Tangkap Pembalak Liar, 12 Polisi Disandera

Kepala Seksi Pengelolaan TN Kerinci Seblat Wilayah II, Dian Risdianto mengaku tak kapok-kapok untuk berpatroli mengamankan kawasan taman nasional itu. Meskipun sudah dua kali dia bersama rekan-rekannya nyaris berbenturan dengan masyarakat. “Bagaimanapun ini sudah menjadi tugas kami,” katanya kepada Mongabay-Indonesia pada 26 Maret lalu lewat telepon seluler.

Kisah yang cukup dramatis terjadi pada 22 Maret lalu. Ratusan masyarakat dari Desa Sungai Tebal, Kecamatan Lembah Masurai, Kabupaten Merangin menyandera 12 polisi – tiga polisi dari Polres Merangin dan 9 orang Polisi Kehutanan – selama 12 jam di rumah salah seorang warga. Terhitung sejak jam 12 siang sampai lewat jam 12 malam, keesokan harinya.

Para polisi itu dilepaskan setelah permintaan warga agar polisi membebaskan dua tersangka pembalakan liar yakni Mariadi, 35 tahun dan Nurhidayat, 25 tahun – keduanya kakak beradik kandung – dipenuhi. “Kedua tersangka akhirnya ditangguhkan penahanannya,” kata Dian. Penangkapan kedua kakak beradik itu, kata Dian, berawal dari laporan Kepala Desa Rantau Kermas, Kecamatan Jangkat, Kabupaten Merangin pada pekan lalu lewat telepon. Informasi dari Kepala Desa, telah terjadi dugaan pembalakan liar di sekitar desanya menggunakan enam unit mesin chainsaw.

Berdasarkan informasi itu, pada 20 Maret lalu, 18 orang Polisi Kehutanan, termasuk Dian, berpatroli menyisir kawasan TN Kerinci Seblat untuk membuktikan apakah benar telah terjadi kegiatan pembalakan liar. Tim bergerak dari Bangko – ibukota Kabupaten Merangin – sejak jam 6 pagi. Perjalanan itu memakan waktu selama 3,5 jam. Tim menemukan jejak-jejak bekas tebangan dan kayu-kayu yang sudah diolah menjadi papan.

Sekitar jam 10.30 samar-samar, tim mendengar suara mesin chainsaw. Sejam kemudian, barulah mereka menangkap basah dua orang yang sedang membalak kayu liar menggunakan satu unit chainsaw, satu buah bar chainsaw, dua rantai chainsaw, serta dua parang. Temuan lain adalah dua batang kayu jenis medang kunyit serta satu kubik kayu olahan. Setidaknya sudah sekitar lima hektare lahan yang dibuka.

“Jarak lokasi temuan ini dengan perhentian mobil kami cukup jauh, hampir satu kilometer. Lagipula kami tidak membawa mobil untuk mengangkut barang-barang bukti tersebut. Medannya sulit. Kami memutuskan untuk sementara hanya membawa sampel satu batang kayu sepanjang 6 meter dan dua pelaku untuk diamankan,” katanya.

Malam harinya kedua pelaku diserahkan ke Markas Polres Merangin untuk ditahan dengan tuduhan pembalakan liar. Keesokan harinya, kakak kandung kedua pelaku yakni Husri datang untuk melepaskan kedua pelaku. Namun permintaan Husri ditolak.

Keesokan harinya, 22 Maret 2014, jumlah petugas yang diturunkan berjumlah 12 orang mendatangi kembali lokasi hendak membawa seluruh barang bukti. Tim tiba di lokasi sekira pukul 11.00. Ketika sedang mengangkut barang-barang bukti, sejam kemudian, mereka sudah ratusan masyarakat mengadang. Sejak itulah drama penyanderaan mulai berlangsung. “Demi keselamatan para petugas, akhirnya kedua tersangka dibebaskan,” ujar Dian.

Husri mengakui bahwa kedua tersangka adalah adik kandungnya. Husri berdalih tindakan kedua adiknya itu membalak kayu hanya untuk kepentingan membangun rumah mereka sendiri. Bukan untuk diperjualbelikan.

Husri adalah mantan Kepala Desa Sei Lalang, Kecamatan Lembah Masurai, Kabupaten Merangin. Desa ini berdekatan dengan Desa Rantau Kermas. Husri tercatat maju menjadi salah seorang calon legislator untuk Kabupaten Merangin.

“Tim itu salah tangkap. Adik-adik saya mengambil kayu bukan di kawasan taman nasional melainkan di kawasan Areal Penggunaan Lain (APL). Laporan kepala desa juga bukan di lokasi tersebut tetapi di lokasi sebelahnya,” katanya mereka hanya untuk bahan-bahan membangun rumahnya sendiri di dusun,” katanya kepada Mongabay Indonesia pada 26 Maret lalu melalui telepon seluler.”

“Kami sudah cek koordinatnya. Seratus persen lokasi itu berada dalam zona rimba kawasan taman nasional. Tugas kami memang tidak mudah. Kami hanya punya personil lima orang polisi kehutanan yang mesti menjaga 148.000 hektare kawasan taman nasional. Kami mengimbau masyarakat agar benar-benar menjaga kelestarian hutan,” Dian menegaskan. Tak Ada Penyanderaan.

