FOKUS LIPUTAN: Satwa Indonesia Dalam Ancaman Kepunahan (Bagian I dari 3)

Perlindungan bagi satwa liar dan dilindungi di Indonesia, dijamin secara hukum lewat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Namun, payung hukum ini nampaknya menemui sejumlah kendala pada prakteknya di lapangan dalam upaya penagakannya. Mulai dari faktor budaya, tekanan ekonomi yang menyebabkan peruruan di tingkat akar, hingga budaya mengoleksi satwa langka masih marak di tanah air.

Dalam laporan mendalam kali ini, tim liputan Mongabay-Indonesia mengangkat berbagai sisi ancaman terhadap kelestarian satwa liar di Indonesia. berbagai faktor pendorong, seperti budaya dan lemahnya penegakan hukum menjadi sorotan utama dalam serial tulisan ini.

Dalam tulisan pertama ini, tim penulis melihat lebih dalam faktor budaya kuliner lokal yang mempengaruhi kelestarian satwa lokal di Sulawesi Utara, meski sejumlah faktor lain juga menyokong hilangnya satwa. Dalam tulisan selanjutnya, tim penulis juga menyoroti beberapa wilayah di Indonesia, yang menjadi sumber penangkapan sejumlah satwa liar yang dilundungi untuk berbagai keperluan.

Tikus, di Pasar Langowan, Sulawesi Utara.
Tikus, di Pasar Langowan, Sulawesi Utara.

Perburuan Satwa Liar di Sulut

Sulawesi merupakan pulau terbesar di kawasan Wallacea. Ukuran diyakini menyebabkan evolusi dari banyak jenis satwa yang unik. Hal ini dibuktikan lewat 127 jenis mamalia Sulawesi, 79 (62%) di antaranya merupakan jenis endemik. Selain itu, Sulawesi merupakan salah satu dari Daerah Burung Endemik yang paling penting di Indonesia, dari 235 jenis burung darat, 84 jenis (36%) di antaranya adalah endemik, dan dari 104 jenis reptilia 29 (28%) di antaranya adalah endemik Sulawesi.

Namun, menurut Saroyo, pakar primatologi Universitas Sam Ratulangi (Unsrat), tingkat keterancaman keanekaragaman hayati di Sulawesi terbilang tinggi. Penyebabnya adalah perusakan habitat dan perburuan untuk konsumsi. Faktor terakhir, diyakini menjadi faktor yang paling bertanggung jawab terhadap merosotnya populasi satwa liar di Sulawesi Utara.

“Banyak jenis mamalia, burung, dan reptil liar telah menjadi menu umum maupun menu langka dalam berbagai pesta adat maupun makanan sehari-hari. Beberapa satwa masuk ke dalam jenis yang dilindungi, masuk dalam jenis terancam menurut IUCN, dan masuk dalam daftar appendix CITES sehingga pemanfaatannya harus memperhatikan berbagai peraturan sehingga kelangsungan hidup di alam akan tetap terjamin,” kata dia.

Konsekuensinya, satwa seperti Babi rusa dan Anoa begitu sulit ditemukan di Sulawesi Utara. Belum lagi, populasi Yaki (Macaca Nigra) yang merosot hingga 80 % dalam tiga puluh tahun terakhir. Tak berhenti sampai di situ, Sampiri (nuri talaud/ eos histirio) yang dulunya bisa ditemukan di kepulauan Sangihe, kini hanya bisa ditemukan di kepulauan Talauad.

Di Sulawesi Utara, perburuan satwa liar ditujukan umumnya untuk konsumsi, serta dijadikan binatang peliharaan. Namun, faktor konsumsi dinilai Saroyo memiliki banyak kedekatan dengan tradisi masyarakat minahasa.

“Menyediakan daging satwa liar dalam berbagai pesta adat oleh sebagian masyarakat Sulawesi Utara sudah menjadi budaya, bahkan beberapa komunitas mengharuskan tersedianya jenis satwa liar tertentu, misalnya daging penyu pada upacara pernikahan di sebagian masyarakat Pulau Lembeh,” kata dia seturut survei yang pernah dilakukannya pada kurun 2006 hingga 2010.

