,

Bangun Kawasan Industri dan Wisma Negara, Nelayan Makassar Diusir, Kampung Dihancurkan

Rencana Pemerintah Sulawesi Selatan (Sulsel) membangun Center Point Indonesia (CPI) di kawasan Delta Tanjung Makassar, menyisakan sejumlah masalah. Salah satu, pengusiran nelayan secara paksa dari lokasi tanpa kompensasi pada 10 Maret 2014. Sejumlah aturan perundang-undangan pun dinilai dilanggar demi pemaksaan pembangunan kawasan industri termasuk wisma negara ini.

Tak pelak, sekitar 43 keluarga kehilangan tempat tinggal dan mata pencaharian. Kini, mereka diungsikan di pelataran Gedung Celebes Convention Center (CCC) Makassar.

Daeng Bollo, perempan 64 tahun warga yang terusir menceritakan,  pengusiran paksa pagi hari, ketika hampir seluruh warga berada di laut mencari kerang, ikan dan kepiting. Tak ada pemberitahuan mengenai penggusuran.

“Itu terjadi pagi-pagi sekali, sekitar pukul delapan pagi, saya hanya berempat dan perempuan semua karena semua warga laki-lakinya melaut. Tiba-tiba datang tentara dari Koramil, Polisi dan Satpol PP dan perusahaan PT Yasmin membongkar paksa pakai mobil eskavator,” kata Daeng Bollo.

Seluruh bangunan rumah di pemukiman nelayan itu  rata dengan tanah. Tak banyak bisa diselamatkan warga. Sejumlah peralatan rumah tangga, termasuk pakaian tak dapat diselamatkan karena langsung dibakar di lokasi.

Tempat tinggal darurat mereka terlihat berantakan, berada di sisi luar salah satu gedung CCC. “Kalau siang panas dan kalau hujan pasti semua basah.”

Pilihan mengungsi di gedung CCC, atas suruhan PT Yasmin. “Mereka bilang disini dulu tinggal, besok kita bertemu gubernur. Tapi sampai sekarang belum ada apa-apa,” katanya.

Dia bersama suami sudah menempati kawasan pesisir di Kelurahan Maccini Sombala, Kecamatan Tamalate, sejak 37 tahun lalu. Mereka menggantungan hidup dari mengumpulkan kerang, ikan dan kepiting.

Seluruh keluarga, termasuk enam orang anak menantu dan cucu yang berjumlah belasan orang tinggal di daerah itu sebagai nelayan.

Setelah pengusiran, mereka belum memiliki alternatif mata pencaharian. Sebagian besar barang yang sempat diselamatkan satu persatu dijual, termasuk perhiasan emas.

“Sampai sekarang saya sudah jual lemari. Emasku juga sudah 50 gram yang saya jual. Semua untuk biaya hidup karena tak ada lagi sumber mata pencaharian. Belum ada yang cari kerja karena masih bingung dan masih stres semua,” ucap Daeng Bollo.

Sejak 10 Maret 2014, warga tinggal di pengungsian, pelataran gedung CCC, Makassar. Kondisi pengungsian yang buruk menimbulkan masalah kesehatan. Tak ada kepastian sampai kapan mereka akan tinggal di tempat itu. Foto: Wahyu Chandra
Sejak 10 Maret 2014, warga tinggal di pengungsian, pelataran gedung CCC, Makassar. Kondisi pengungsian yang buruk menimbulkan masalah kesehatan. Tak ada kepastian sampai kapan mereka akan tinggal di tempat itu. Foto: Wahyu Chandra

David, juru bicara Solidaritas Masyarakat Pesisir Anti Penggusuran (Somasi), Rabu (16/4/14), mengatakan, pengusiran paksa ini mengabaikan asas-asas kemanusiaan dalam UUD 1945. Mereka menuntut pertanggungjawaban dari Pemprov Sulsel.

