, ,

Eceng Gondok Danau Tempe, dari Biogas hingga Kerajinan Tangan

Di setiap musim hujan keberadaan eceng gondok menjadi masalah tersendiri bagi warga di sekitar Danau Tempe, di Kelurahan Laelo, Kecamatan Tempe dan Desa Pajalele, Kecamatan Tanasitolo, Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan. Pemerintah pun terkendala anggaran dalam membersihkan keberadaan tanaman air ini.

Namun, itu dulu. Dengan keterampilan sederhana, tanaman ini ternyata bisa diolah menjadi produk bernilai ekonomis, yaitu sebagai bahan pembuatan biogas, pupuk organik dan berbagai produk kerajinan tangan. Keberadaan eceng gondok malah dianggap berkah bagi warga.

Alhamdulillah, sekarang sudah ada solusi penanganan eceng gondok ini. Selama ini menjadi masalah besar. Bingung mau diapakan,” kata Sudirman, warga Desa Pajalele, kepada Mongabay, Sabtu (19/4/14).

Inovasi pemanfaatan eceng gondok di sekitar Danau Tempe tak terlepas dari program diinisasi Institusi Penelitian dan Pengembangan Masyarakat  (IPPM) Sulsel, didukung Global Environment Facility – Small Grant Project (GEF SGP) Indonesia.

Sejak awal 2014, IPPM sudah melatih dan studi banding ke daerah yang memiliki industri kreatif dari eceng gondok.

Syamsuddin Kasau, fasilitator program ini menjelaskan, ide pemanfaatan eceng gondok ini dari keprihatinan makin meluas sebaran eceng gondok di danau itu. Hingga menyebabkan produksi tangkapan nelayan berkurang.

“Dampak nyata pada tingkat kesejahteraan warga menurun akibat tangkapan ikan sedikit. Ini persoalan klasik dan menjadi keresahan warga,” kata Syamsuddin.

Hidayat Palaloi, penanggungjawab program ini mengatakan, melalui program ini diharapkan menjadi solusi inovatif dan kreatif menangani eceng gondok sekaligus pengentasan kemiskinan di daerah itu.

Meski demikian, keberadaan program ini dinilai Hidayat tidak serta merta menuntaskan persoalan. Harapannya, bisa menjadi salah satu solusi bernilai ekologi ekonomi, apalagi ketika bisa dikelola meluas dan menjadi industri tersendiri bagi daerah itu.

“Tak kalah penting mengubah pola pikir masyarakat terhadap tumbuhan eceng gondok ini.”

Pelatihan pengelolaan eceng gondok untuk bahan pembuatan pupuk dan biogas  awal 2014. Sumber foto: Syafruddin
Pelatihan pengelolaan eceng gondok untuk bahan pembuatan pupuk dan biogas awal 2014. Sumber foto: Syafruddin

Danau Tempe, salah satu danau terbesar di Sulawesi terbentuk dari proses geologis seumur daratan Sulsel. Ia berlokasi terintegrasi dalam tiga danau yakni Danau Sidenreng, Danau Taparang Lapompaka, dan Danau Labulang.

Danau seluas 13.000 hektar saat kondisi normal ini berada di tiga kabupaten di Sulsel, yaitu Wajo, Soppeng dan Sidenreng Rappang (Sidrap). Bagian danau terluas terletak di Kabupaten Wajo (70 persen), mencakup empat kecamatan masing-masing Tempe, Sabbangparu, Tanasitolo dan Belawa.

Di Kabupaten Soppeng mencakup Kecamatan Marioriawa dan Donri Donri, sedangkan di Sidrap di Kecamatan Pancalautan.

Danau Tempe memiliki kekhasan tersendiri dengan spesies ikan air tawar jarang ditemui di tempat lain, disebabkan posisi terletak di atas lempengan benua Australia dan Asia. Di danau ini pula setiap tahun menjadi rute migrasi burung-burung dari Australia. Danau ini juga dikenal sebagai salah satu danau tektonik di Indonesia.

Meski mencakup tiga kabupaten, namun daerah paling merasakan dampak eceng gondok hanyalah di Kecamatan Tempe Tanasitolo, Wajo.

Menurut Syamsuddin, setiap musim hujan atau saat air danau pasang, gundukan tanaman air yang bernama latin Eichhornia crassipes ini kerap hanyut menerjang pemukiman masyarakat. Bahkan beberapa kali masyarakat harus menyaksikan rumah mereka rusak dan roboh terhantam gundukan tanaman ini.

“Kondisi yang telah menjadi ritual tahunan ini akan terus terjadi bila tak ada upaya antisipasi, mengingat tumbuhan eceng gondok saat ini sudah menutupi hampir seluruh permukaan air danau tempe.”