Biawak yang dijual di Pasar Langowan. Foto: Themmy Doaly
Biawak yang dijual di Pasar Langowan. Foto: Themmy Doaly

Sementara, Nono Sumampow, staff pengajar Antropologi Budaya Unsrat, membenarkan kedekatan antara tradisi dan aktivitas perburuan satwa liar. Menurutnya, secara historis, perburuan satwa liar merupakan hal wajar bagi masyarakat yang bermukim di daerah pedalaman.

Pada dasarnya, demikian dijelaskan Nono, semua kelompok masyarakat yang hidup pada masa-masa itu, sangat dekat dengan aktivitas berburu dan mengkonsumsi satwa liar untuk mendapatkan protein. Dalam perkembangannya, agama masuk membawa standart nilai, termasuk dalam hal makan-memakan.

Dengan kata lain, standar nilai masyarakat minahasa yang tidak mempermasalahkan konsumsi satwa menemukan persamaan dengan nilai-nilai yang dibawa misionaris Belanda ke tanah minahasa. Diyakini hal itu yang membedakan tanah minahasa dengan tempat lain di Indonesia.

Di lain pihak, banyak daerah di Indonesia yang masyarakat awalnya mengkonsumsi satwa liar, mesti memupuskan tradisi tersebut. Sebab, akibat masuknya agama tertentu, masyarakat mulai membawa nilai baru, termasuk tidak mengkonsumsi satwa liar tertentu. “Sedangkan, umumnya masyarakat minahasa, cukup dekat dengan paham calvinisme (aliran gereja) yang memberi kelonggaran pada konsumsi satwa liar.”

Nilai-nilai yang dibawa agama tertentu, lanjut Nono,  tidak menghilangkan tingkat perburuan satwa di daerah lain. Dicontohkannya, beberapa tempat di indonesia, masyarakatnya tetap berburu Babi tapi tidak untuk dikonsumsi, namun karena mereka menganggap babi sebagai hama.

Dilihat dari jenis pemburu, Edyson Manaesa, Tangkoko Project Officer Yayasan Selamatkan Yaki, menyatakan, terdapat dua jenis pemburu satwa liar di sulawesi utara. Pertama, pemburu yang berniat mendapatkan satwa endemik. Kedua, pemburu yang memasang jerat untuk tikus dan kelelawar namun secara kebetulan mendapatkan satwa liar dilindungi, seperti yaki atau ular piton.

Monyet hitam Sulawesi (Macaca nigra). Foto: Aji Wihardandi
Monyet hitam Sulawesi (Macaca nigra). Foto: Aji Wihardandi

Sulitnya menemukan target perburuan di luar kawasan konservasi, membuat para pemburu yang memasuki kawasan konservasi merencakan perburuan satwa dilindungi seperti yaki. “Sedangkan, di lokasi lain, yaki bukan target utama karena pemburu kesulitan menemukannya. Terkadang, ada yang target menembak tikus atau memasang jaring kelelawar, dan kebetulan bertemu yaki, maka mereka memburunya.”

Jalur Lintas Perdagangan Satwa Ilegal

Secara historis, fenomena perdagangan satwa ilegal, yang menempatkan Sulawesi Utara sebagai jalur lintas, diyakini telah berlangsung sejak abad 14. Misalnya saja, pencantuman nama Uda Makataraya (Talaud) di kitab negarakertagama sebagai jalur perdagangan.

Dikatakan Nono Sumampow, wilayah kepulauan Sangihe dan Talaud, saat itu, menjadi jalur lintas serta lokasi singgah para pedagang dari pulau Jawa, Maluku dan Filipina. Besar kemungkinan, salah satu produk dagang kala itu adalah satwa liar.

Namun, ia  menduga, aktivitas ini sudah berlangsung jauh sebelum catatan negarakertagama. Sebab, asumsinya didasari oleh catatan tertulis di abad 14, sedangkan tradisi masyarakat minahasa umumnya adalah tradisi lisan.

“Dalam perkembangannya, Talaud dan beberapa titik pesisir menjadi jalur transit perdagangan. Alasannya sederhana, bukan hanya faktor kedekatan geografis. Sebab utamanya adalah para pelintas itu perlu makanan dan sumber air. Dan, mereka menemukannya di beberapa titik di Sulawesi Utara.”

