,

Gara-gara Tukar Lahan Perusahaan, Kehidupan 826 Keluarga di Ringinrejo Terancam

Selasa siang (22/4/14), wajah Talminto, tampak lesu sesaat setelah hakim PTUN Jakarta mengetuk palu sidang. Keputusan sidang membuat mereka bersedih. Hakim PTUN menyatakan, gugatan Talminto dan tujuh petani penggarap, di Desa Ringinrejo, Kecamatan Wates, Kabupaten Blitar itu, tak bisa diterima.

“Kami sudah semaksimal mungkin. Hasilnya seperti ini. Kami akan banding,” katanya.

Pada 9 Oktober 2013, delapan warga Ringinrejo resmi mengajukan gugatan terhadap Holcim dan Kementerian Kehutanan (Kemenhut). Gugatan warga  didasari SK Menhut  nomor 367 tahun 2013. Surat ini berisi tentang penunjukan kawasan hutan produksi dari lahan kompensasi seluas 724,23 hektar–untuk pinjam pakai kawasan hutan  milik anak perusahaan PT Holcim, yakni PT. Semen Dwima Agung (SDA).

Sudah 17 tahun, 826 keluaga menggarap lahan itu.  Warga berharap, Surat Menhut bisa dibatalkan. Sejak awal menggarap, tidak pernah ada teguran dari pihak manapun. Bahkan, aparat desa ikut menggarap di lahan itu hingga dianggap lahan terlantar.

“Awalnya, lahan itu bekas perkebunan Gondangtapen. Kami sangat tergantung dari hasil tani. Sampai muncul SK penunjukan kawasan hutan di tanah garapan kami. Setelah ada SK itu ada rencana pengukuran, meski belum ada penutupan.  Ini membuat kami takut kehilangan lahan garapan,” ujar Talminto.

Dalam putusan majelis hakim mengatakan, gugatan tak dapat diterima karena para penggugat tidak memiliki kepentingan langsung atas terbitnya SK Menhut itu. Majelis hakim menyatakan, para penggugat tak memiliki kedudukan hukum. Tak ada bukti alas hak penguasaan warga atas kawasan hutan itu.

Dua HGU SWA sudah berakhir 2001 dan 2009. Hingga otomatis  lahan kompensasi ini telah beralih kekuasaan kepada negara.

SWA menyerahkan lahan kepada Perhutani sebagai kompensasi izin pinjam pakai kawasan hutan yang dimiliki perusahaan itu di Tuban, pada 2013. Sedang warga Ringinrejo telah mengelola dan menggantungkan hidup dari hasil cocok tanam jagung, ketela dan semangka di lahan kompensasi anak perusahaan Holcim itu.

Warga Ringinrejo kini was-was lahan garaban selama 17 tahun ini tak bisa digunakan lagi dampak tukar lahan perusahaan. Foto: Indra Nugraha
Warga Ringinrejo kini was-was lahan garaban selama 17 tahun ini tak bisa digunakan lagi dampak tukar lahan perusahaan. Foto: Indra Nugraha

“Warga akan tetap menduduki lahan itu. Meskipun keputusan hari ini sangat mengecewakan. Kami tak ada pilihan. Satu-satunya penyambung hidup kami bertani dari tanah itu.”

Hari itu Talminto datang bersama sekitar 50 rekan sesama petani. Mereka langsung dari Blitar. Perjalanan menggunakan bus ditempuh sehari semalam. Perjuangan mereka datang ke Ibukota harus berakhir tangan kosong.

“Padahal kita yakin menang. Saya lihat dari fakta di lapangan, administrasi, keterangan saksi ahli, Cuma saya juga tidak tahu karena lawan punya punya jabatan dan modal besar. Kita khawatir,  Holcim itu bermain dengan hakim.”

“Kalau tidak menggarap lahan, warga tak bisa makan. Kami sangat tergantung tani. SK Menhut itu membuat kehidupan kami tidak tenang. Karena dibayang-bayangi ketakutan,” kata Katiman, warga Ringinrejo.

Selama persidangan, warga didampingi advokat yang tergabung dalam Public Interest Lawyer Network (Pil-Net).

Andi Muttaqien, salah seorang pengacara warga mengatakan, majelis hakim sama sekali tidak mempertimbangkan kondisi faktual keberadaan masyarakat yang mengelola selama 17 tahun di lahan bekas perkebunan Gondangtapen itu.

Pertimbangan hukum majelis sangat berbeda dengan perkara lain yang pernah ditangani PTUN Jakarta. Sebanyak 13 warga Tumbrep, Kabupaten Batang ditetapkan sebagai pihak tergugat II intervensi. Meski tak mempunyai alas hak sah atas tanah seluas 89,9 hektar. Warga memenangkan gugatan itu. Kasus serupa.

“Keputusan ini kejam sekali. Ini belum masuk pokok perkara, gugatan tidak bisa diterima. Beda dengan ditolak. Kalau ditolak sudah masuk ke pokok perkara. Hal-hal formal dianggap cacat hukum. Majelis hakim tidak mempertimbangkan keadaan di lapangan sama sekali.”

Andi mengatakan, putusan ini bukti kegagalan pengadilan membaca konstruksi relasi antara petani penggarap lahan yang seharusnya  mendapat perlindungan hukum (rechtsbescherming) dari Kemenhut, selaku penguasa. Termasuk hak untuk men-challenge jika ada tindakan penguasa yang dinilai merugikan rakyat.

“Kalau gugatan ini tidak bisa diterima, warga yang selama ini menggarap lahan bisa dipidana dengan UU P3H.  Karena mereka menggarap di lahan hutan. Meskipun status masih penunjukan. Dalam UU P3H tidak diperbolehkan, meskipun status penunjukan.  Berbeda definisi hutan sesuai putusan MK 45.” “PIL-Net sebagai kuasa hukum warga Ringinrejo akan banding.”

Afrodian, biro hukum Kemenhut mempersilakan warga banding atas keberatan ini.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,