,

Sebagian Hutan Sibayak Gundul, Pemerintah Dinilai Tak Serius Jaga Hutan

Dalam gelaran Hari Bumi yang digagas Walhi Sumsel meminta pemerintah menghentikan kebijakan yang membunuh masa depan.

Hutan tampak hancur di sana-sini. Gundul. Sampah plastik pun berserakan di kawasan hutan lindung ini. Itulah kondisi Gunung Sibayak, Sumatera Utara (Sumut). Pemandangan ini ditemui kala 13 perempuan muda berkebaya yang tergabung dalam Mahasiswa Pecinta Alam Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (Mapala UMSU), mendaki gunung dengan ketinggian 2.094 meter dari permukaan laut ini pada 22 April 2014. Aksi mereka ini memperingati Hari Kartini sekaligus Hari Bumi.

Kerusakan terbesar akibat ulah manusia menebang hutan dan menjual kayu di kawasan hutan lindung yang masuk dalam Taman Hutan Raya ini.

Mereka sedih menyaksikan hutan gundul, dan penebangan liar terus berjalan. “Daun hijaupun sudah terus berkurang dan tergerus perambah hutan. Hutan gundul ditebangi, hutan Sibayak sudah jorok akibat pembuangan sampah sembarang oleh pendaki musiman. Ini harus segera disikapi serius, ” kata Sinta Ayu, yang biasa disapa Muacil kepada Mongabay.

Dia menyatakan, harus ada sikap serius pemerintah menjaga hutan, dalam hal ini Kementerian Kehutanan. “Pencuri sebatang kayu dihukum berat. Perambah dan perusak hutan diberi hukuman ringan. Ini tak adil, kami mengecam itu.”

Dia berharap, penegak hukum memberikan tindakan tegas. Bagi pelaku penebangan liar harus diberi hukuman maksimal. “Kita harus bersama-sama berteriak menolak perusakan hutan. Bukan sebaliknya, mendukung, naik gunung melihat hutan dibabat harus dilawan, bukan malah membuang sampah plastik sesuka hati.”

Zulbariah, Ketua Gema Mahasiswa Pecinta Alam, Institut Teknologi Medan (GMPA ITM), mengungkapkan hal sama.

Hingga akhir 2013, sudah ratusan hektar hutan di Sumut hancur. Sejak 1988, organisasinya bersama Mapala Se-Indonesia, mengumpulkan data, mencari fakta, menganalisa dan mengajukan ke nasional, dengan harapan menyelamatkan bumi Indonesia. “Pengajuan kami tidak digubris.”

Mereka survei dari Tapanuli Selatan sampai Sibolangit. Lengkap, data, dokumentasi, dirangkum ke dalam sebuah berita acara. “Kami sampaikan temuan itu pada para pemegang kebijakan. Hasilnya nihil. Pantas, bangsa ini makin lama makin kehilangan hutan. Ini hanya akibat cara tanggap tentang masalah. Ini perkara persepsi, perkara beda cinta, beda prioritas, ” katanya.

Mahasiswa ini memperingati Hari Kartini dan Hari Bumi di Puncak Sibayak. Foto: AYat S Karokaro
Mahasiswa ini memperingati Hari Kartini dan Hari Bumi di Puncak Sibayak. Foto: AYat S Karokaro

Senada disampaikan Fik Sagala, aktivis lingkungan dari Angkatan Komunikasi Olah Nalar Alam Kehidupan (Akonak) Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Pembangunan (STIKP) Medan.

Menurut Fik, dari pendataan, akibat eksplorasi hutan yang menggila, kerusakan begitu parah, satwa hilang dan penyelundupan kayu dari hutan lindung terus terjadi tanpa berhasil ditangkap atau memang sengaja dibiarkan.

“Bagaimana kita lihat masyarakat adat berjuang sendiri, mempertahankan tanah adat dan hutan adat agar tidak dirusak. Salah satu masyarakat Pandumaan-Sipituhutan di Humbang Hasundutan, di Simalungun, di Mandailing Natal, di Tapanuli Selatan. Ada yang sampai meninggal dunia, ditangkap dan di kriminalisasi.”

“Lantas, apakah legislatif bersikap? Tidak. Itu tidak mereka lakukan, bahkan diduga terlibat, termasuk pemerintah, salah satu contoh mantan Gubernur Riau Rusli Zainal.”

Di Palembang, anak muda dari sejumlah kampus dan organisasi penggiat lingkungan hidup memperingati Hari Bumi digelar Walhi Sumsel bertema “Hentikan Kebijakan Pembangunan yang Membunuh Masa Depan Bumi.” Ada teaterikal, pembacaan puisi dan orasi.

“Kita harus bersatu buat mengingatkan pemerintah dalam menjalankan pembangunan. Hampir semua kebijakan pembangunan mengancam lingkungan hidup, membunuh masa depan Bumi,” kata Nurul dari FKIP Universitas Sriwijaya.

Dede Chaniago, aktivis lingkungan, membacakan puisi “Truk-Truk Jatuh dari Langit.” Sebuah puisi mengenai eksplorasi batubara di Sumsel. Lalu Darto Marelo membacakan puisi spontan, mengungkapkan protes terhadap pemerintah yang tidak peduli persoalan lingkungan hidup.

Dalam pernyataan tertulis Walhi Sumsel mengatakan, akibat kebijakan pemerintah Sumsel yang tidak peduli lingkungan hidup, luas daerah ini 8,7 juta hektar lebih banyak diberikan kepada perusahaan dibandingkan rakyat. Sebagian besar perusahaan asing. Misal, HTI 1,3 juta hektar, pertambangan 2,7 juta hektar.

Rakyat Sumsel sekitar 7,6 juta hanya mendapatkan lahan 0,3 hektar dari 2,3 juta hektar yang belum berkepemilikan. Padahal standar rakyat sejahtera minimal mendapatkan 4 hektar.

Lalu, kebijakan itu menimbulkan pencemaran sungai dan ruang terbuka hijau (RTH) hilang, serta bencana longsor, banjir, kekeringan, kebakaran hutan dan gambut, serta kesehatan masyarakat.

Hari Bumi di Palembang, yang meminta pemerintah tak membuat kebijakan yang membunuh masa depan. Foto: Taufik Wijaya
Hari Bumi di Palembang, yang meminta pemerintah tak membuat kebijakan yang membunuh masa depan. Foto: Taufik Wijaya
Artikel yang diterbitkan oleh
, ,