Latar historis tadi, membuat Sulawesi Utara tidak hanya menjadi pasar perdagangan, tetapi juga menempatkan provinsi ini sebagai wilayah penampung, serta jalur lintas perdagangan satwa, di tingkatan nasional maupun internasional.

Polisi gagalkan penyelundupan nuri Talaud, Dokumentasi Rychter (Kompak).
Polisi gagalkan penyelundupan nuri Talaud, Dokumentasi Rychter (Kompak).

Di tataran regional, sulitnya menemukan target buruan, membuat permintaan pasar lokal harus mendatangkan satwa jenis tertentu dari luar Sulawesi Utara, seperti Gorontalo, Sulawesi Tengah bahkan Sulawesi Selatan. Satwa yang masuk ke Sulut kemudian, di pasarkan di dua pasar tradisional, yakni pasar Tomohon dan pasar Langowan.

Kendala klasik untuk memutus jalur perdagangan satwa liar dihadapi Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulawesi Utara. Diucapkan Hendrieks Rundengan, Kasubag Tata Usaha BKSDA Sulut, alasan kesulitan BKSDA, yang pertama, adalah variasi peredaran. Di jalur darat, distributor satwa ilegal kerap menggunakan truk dengan bak tertutup. Selain itu, ada pula yang menggunakan jalur laut dengan menggunakan perahu.

Namun, faktor yang paling menyulitkan BKSDA adalah minimnya jumlah personil di lapangan. Misalnya, jumlah Polhut di Sulut dan Gorontalo berjumlah 24 personil, yang ditempatkan di 13 kawasan konservasi juga di luar kawasan konservasi, seperti bandara Sam Ratulangi, pelabuhan Bitung dan pelabuhan di Talaud.

“Semua berhubungan dengan SDM. Kalau kami fokus patroli di jalan, maka hutan akan kosong, karena jumlah personil memang minim.”

Sementara, untuk operasi di pasar, BKSDA hanya melakukan pendataan dan identifikasi. Hal ini bertujuan menghindari konflik antara aparat pemerintahan dengan para pedagang. Sebab, Hendriks meyakini, masalah utamanya tidak berada di tataran pedagang, namun pemburu, pengumpul dan distributor.

Penekanan lebih jauh mengenai perdagangan satwa di Sulawesi Utara disampaikan Simon Purser, Advisor Program Satwa Pusat Penyelamatan Satwa Tasikoki (PPST). Berdasarkan pemaparannya, terdapat tiga jenis fenomena perdagangan satwa di Sulut. Pertama, masalah perdagangan internasional dari seluruh pulau di Indonesia. Di sini, Sulut menjadi jalur persinggahan perdagangan satwa ilegal untuk didistribusikan ke Filipina, yang kemudian diteruskan hingga ke Cina dan Hongkong.

“Pulau-pulau kecil di Sulawesi Utara, bisa menjadi jalur yang sangat dekat untuk masuk ke Filipina. Distributor bisa mendistribusikan dengan hanya menggunakan perahu,” jelas Simon.

Dicontohkannya, sejak tahun 2004 telah terungkap sejumlah kasus perdagangan satwa ilegal yang sempat singgah di kawasan Sulawesi Utara. Seperti ditangkapnya seorang yang berniat menjual macan tutul dari Jawa ke Filipina. Ditambah lagi, kasus penyelundupan satwa dari kalimantan, seperti beruang madu, dan orang utan, yang juga diarahkan ke Filipina. Kasus terbaru, polisi Talaud berhasil menggagalkan penyelundupan 111 burung Sampiri (nuri talaud/ Eos Histiro) ke Filipina, November 2013 silam.

satwa selundupan polisi Gorontalo di Pelabuhan Bitung. Dok. Abineno BM, Beritamanado.com.
satwa selundupan polisi Gorontalo di Pelabuhan Bitung. Dok. Abineno BM, Beritamanado.com.

Ia menduga, terdapat hubungan erat antara perdagangan satwa ilegal dengan jaringan kriminal internasional. Keuntungan yang didapat dari hasil perdagangan satwa ini, berpotensi digunakan untuk mebiayai operasinal tertentu, misalnya saja bagi gerakan sparatis di negara tertentu.

