proses deforestasi hutan di Kaliman Tengah yang tinggi merupakan dampak dari perebutan wilayah kelola masyarakat, antara investor dengan masyarakat lokal. Selain itu juga terjadi perebutan wilayah hutan lindung yang dikelola pemerintah maupun proyek swasta, dengan masyarakat adat lokal.

“Pada intinya bagaimana sebenarnya masyarakat adat dan lokal yang ada punya hak atas tanah, hak atas hutan, dan akses terhadap hutan yang dikelola dari dulu. Prinsipnya bagaimana masyarakat bisa mengidentifikasi wilayah kelola mereka, serta mengoptimalisasi wilayah yang tersisa saat ini,” kata Oeban Hadjo.

Oeban menegaskan perlunya kebijakan moratorium atau penghentian semua kebijakan-kebijakan yang ada, serta menghentikan semua invenstasi-investasi yang berada di dalam hutan produksi, hutan produksi yang bisa dikonsumsi, dan di area penggunaan lainnya.

“Kami melihat trend saat ini bahwa wilayah-wilayah produksi maysarakat, dari hasil identifikasi yang kami lakukan, sudah terjadi pengurangan-pengurangan wilayah pangan masyarakat. Untuk di perkebunan kelapa sawit mestinya dihentikan dulu, dioptimalisasikan yang ada dan tidak ada ijin baru saat ini untuk penyelamatan wilayah pangan produksi masyarakat,” ujar Oeban Hadjo.

Frangky menambahkan, hasil pertemuan ini diharapkan dapat memberikan rekomendasi yang mampu menekan pemerintah, dalam hal kebijakan yang bersifat merusak hutan, seperti pertambangan dan perkebunan sawit.

“Kalau melihat peraturan pemerintah pusat tidak akan diberikan ijin, atau penundaan ijin baru di daerah moratorium yang dikeluarkan presiden. Tapi kalau melihat kebijakan daerah, faktanya masih dikeluarkan ijin-ijin baru yang itu berpegang pada undang-undang otonomi daerah,” tandasnya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, ,