Isu Kesejahteraaan Ekonomi Masyarakat Jadi Sorotan dalam Hutan Bernilai Konservasi Tinggi di Riau

Isu kesejahteraan ekonomi masyarakat desa yang berada di dalam dan sekitar konsesi akasia milik enam perusahaan pemasok bahan baku kertas untuk Asia Pulp and Paper (APP) menjadi sorotan penting dalam konsultasi multipihak rencanan penilaian Nilai Konservasi Tinggi Hutan (High Conservation Value Forest-HCVF) yang digelar lembaga peneliti Ekologika di Pekanbaru, Selasa (15/4/2014).

Enam konsesi itu adalah PT Mitra Hutani Jaya, PT Rimba Mandau Lestari, PT Bukitbatu Hutani Jaya, PT Sekato Pratama Makmur, PT Bina Daya Bentala dan PT Perawang Sukses Perkasa Industri, yang semuanya berada di Provinsi Riau.

Dalam penilaian awal (pre-assessment) yang dilakukan Ekologika terhadap kemungkinan adanya potensi HCV di enam perusahaan itu menegaskan bahwa hampir di seluruh konsesi itu terdapat potensi HCV dari kategori satu hingga enam.

Dalam konsultasi publik ini sejumlah pihak banyak memberikan perhatian pada bagaimana menerjemahkan HCV lima dan enam pada saat full assesment atau penilaian lapangan yang akan dimulai pada minggu ketiga April hingga minggu pertama Juni 2014.

Seperti diketahui di sebuah bentang kawasan hutan bisa dipastikan akan terdapat sejumlah HCV yang harus dilindungi oleh pemilik konsesi tersebut, walaupun sifatnya voluntary.

Definisi HCV

Riswandi dari Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Kampar menyebutkan bahwa keberadaan perusahaan di wilayah desa tentu saja akan mempertahankan aset-aset mereka untuk memperoleh keuntungan bisnis. Namun di waktu bersamaan, masyarakat desa yang ada di dalam konsesi juga akan mempertahankan hutan dan lahan mereka untuk kesejahteraan masyarakat. Karena masyarakat sampai saat ini masih bergantung dan mengambil manfaat dari hasil hutan di desa mereka untuk kehidupan. Menurutnya hal ini perlu dicarikan jalan tengahnya.

“Jadi nanti ketika turun ke lapangan, saya ingin (kepentingan masyarakat) ini juga dicarikan solusi. Ini untuk konsesi PT PSPI karena berada di wilayah Kampar,” katanya.

Ketika menjelaskan tentang metode pengumpulan data, Ninil RM Jannah dari Ekologika mengatakan, pihaknya akan menggunakan responden dengan prinsip keterwakilan dari setiap unsur masyarakat seperti lelaki dan perempuan dewasa, remaja pria dan perempuan, para tetua desa atau dusun dan kepala desa atau dusun. Bahkan dari sisi mata pencaharian juga akan ada wakil responden yang diwawancarai termasuk sub kelompok lain.

Mengenai metodologinya, Ekologika menggunakan metode Rapid Rural Asessment dengan teknik Focused Group Discussion (FGD), pembuatan sketsa partisipatif, wawancara semi terstruktur tokoh kunci dan rumah tangga, observasi lapangan serta pengambilan titik koordinat di lapangan.

“Desa di dalam konsesi harus diambil survei. Kecuali desa-desa di sekitarnya diambil sampel.  Masyarakat yang hidup di bagan-bagan juga diperhitungkan dalam kriteria,” Ninil menjelaskan. Menurutnya pemilihan responden bukan saja mereka yang memiliki identitas formal seperti KTP tapi juga tidak membedakan mana yang pendatang dan mana yang asli.

Lalu apakah penilaian HCV ini menjustifikasi pembangunan HTI?

Menurut Imam Sulistyo, HCV assessment team leader Ekologika menyebutkan  “Dari hasil ini mungkin saja tidak tertutup kemungkinan untuk tata ruang HTI perusahaan bisa saja berubah,” kata Imam.

Seperti diketahui sejak 5 Februari 2013 lalu, APP yang dulunya terkenal sebagai perusahaan perusak hutan dan menjadi target kampanye sejumlah LSM nasional dan international telah membuat kebijakan perlindungan hutan. Dalam implementasi kebijakan tersebut sejumlah pihak dilibatkan untuk pengawasan. Ekologika sendiri adalah lembaga konsultan yang diminta APP untuk melakukan penilaian-penilaian HCV di konsesi mereka.  Peserta yang hadir dalam konsultasi multi pihak berasal dari berbagai kalangan baik akademisi dari perguruan tinggi, pemerintah, perusahaan itu sendiri dan LSM.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,