Fenomena kedua adalah dijadikannya Sulawesi Utara, sebagai jalur transit perdagangan satwa ilegal dari Papua dan Maluku untuk didistribusikan hingga ke Jawa. Pada bulan Desember 2013, misalnya, ratusan Brimob Gorontalo, yang baru pulang dari tugas dinas di Ternate, kedapatan membawa ratusan satwa liar, seperti Kakak Tua Raja, Kakak Tua Jambul Kunging, beberapa jenis Nuri, Elang Maluku dan berbagai jenis satwa lainnya.

Sayang, tak ada satupun pihak yang dapat mencegah aksi ini. Pihak Brimob tadi, berhasil membawa ratusan satwa liar tersebut ke Gorontalo. “Mereka mengaku, satwa liar tadi sebagai souvenir dari Maluku, tapi tidak diketahui nasib ratusan satwa liat tadi,” sesal Simon.

Fenomena ketiga adalah perdagangan satwa khas minahasa di pasar tradisional. Satwa yang dimaksud Simon, seperti ular piton, yaki atau kuskus. Pada kasus terakhir, dinilainya, terdapat konflik antara pihak yang berupaya melestarikan eksistensi satwa dilindungi dengan masyarakat yang ingin mengkonsumsi makanan tradisional. Sayangnya, hingga saat ini, belum ada solusi jelas untuk menyelesaikan masalah tersebut.

Di Sulawesi Utara, dua pasar tradisional seperti Tomohon dan Langowan, diyakini menjadi pusat perdagangan satwa liar, termasuk satwa dilindungi. Di dua pasar ini, lazim disaksikan aktivitas jual-beli satwa, semacam anjing, kucing, tikus, kelelawar,babi hutan, biawak, hingga ular.

Berdasarkan pemantauan Mongabay-Indonesia, para pedagang mengaku mendapat pasokan satwa jenis tertentu dari luar daerah, seperti Kotamubagu, Gorontalo dan Sulawesi Tengah. Satwa yang dipasok dari luar daerah tadi, di antaranya adalah tikus, kelelawar hingga ular. Pedagang di pasar Langowan, misalnya, meyakini, hal tersebut disebabkan masyarakat di daerah pemasok tidak mengkonsumsi satwa berjenis seperti itu.

Proses distribusi, dilakukan dengan mengumpul terlebih dahulu satwa yang menjadi sajian khas masyarakat di wilayah tertentu di Sulawesi Utara, kemudian menjualnya ketika stok satwa dirasa telah mencukupi.

Pedagang dan pembeli di dua pasar tradisional tadi, umumnya meyakini, konsumsi satwa liar jenis tertentu, seperti ular dan biawak, dapat menyembuhkan alergi, penyakit asma dan menguatkan stamina.

Sementara untuk satwa yang sulit ditemukan, seperti yaki, para pedagang di pasar Tomohon mengaku baru menjualnya ketika ada pasokan. Namun, di pasar langowan, para pedagang bisa menjanjikan jual-beli Yaki di hari Sabtu.

Berdasarkan survei yang dilakukan Saroyo, pada kurun 2006 hingga 2010, didapati sekitar 39 satwa liar yang diperdagangkan di pasar Tomohon dan pasar Airmadidi. Hasil kajiannya menunjukkan, beberapa jenis satwa liar yang diperdagangkan untuk kepentingan konsumsi yang paling umum adalah paniki (Pteropus ) dan tikus ekor putih (Paruromys dominator).

Sedangkan, jenis-jenis lainnya seperti ular piton (Python reticulatus), babi hutan (Sus), dan penyu hijau (Chelonia mydas) hanya jika terdapat tangkapan. Jenis-jenis lainnya menjadi komoditas yang sangat langka, misalnya Yaki Pantat Merah (Macaca nigra), Yaki Pantat Hitam (Macaca nigrescens), Kuskus (Ailurops ursinus), Babirusa (Babyrousa babyrussa), anoa (Bubalus depressicornis) karena semakin sulitnya berburu satwa-satwa tersebut.

Potongan ular di Pasar Tomohon. Foto: Themmy Doaly
Potongan ular di Pasar Tomohon. Foto: Themmy Doaly

“Beberapa jenis satwa liar yang dikonsumsi merupakan satwa yang dilindungi oleh Pemerintah Indonesia, bahkan masuk dalam kategori terancam punah pada Redlist IUCN (International Union for Conservation of Nature and Natural Resources), dan masuk daftar Appendix CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora),” demikian penjelasan Saroyo seturut kajian yang pernah dibuatnya.

