FOKUS LIPUTAN: Satwa Indonesia Dalam Ancaman Kepunahan (Bagian 3-Habis)

Pada bagian terakhir serial tulisan mendalam tentang perburuan dan perdagangan ilegal satwa dilindungi di Indonesia, tim penulis mengangkat seputar peran wilayah urban sebagai salah satu tujuan akhir perdagangan satwa di Indonesia. Dalam tulisan ini, tim penulis juga menyoroti spesies yang hidup di laut, tak hanya yang hidup di hutan-hutan Indonesia. Salah satu yang terpenting adalah perburuan ikan hiu dan pari.

Faktanya, sebagian besar masyarakat nelayan di Indonesia, tidak memahami adanya larangan berburu spesies laut dilindungi seperti hiu maupun pari. Padahal, empat jenis hiu di Indonesia sudah masuk kategori dilindungi, yaitu hiu moncomg putih dan tiga spesies hiu kepala martil. Namun hingga kini belum ada peraturan yang secara gamblang melarang perburuan hiu di Indonesia. Alhasil, sekitar 100 juta hiu mati diburu di perairan Indonesia.

Sejumlah monyet ekor panjang yang dijual di pasar satwa. Foto: Petrus Riski
Sejumlah monyet ekor panjang yang dijual di pasar satwa. Foto: Petrus Riski

Jawa Timur, Salah Satu Sumber Perdagangan Satwa

Satwa liar ternyata memiliki daya tarik tersendiri bagi sebagian masyarakat di Jawa Timur, bukan hanya sebagai satwa yang menjadi tontonan saja, melainkan juga sebagai satwa yang dipelihara dan diperjualbelikan.

Dikemukakan oleh Aktivis Jakarta Animal Aid Network, Amang Raga, wilayah Jawa Timur termasuk salah satu tempat tujuan perdagangan satwa, serta tempat satwa liar yang banyak dicari para kolektor maupun pedagang satwa. Prosentase perdagangan satwa di Jawa Timur cukup meningkat, seiring dengan bermunculannya kelompok-kelompok pecinta satwa atau penggemar binatang.

“Saat ini banyak bermunculan komunitas-komunitas pecinta satwa, seperti komunitas elang, pecinta burung hantu, dan banyak lainnya. Tapi kenyataannya itu menjadi pemicu tingginya perburuan satwa liar akibat banyaknya permintan pasar,” kata Amang Raga dari Jakarta Animal Aid Network.

Perburuan satwa di Jawa Timur menurut Amang, banyak ditemukan di sekitar Jember, Banyuwangi, dan Mojokerto, yang banyak mencari lutung jawa, makaka atau sejenis monyet ekor panjang, serta jenis monyet lainnya.

“Macaca misalnya dijual dengan kisaran harga antara 100.000 hingga 200.000 rupiah per ekor. Lutung jawa dihargai sekitar 300.000 sampai 400.000 rupiah per ekor, serta elang jawa atau elang brontok yang dijual hingga 3 juta rupiah. Kalau elang jawa anakan atau biasa disebut elang bondol kisarannya antara 700.000 sampai 900.000 rupiah per ekor,” jabar Amang Raga kepada Mongabay-Indonesia.

Selain tempat perburuan dan perdagangan satwa liar, Jawa Timur juga menjadi daerah tujuan perdagangan satwa jenis primata asal luar Jawa, seperti kukang yang banyak didatangkan dari Sumatera. Angka perdagangan satwa ini setiap tahunnya meningkat baik untuk satwa dilindungi maupun yang tidak dilindungi.

Foto: Petrus Riski
Foto: Petrus Riski

“Untuk kukang dihargai sekitar 100.000 hingga 400.000 rupiah per ekor. Tarsius dari Kalimantan juga ada yang didatangkan ke Jawa, harganya sekitar 700.000 rupiah per ekor,” ujar Amang.

Kasus perdagangan satwa lanjut Amang terus tumbuh dari tahun ke tahun, yang pendistribusiannya dilakukan ke daerah-daerah di Jawa Timur sendiri maupun ke luar Jawa Timur.