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar, turut mengecam tindakan pengusiran paksa ini. Haswansi Andy Mas, Kabid Internal LBH mengatakan, tindakan ini berdampak pada kehilangan mata pencaharian nelayan, dan tidak ada jaminan pendidikan dan kesehatan. Struktur sosial yang lama ada di kawasan itu juga hilang. “Mereka mengalami sejumlah kerugian materil akibat penggusuran paksa melalui aparat Brimob dan TNI.”

LBH Makassar menilai, keberadaan warga di kawasan itu sah. Selama 35 tahun secara fisik mereka dilengkapi surat hak garap dari pejabat setempat.

Reklamasi wilayah pesisir yang dilakukan PT. Yasmin Bumi Asri sangat bertentangan dengan asas kesejahteraan masyarakat.

“Harus tetap diingat, tujuan itu sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Jadi harus dijamin semua upaya pemerintah Sulsel tidak bersinggungan dengan kewajiban negara mensejahterakan rakyat dan tak menimbulkan pelanggaran HAM.”

CPI merupakan megaproyek Pemerintah Sulsel. Awalnya proyek ini akan dibiayai APBN dan APBD.  Dalam perkembangan, pemerintah pusat menolak membiayai proyek bernilai Rp200 miliar ini.

Tanpa dukungan pusat, Sulsel tetap membangun dengan pertimbangan kawasan itu potensial. Tahun 2014, misal, dianggarkan dalam APBD Rp39 miliar.

“Pengembangan kawasan CPI ini sangat potensial. Kalau pusat tidak mau, banyak investor yang berminat. Jadi buat apa kita bergantung pusat,” kata Syahrul Yasin Limpo, Gubernur Sulsel dikutip dari Harian Fajar, Jumat (4/4/14).

Pemerintah Sulsel menggandeng swasta dalam tahap awal reklamasi di lahan seluas 157 hektar, dari 1.500 hektar yang direncanakan. Dengan perjanjian, 157 hektar, 57 hektar diserahkan kepada provinsi menjadi area publik. Selebihnya, 100 hektar dikelola PT Yasmin Bumi Asri, sebagai kawasan industri.

Permasalahnnya, di lahan 157 hektar itu, terdapat pemukiman nelayan, diperkirakan seluas 17-20 hektar. Provinsi menuding mereka pemukim liar karena berlokasi di tanah timbul, sesuai PP No. 16 2004 tentang Penatagunaan Tanah disebut sebagai tanah negara.

Sebelum eksekusi, provinsi sudah tiga kali memberi peringatan agar warga meninggalkan lokasi.

Akhirnya pada pertemuan evaluasi antara sekretaris provinsi, Abdul Latief dengan kordinator pembangunan CPI, Soeprapto, pada 3 Maret 2014, disepakati penertiban paksa.

Eksekusi melibatkan aparat gabungan dari Satpol PP, Brimob Polda dan TNI, pada 10 Maret 2014, sekitar pukul 8.00 pagi, ketika sebagian besar warga berada di laut.

Tempat pengungsian para negara yang diusir dari kampungnya demi pembangunan kawasan oleh pemerintah Sulsel. Foto: Wahyu Chandra
Tempat pengungsian para negara yang diusir dari kampungnya demi pembangunan kawasan oleh pemerintah Sulsel. Foto: Wahyu Chandra
Lokasi pembangunan CPI,  termasuk Wisma Negara diperkirakan menggunakan lahan seluas 1.500 hektar. Untuk tahap awal  reklamasi seluas 157 hektar oleh investor. Dengan kompensasi mereka  mendapatkan hak kelola seluas 100 hektar untuk kawasan industri.  Foto: Wahyu Chandra
Lokasi pembangunan CPI, termasuk Wisma Negara diperkirakan menggunakan lahan seluas 1.500 hektar. Untuk tahap awal reklamasi seluas 157 hektar oleh investor. Dengan kompensasi mereka mendapatkan hak kelola seluas 100 hektar untuk kawasan industri. Foto: Wahyu Chandra
Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,