Konsekuensi Perburuan, Perdagangan dan Konsumsi Satwa Liar

Tradisi berburu, berdagang dan mengkonsumsi satwa liar turut berdampak pada menurunnya, bahkan punahnya populasi satwa jenis tertentu di Sulawesi Utara. Satwa seperti Babi rusa dan Anoa begitu sulit ditemukan di Sulawesi Utara.

Permasalahan ini, ditanggapi BKSDA dengan mengupayakan peningkatan jumlah populasi babi rusa, anoa dan maleo. Dari beberapa satwa dilindungi di Sulawesi Utara, tiga satwa tadi jadi prioritas.

Upaya meningkatkan jumlah populasi anoa dilakukan dengan cara bekerja sama dengan Balai Penelitian Kehutanan dalam bentuk penangkaran. “Jadi ada satwa sitaan yang akan dikembangbiakan,” demikian dituturkan Hendrieks Rundengan, Kasubag Tata Usaha BKSDA Sulut.

Victor Wodi dan rekan-rekannya mengajar siswa SD GMIM Dua Saudara. Foto: Themmy Doaly
Victor Wodi dan rekan-rekannya mengajar siswa SD GMIM Dua Saudara. Foto: Themmy Doaly

Sementara, meningkatkan jumlah populasi maleo dilakukan dengan cara membangun bak-bak pengentasan telur, untuk menghindarkannya dari terkaman predator. Sedangkan, untuk babi rusa, dikembangkan BKSDA di dua kawasan konservasi di Sulawesi Utara dan Gorontalo. “Tentu saja, kami perlu mitra untuk membantu kerja-kerja lapangan. Misalnya, dengan menitipkan satwa sitaan untuk direhabilitasi.”

Namun, Hendrieks tidak bisa menyodorkan jumlah populasi tiga jenis satwa yang terancam tadi. Sebab, keberadaan tiga satwa tersebut hanya didapati dari informasi masyarakat di sekitar kawasan konservasi di Sulawesi Utara.

Berdasarkan informasi tadi, ia meyakini, populasi anoa masih bisa ditemui di beberapa titik, seperti di Cagar Alam Tangkoko, kawasan hutan gunung Ambang dan di kawasan Taman Nasional di Bolaang Mongondow (Bolmong). “Sedangkan, untuk babi rusa kemungkinan ada di kawasan hutan gunung Ambang, kalau di Bolmong masih banyak.”

Aktivitas perburuan dan perdagangan juga mengancam populasi Yaki (Macaca Nigra), yang merosot hingga 80 % dalam tiga puluh tahun terakhir. Harry Hilser, Field Project Manager Yayasan Selamatkan Yaki, pada medio 2013 kepada Mongabay Indonesia, mengatakan, fenomena ini menempatkan Yaki pada kategori hampir punah. Padahal, sebaran Macaca di seluruh dunia hanya berkisar 23 jenis, yang 7 jenis di antaranya berada di pulau Sulawesi, sementara Macaca Nigra hanya bisa ditemukan di Sulawesi Utara.

Secara lebih detil, Saroyo menyodorkan sejumlah referensi untuk menunjukkan penurunan jumlah populasi yaki di Cagar Alam Tangkoko, dalam tiga puluh tahun terakhir. Pada tahun 1978 densitas di Cagar Alam Tangkoko 300 ekor/km2. Sepuluh tahun kemudian, 1987-1988, populasi Yaki menurun drastis  atau hanya tersisa 76,2 ekor/km2, dan pada tahun 1999 densitas di Cagar Alam Tangkoko tinggal 58,0 ekor/km2.

Tabel Satwa dimakan di Sulawesi Utara

Padahal, menurut Saroyo, pemburu, pedagang dan konsumen berpotensi tertular penyakit yang diidap yaki. Karena, banyak mikro organisme berbahaya, terutama virus, bisa menular dari primata ke manusia.

Berdasarkan sejumlah penelitian, secara fisiologis, genetik, bahkan anatomi manusia dan primata memiliki kedekatan, yang dapat menyebabkan potensi mengidap penyakit yang sama. “Jadi, virus, bakteri bahkan cacing bisa berintertransimisi dari primata ke manusia, atau sebaliknya.”