Kapolres Merangin AKBP Satria Yusada membantah jika telah terjadi penyanderaan terhadap 12 orang polisi tersebut. Menurut Satria, masyarakat hanya membuka lahan namun tidak tahu jika memang di sana masuk dalam kawasan TNKS. “Pihak Balai TNKS sebaiknya memang menyosialisasikan tata batas kawasan agar tidak lagi terjadi kesalahpahaman. Penyanderaan itu tidak ada sama sekali,” katanya kepada Mongabay Indonesia lewat telepon seluler pada 26 Maret lalu.

Satria juga membantah bahwa dua orang warga itu sudah dijadikan tersangka. “Mereka berdua masih berstatus titipan. Pihak Balai TNKS masih mencari tahu apakah benar koordinatnya di TNKS atau tidak. Sekali lagi saya tegaskan tak ada penyanderaan. Mereka diberi makan dan minum kopi. Masyarakat tak melakukan pengancaman apapun terhadap para petugas itu,” katanya.

Menurut Dian, peristiwa ini merupakan kedua kalinya. Pada November 2013 lalu, mereka juga terpaksa melepaskan delapan orang tersangka perambah hutan di Desa Pulau Tengah, Kecamatan Jangkat, Kabupaten Merangin. Ketika itu, mereka yang turun ke lokasi berjumlah 60 personil gabungan dari polisi kehutanan, TNI dan Polres Merangin. Saat hendak membawa delapan tersangka tim gabungan diadang ratusan warga dari Sungai Tebal.

Masyarakat ngotot meminta para tersangka dibebaskan karena lahan yang mereka rambah dari hasil membeli dari masyarakat setempat. “Namun kuitansi jual beli yang mereka tunjukkan tak mau diserahkan kepada kami. Sehingga kami sulit memperkarakannya secara hukum karena tak mengantongi bukti-bukti,” ujarnya.

Hasil penelusuran tim gabungan, setidaknya sudah 100 hektare yang dirambah masyarakat pendatang di Desa Pulau Tengah. Yang paling banyak dirambah juga terdapat di Desa Sungai Tebal yang mencapai 3.000-an hektare. Dugaannya, pembalakan liar ini secara masif sudah terjadi sejak tahun 2012. “Setelah kayunya diambil, lahan biasanya dirambah dan ditanami dengan kopi. Modusnya kira-kira begitu,” katanya.

Salah satu sisi desa
Salah satu sisi desa di Pulau Tengah.

Mengambil Kayu Untuk Membangun Rumah

Ketua SPI Merangin, Ahmad Azhari membenarkan bahwa setiap hari kayu diperjualbelikan secara bebas di sana. Terkadang mereka mengambil kayu dengan sistem upahan. Hanya saja, itu sebatas untuk konsumsi lokal dan diambil dari pinggiran hutan atau berasal dari sela-sela kebun masyarakat. “Kalau diambil dari hutan itu rasanya mustahil karena sulit untuk menariknya keluar. Mau bawa pakai apa?” katanya kepada Mongabay Indonesia pada 26 Maret lalu melalui telepon selulernya.

Lagipula, kata Azhari, kayu-kayu yang diperjualbelikan sebatas jenis kayu ringan macam surian dan medang kunyit. Semata-mata untuk kebutuhan membangun rumah sendiri. Harga kayu berkisar Rp 1,2 juta per meter kubik. Untuk membangun satu unit rumah berukuran 4 x 6 meter membutuhkan kayu sekitar 2 meter kubik. “Di sini tanahnya gembur. Pilihannya memang harus membangun dari kayu. Kalau dari beton, rumah kita gampang retak. Lewat saja truk atau mobil bisa goyang rumah,” ujarnya.

Seperti diberitakan bahwa pada tahun 1990an, para pendatang dari Pagar Alam, Sumatra Selatan, Lampung dan Bengkulu mulai merambah Areal Pengunaan Lain (APL) di Desa Sungai Tebal dan Nilo Dingin, Kecamatan Lembah Masurai dengan menanami kopi. Pada tahun 1996 hingga 2002, perambahan meluas hingga ke kawasan hutan produksi di Batang Nilo – Nilo Dingin yang membentang dari Desa Sungai Talang sampai ke Desa Sungai Lalang.

Pada tahun 2002, setelah HPH Serestra II dan HPH PT Injapsin pergi, perambahan semakin meluas. Pada tahun 2008 perambahan semakin meningkat ke kawasan hutan konservasi (TNKS Sipurak Hook). Pada tahun 2008 hingga Agustus 2009, perambahan meluas hingga ke Hutan Produksi Terbatas (HPT) Gunung Sedingin di Kecamatan Jangkat dan Sungai Tenang.

Bupati Merangin, Al Haris mengaku cukup pusing mengatasi persoalan ini. Al Haris sudah melobi Menteri Kehutanan untuk melepaskan kawasan hutan produksi seluas 8.000 hektare untuk dibagikan kepada masyarakat pendatang. Dia berharap jangan menimbulkan kecemburuan sosial bagi masyarakat Serampas. “Kita sudah pusing menghadapi eksodus ini. Nanti kita verifikasi siapa saja yang berhak mendapat lahan. Saya yakin lahan seluas itu sudah cukup buat masyarakat pendatang untuk memimalisir konflik,” ujarnya. Berdasarkan laporan camat setempat, katanya, jumlah masyarakat pendatang tidak sampai 10.000 kepala keluarga.

Artikel yang diterbitkan oleh
, ,