Banyak masalah mendera Danau Tempe, dari eceng gondong, pendangkalan sampai pencemaran. Sumber foto: Syafruddin
Banyak masalah mendera Danau Tempe, dari eceng gondong, pendangkalan sampai pencemaran. Sumber foto: Syafruddin

Bakhtiar, Lurah Laelo, mengakui, warga sangat antusias dengan program ini. Selama ini, eceng gondok menjadi momok bagi mereka. “Ini berkah bagi kami. Semoga betul-betul bisa mengangkat kesejahteraan warga.”

Mengenai pemasaran produk, kata Hidayat, sudah menjajaki pasar dan kerjasama dengan sejumlah pihak.“Kita upayakan kolaborasi dengan beberapa pihak, baik pemerintah maupun pelaku usaha, termasuk memfasilitasi akses pemasaran online melalui website maupun melalui media lain. Malah kita merencanakan menyelenggarakan pameran hasil produk.”

Khusus pupuk cair dan kompos, IPPM akan menfasilitasi mulai uji laboratorium tentang kualitas, perizinan, pengemasan sampai pembuatan label produk. Hingga produk yang dihasilkan dapat dipasarkan.

Mustam Arif, Direktur Jurnal Celebes mengatakan, pertumbuhan eceng gondok cukup besar memang menjadi masalah utama Danau Tempe saat ini, selain dua masalah lain seperti sedimentasi dan pencemaran. “Area tutupan eceng gondok mencapai 40 persen.”

Pada musim kering kondisi bisa lebih parah lagi dengan tutupan bisa 90 persen. “Tumbuhan air ini akar mencapai dasar danau dan menjadi perangkap sedimen kemudian mengendapkan di dasar danau.”

Kondisi  ini, dimanfaatkan para nelayan yang memasang sarana pemeliharaan ikan yang disebut bungka toddo dari eceng gondok dan kangkung. Ternyata, menyisakan masalah tersendiri, yaitu menyulitkan jalur perahu nelayan. “Ini kadang menjadi sumber konflik antar nelayan pemilik bungka toddo ini,”  kata Mustam.

Danau ini dulu dikenal sebagai mangkuk ikan di Indonesia. Hingga akhir 1960-an, danau ini masih dikenal sebagai sentra produksi perikanan air tawar di Indonesia dengan rata-rata 50 ribu ton per tahun.

“Awal 2000-an produksi merosot hingga 17 ribu ton dan terus menurun hingga kini.”

Masalah lain, mengancam danau ini adalah sedimentasi parah. Merujuk pada Data Bappeda Kabupaten Wajo, total sedimentasi Danau Tempe mencapai 1.069.099 juta meter kubik dan terus bertambah. Sedang yang dikeluarkan melalui Sungai Cenranae 550.490 juta meter kubik.

“Jika setiap tahun sedimen mengendap terjadi pendangkalan danau setinggi 0,37 cm.”

Mustam juga mengutip data penelitian Japan International Cooperation Agency (JICA) tahun 1993, yang memperkirakan pendangkalan danau ini bisa 15- 20 cm per tahun. “Dengan kondisi ini 100-200 tahun ke depan danau ini akan menjadi daratan.”

Luasan lahan tutupan air danau juga akan sangat tergantung pada musim. Jika pada kondisi biasa, dengan curah hujan normal luasan sekitar 13.000– 20.000 hektar. Musim hujan mencapai 48.000 hektar, membanjiri kawasan pemukiman, persawahan dan jalanan. Di musim kering luas menyusut hanya tersisa 1.000 hektar.

“Musim kering, warga bahkan bisa menjadikan sebagian area danau ini pertanian dan pemukiman. Ini menunjukkan makin parah sedimentasi danau ini,” kata Mustam.

Ancaman lain yang cukup besar adalah pencemaran dari aktivitas pertanian, berupa penggunaan pestisida dan pupuk kimia, industri kayu dan perabot, industri percetakan.

“Sumbernya dari bahan buangan dari industri berupa baik padat, organik, olahan makanan dan zat kimia.”

Penurunan kualitas lingkungan perairan danau ini akibat pencemaran dinilai mempengaruhi daya dukung organisme. Ini menimbulkan ancaman serius bagi keberadaan satwa dan biota air danau ini. Sejumlah satwa endemik di danau ini antara lain burung belibis (cawiwi). Ikan endemik,  bunga, beladak dan sidat.

Sebagian kawasan Danau Tempe dijadikan sebagai kawasan pemukiman dan pertanian. Sumber foto: Syafruddin
Sebagian kawasan Danau Tempe dijadikan sebagai kawasan pemukiman dan pertanian. Sumber foto: Syafruddin
Peta lahan kritis daerah tangkapan air Danau Tempe Sumber: BPDAS, 2010
Peta lahan kritis daerah tangkapan air Danau Tempe Sumber: BPDAS, 2010
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,