Misalnya, ditambahkannya, penyakit yang berpotensi tertular adalah polio,hepatitis, rabies dan simian retrovirus. Sebab, bakteri yang diidap primata bisa ditularkan lewat udara. Sementara, virus bisa ditularkan lewat kontak langsung, seperti gigitan.

Kemudian, beberapa penyakit juga bisa ditularkan lewat kotoran satwa (feses), terutama infeksi cacing. Saroyo mengaku, pernah melakukan survei dan menemukan bahwa hampir semua kotoran primata yang diplihara menyimpan cacing gelang serta cacing tambang. “Sangat tidak disarankan memelihara satwa primata karena memelihara satwa jenis ini turut memelihara penyakit.”

Proses penularan penyakit dari primata ke manusia, dijelaskannya, bisa tersalur lewat cacing dalam kotoran primata. Biasanya, cacing keluar di kotoran dalam bentuk telur atau larva. Sehingga, orang yang terinfeksi cacing itu akan menderita penyakit yang spesifik, seperti TBC atau Hepatitis.

Proses penularan penyakit itu bisa lewat makanan manusia yang dibuang dan dikonsumsi monyet. Dalam kasus ini, primata berpotensi tertular penyakit yang lebih dulu diidap manusia.

Kemudian, kebiasaan masyarakat di seputaran kawasan konservasi yang membuang kotoran di sungai turut menjadi salah satu faktor tertularnya penyakit. Yaki, yang secara tidak sengaja meminum air sungai, dapat terinfeksi penyakit yang diidap manusia.

Sedangkan, untuk pedagang dan pemburu, masih menurut Saroyo, penularan penyakit lebih rentan lewat cairan tubuh. Bisa lewat darah, air liur dan air kencingnya, tergantung siklus hidup parasit. Sementara, konsumen bisa tertular lewat cara masak yang tidak sempurna.

Melalui generasi muda, pola perilaku perburuan satwa untuk konsumsi bisa ditekan. Foto: Themmy Doaly
Melalui generasi muda, pola perilaku perburuan satwa untuk konsumsi bisa ditekan. Foto: Themmy Doaly

Remaja: Agen Modifikasi Kultural

Sebenarnya, peraturan di negara ini telah mengamanatkan perlindungan terhadap satwa liar yang terancam eksistensinya, seperti yang tercantum dalam UU nomor 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

Namun, pada kenyataannya, peraturan tadi tidak bisa menghentikan perdagangan satwa liar di Sulawesi Utara. Hal ini dikarenakan, belum optimalnya tingkat pemahaman masyarakat mengenai pentingnya eksistensi satwa liar.

Selain itu, faktor tradisi membuat praktik perburuan, perdagangan dan konsumsi satwa liar dilindungi terus berlangsung. Ia menilai, perburuan, perdagangan dan konsumsi satwa bersifat kultural dan manusiawi. Sementara persoalan perlindungan satwa itu bersifat legal-formal.

“Pada dasarnya, manusia akan memikirkan persoalan-persoalan normatif bila kebutuhan hidupnya sudah terpenuhi. Di sini kendalanya, peraturan formal negara hanya berlaku jika bisa diterima secara kultural,” kata Nono.

Namun, bukan mustahil upaya melestarikan satwa terancam. Diperlukan modifikasi kultural. Artinya, papar Nono, manusia punya cara sendiri beradaptasi ketika memperoleh informasi yang memadai. Penyebaran informasi itu tidak harus formal. “Seperti, menunjukkan bukti bahwa mengkonsumsi satwa liar jenis tertentu berdampak buruk bagi kesehatan, tentu mereka akan mencari sumber protein yang bisa diterima tubuh dengan baik.”

Sementara, upaya menekan perburuan, perdagangan dan konsumsi satwa liar mulai gencar dilakukan beberapa pihak, seperti Yayasan Selamatkan Yaki, Pusat Penyelamatan Satwa Tasikoki dan sejumlah individu di desa Batuputih.

Umumnya, mereka menyebarkan pentingnya eksistensi satwa liar kepada pelajar di tingkatan Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas.

