, ,

Kala Bos Tambang “Panaskan” Pemilu di Pulau Bangka

Jatam melayangkan surat protes kepada pemerintah dan aparat  di Sulut agar mematuhi putusan Mahkamah Agung agar Bupati membatalkan izin PT MMP.   Warga Pulau Bangka sudah memenangkan gugatan penghentian tambang namun pemerintah dan pengusaha seakan mengabaikan putusan hukum ini.

Usai menggunakan hak pilih pada Rabu (8/4/14), warga Desa Kahuku, Pulau Bangka, Sulawesi Utara, istirahat makan siang. Mereka menanti proses perhitungan suara. Saat itu, Presiden Direktur PT. PT Mikrgo Metal Perdana (MMP), Yang Yongjian, dikenal dengan Mr. Yang, melintasi jalan desa. Sekitar enam personil polisi bersenjata api mengawal lelaki bertopi cowboy itu. Belasan pekerja juga mendampingi.

Suasana hening tiba-tiba menjadi gempar. Seorang warga langsung mengetuk tiang listrik dengan batu. “Tang..tang..tang.” Begitu nyaring. Biasa ini tanda bahaya. Puluhan warga desa dari dalam rumah langsung berjaga di pinggir jalan.

Beberapa warga keluar-masuk ke rumah Potros Liaha, seorang warga Kahuku,  untuk melaporkan kejadian. Potros menutup pintu rumah. “Biar dia tidak masuk rumah ini,”katanya.

Yang masuk ke rumah mantan Camat Likupang Timur. Kepada warga, dia mengatakan, hanya jalan-jalan. Dari jendela rumah Potros terlihat ibu-ibu dan pemuda desa bersitegang dengan pekerja MMP yang menunggu si bos. “Pulang kalian, kami tidak mau pindah dari tempat ini,” teriak beberapa warga.

Seorang personil hansip yang ikut mengawal rombongan MMP balik menuding Maria Taramen, Ketua Tunas Hijau, sebagai orang asing. Dia menuntut Maria segera pergi dari Desa Kahuku. Warga kepalang emosi langsung meneriaki hansip.  “Semua orang di sini adalah orang Indonesia.”

Potros melarang saya keluar ruangan. Dia takut,ada pihak yang sengaja memperkeruh suasana. “Warga desa, aktivis dan wartawan bisa ditangkap dengan alasan mengacau keamanan.”

Maria tampak sibuk menenangkan emosi warga. Beberapa pemuda mulai mendorong pekerja MMP dan berbicara dengan suara tinggi.

Konflik rawan terjadi. Beruntung, sekitar 30 menit Yang dan rombongan meninggalkan Desa Kahuku. Si bos tambang terlihat melempar senyum sambil mencoba bergurau dengan memegang kepala bocah-bocah desa.

Potros mengatakan, tak sepantasnya kedamaian warga Desa Kahuku dikacaukan, apalagi saat pesta demokrasi. Kedatangan Yang seakan tak menghormati hak-hak masyarakat yang menolak Pulau Bangka, sebagai areal pertambangan.

Selain itu, dia turut menyesalkan personil polisi yang mengawal kedatangan pengusaha tambang ke desa mereka. Kejadian ini membuktikan, polisi lebih berpihak pada MMP ketimbang kepentingan masyarakat. Padahal, Mahkamah Agung sudah memenangkan gugatan warga.

“Seharusnya polisi berpihak pada masyarakat dan melaksanakan putusan MA. Tuntutan warga dimenangkan, tapi polisi tidak berbuat apa-apa, malah mengawal mereka. Bagaimana jika perusahaan tambang yang menang?” kata Potros.

Beberapa saat setelah kejadian ini warga memutuskan kembali ke TPS. Di situ, proses penghitungan suara dimulai. Ratusan warga desa bersabar.

Di pagi hari, sebelum kejadian, di tempat pemungutan suara (TPS), antusiasme warga Desa Kahuku begitu terlihat. Pendukung dan penolak tambang berbaur menjadi satu. Namun, warga bersepakat menjaga pemilu dalam suasana damai dan tertib.

Proses pemilu di Pulau Bangka, yang mendadak 'panas' kala bos PT MMP, didampingi polisi dan karyawan jalan-jalan di Desa Kahuku. Foto: Themmy Doaly
Proses pemilu di Pulau Bangka, yang mendadak ‘panas’ kala bos PT MMP, didampingi polisi dan karyawan jalan-jalan di Desa Kahuku. Foto: Themmy Doaly

Masing-masing memiliki calon ideal membawa aspirasi mereka. Dari 331 warga memiliki hak pilih, sekitar 250 yang mencoblos. “Banyak warga desa di luar daerah dan berhalangan pulang,” kata Pinehas Lombonaung, sesepuh di Desa Kahuku.

Baginya, pemilihan umum kali ini kesempatan memilih wakil rakyat paling tepat. Sebab, memilih semberono berpotensi membawa kehidupan jadi lebih buruk.

Pinehas berharap, siapapun anggota dewan yang terpilih dapat menghentikan aktivitas MMP di Pulau Bangka. Putusan MA, diyakini menjadi bukti negara memperhatikan tuntutan masyarakat.

Surat Protes Jatam

Pada 4 April 2014, Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menyurati Gubernur Sulut, Sinyo Harry Sarundajang; Bupati Minahasa Utara, Sompie S. F. Singai; Kapolda Sulut, Brigjen Pol Jimmy P. Sinaga dan Kapolres Minahasa Utara, AKBP Joko Winartono.

Surat itu berisi protes pembiaran dan perlindungan aparat polri, Pemerintah Minahasa Utara dan Sulut atas proses pertambangan bijih besi ilegal MMP  di Pulau Bangka.

Padahal,  jelas, berdasarkan putusan kasasi MA pada 24 September 2013, nomor register 291 K/TUN/2013, berimplikasi izin MMP batal. Putusan itupun memvonis Bupati Minahasa Utara membatalkan semua izin kepada MMP.

“Segala upaya Bupati Minahasa Utara dan Gubernur Sulut menjamin legalitas MMP merupakan upaya tidak mengindahkan putusan MA. Ini tindakan melawan hukum,” kata Ki Bagus Hadi Kusuma, Manajer Kampanye Jatam.

Dalih yang digadang-gadang pemerintah demi memajukan daerah dengan investasi Rp17 triliun, tetapi merampas ruang hidup dan keselamatan warga di Pulau Bangka.

Perlindungan aparat kepada tambang inipun, katanya, sebagai wujud pelanggaran putusan kasasi MA yang berkekuatan hukum tetap.

“Ini menyalahi tugas pokok dan fungsi Polri sebagai penegak hukum, pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat. Apalagi, kehadiran Polri membuat warga terancam dan terintimidasi serta berpotensi menimbulkan konflik.”

Untuk itu, Jatam mendesak kepolisian menghentikan segala bentuk pengamanan dan perlindungan terhadap pertambangan ilegal MMP. “Juga menghentikan intimidasi dan provokasi kepada warga,” ucap Bagus.

Jatam mendesak Pemerintah Minahasa Utara dan Sulut menghormati dan menjalankan putusan kasasi MA dengan segera mencabut semua izin pertambangan MMP. “Pemerintah jangan lagi memberikan izin pertambangan di Pulau Bangka. Ini pulau kecil yang rawan jika ada industri ekstraktif.”

Artikel yang diterbitkan oleh
, ,