Daging yaki siap dimasak untuk konsusmi. Foto dari Facebook PPST
Daging yaki siap dimasak untuk konsusmi. Foto dari Facebook PPST

Caroline Tasirin, Education Assistant Yayasan Selamatkan Yaki, mengatakan, penyebaran ide dilakukan dengan cara memperkenalkan pentingnya pelestarian lingkungan, serta beberapa hal tentang konservasi. Kemudian, pihaknya berusaha menjelaskan tentang status keterancaman dan pentingnya eksistensi yaki bagi dunia.

Awalnya, kata Caroline, mereka menganggap pembahasan tentang yaki sebagai lelucon. Namun, setelah dijelaskan lebih jauh lagi, pemahaman mereka berangsur-angsur membaik.

Hal yang nyaris serupa juga terjadi pada guru-guru sekolah. Isu lingkungan sempat dianggap bukan prioritas utama. Namun, penjelasan tentang pentingnya eksistensi yaki, membuat sejumlah guru mulai menerima kampanye selamatkan yaki. “Respon awal guru-guru sekolah menunjukkan rendahnya tingkat pemahaman masyarakat tentang eksistensi yaki.”

Yayasan Selamatkan Yaki, sampai saat ini, telah melakukan sosialisasi di 15 Sekolah Menengah Atas di daerah Tomohon dan Langowan. Pelajar SMA dipilih karena mereka dinilai sebagai generasi penerus, yang dapat memutus rantai perburuan, perdagangan dan konsumsi satwa liar, khususnya yaki. Sementara, pemilihan dua lokasi sekolah dikarenakan tingginya tingkat perburuan dan perdagangan satwa liar di dua lokasi tersebut.

Proses penyebaran informasi dengan mengajarkan siswa sekolah tentang pentingnya eksistensi satwa liar juga dilakukan individu di Desa Batuputih. Victor Wodi, warga sekitar kawasan konservasi, sejak tiga tahun belakangan telah melakukan edukasi di 14 sekolah.

Sasarannya adalah siswa Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Pertama. Ia juga meyakini pentingnya memberi penyadaran pada remaja untuk ikut menjaga ekosistem.

Model pendidikan yang digagasnya bersifat semi-formal. Tidak melulu belajar di dalam kelas, namun pada saat-saat tertentu, ia mengajak pelajar untuk memasuki kawasan dan belajar di dalam konservasi. “Dengan cara seperti ini, mereka bisa lebih mengenal lingkungan.”

Pada tahap awal, Victor mengalami beberapa kesulitan, seperti minimnya pengalaman mengajar anak sekolah. Namun, seiring waktu kemampuan berkomunikasi dengan pelajar Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama beranjak semakin baik.

Beberapa hal lucu dialaminya ketika mengajar para murid. Seperti ketika Victor menunjukkan gambar babi rusa yang terancam punah. “Beberapa siswa sempat mengira gambar itu adalah gambar badak. Ada juga yang bilang itu sapi.”

Namun, seturut gencarnya pendidikan di sekolah-sekolah, pengenalan siswa tentang satwa liar dan eksistensinya semakin hari semakin membaik.

Wulan Tintingon, Kepala sekolah SD GMIM Dua Saudara, menyambut baik upaya yang dilakukan Victor Wodi. Sebab, sebelum kehadiran Victor Wodi dan rekan-rekannya, pengenalan isu lingkungan di sekolahnya terbilang minim.

Menurutnya, pendidikan lingkungan yang diterima siswa bisa memberi penyadaran kepada orang tua mereka. Dengan memahami pentingnya eksistensi satwa liar, ujar Wulan, para siswa bisa menegur orang yang lebih dewasa ketika kedapatan melakukan perburuan satwa dilindungi, seperti yaki.

Di sekolah ini, Victor Wodi dan rekan-rekannya, tiap kali mengajar mendapat waktu satu jam. Ia harus menyusun jadwal secara teliti, mengingat banyaknya jumlah sekolah yang harus dikunjunginya. “Saya sudah menyusun jadwal mengajar di sekolah-sekolah. Sebab, ada yang mulai bisa menyediakan waktunya secara berkesinabungan, seminggu sekali. Tapi, ada sekolah yang perlu menyesuaikan jadwal. Yang jelas, saya sudah mulai suka mengajari anak sekolah tentang pentingnya melestarikan lingkungan, meski tidak dibayar.”

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,