“Kalau Jawa Timur acak tempatnya, dan itu pertumbuhannya sekitar 10 persen dengan jenis satwa yang variatif. Ada yang dikirim ke Jakarta yang satwanya ditampung dulu di Krian, Sidoarjo. Ada juga dari Ngawi di ual ke Banyuwangi, Jombang ke Malang,” ungkap Amang.

Maraknya perdagangan satwa ini dipicu pula berkembangnya sistem perdagangan melalui internet atau lebih dikenal dengan sistem perdagangan on line. Amang mengutarakan, pola dan sistem baru inilah yang cukup sulit untuk dilacak maupun di deteksi.

Selain dijual, satwa liar masih banyak yang dipelihara untuk memuaskan ego visual pemiliknya. Foto: Petrus Riski
Selain dijual, satwa liar masih banyak yang dipelihara untuk memuaskan ego visual pemiliknya. Foto: Petrus Riski

“Banyak di Jawa Timur itu perburuan kucing untuk kategori dilindungi, itu jadi promadona seperti kucing ra’as yang merupakan satwa asli dari pulau ra’as, Madura. Via jejaring sosial transaksinya cukup besar,” imbuh Amang.

ProFauna Indonesia juga mencatat adanya tingkat perburuan satwa yang cukup tinggi di Jawa Timur, yang disebabkan posisi Jawa Timur sebagai salah satu penyupai satwa yang diperdagangkan di Indonesia, khususnya di pulau Jawa.

Satwa yang diperdagangkan di buru dari Taman Nasional di Jawa Timur seperti Meru Betiri, Baluran, juga Gunung Lamongan. Satwa yang ditangkap menurut pemantauan ProFauna dipusatkan di Lumajang, untuk selanjutnya didistribusikan ke berbagai daerah termasuk Surabaya dan Malang.

“Perburuan di Jawa Timur ini termasuk skala besar, kalau skala kecil seperti burung-burung kecil dan ayam hutan biasanya untuk hobi saja,” kata Rosek Nursahid, Ketua ProFauna Indonesia.

Beberapa jenis satwa yang diburu antara lain jenis burung besar seperti rangkong, lutung, kucing hutan dan beberapa jenis elang. Lokasi penangkapan dilakukan di Lumajang, Jember, Banyuwangi, dan Probolinggo, yang di lokasi itu kebetulan terdapat banyak kawasan konservasi alam yang realatif masih cukup bagus hutannya dibandingkan tempat lain.

“Kalau angka saya tidak punya, tapi kalau frekuensi pengiriman dari pengepul di Lumajang itu rata-rata dalam 1 bulan mengirim satwa ke berbagai daerah sebanyak 2 kali. Perkiraan individu satwanya 20 sampai 50 ekor dengan berbagai jenis,” tutur Rosek.

Sulitnya menekan dan mencegah terjadinya perburuan satwa untuk diperdagangkan menurut Rosek, disebabkan banyaknya pintu akses masuk ke Taman Nasional, namun tidak ditunjang dengan jumlah dan intensitas patroli petugas.

“Idealnya patroli dilakukan setiap hari oleh polisi hutan, tapi kenyataannya jarang sekali patrolinya, juga jumlah petugas sedikit,” ucapnya.

Sejumlah reptil dijual bebas saat Car Free Day. Foto: Petrus Riski
Sejumlah reptil dijual bebas saat Car Free Day. Foto: Petrus Riski

Banyaknya komunitas berkedok pecinta satwa kata Rosek, merupakan salah satu pemicu perdagangan satwa liar terus berlangsung. Komunitas yang didominasi anak muda dan penghobi baru, merupakan kelompok yang minim informasi mengenai satwa. Rosek meminta adanya penertiban komunitas-komunitas pecinta dan penghobi satwa, agar tidak menjadi boomerang yang membahayakan bangsa.

“Harus ditertibkan kalau tidak akan akan bahaya, karena seharusnya para generasi muda menjadi generasi yang menyelamatkan alam, kekayaan alam Indonesia termasuk satwa, kalau mereka teredukasi dan menjadi bagian dari rantai perdagangan satwa liar, maka itu menjadi ancaman serius bagi masa depan satwa, termasuk bangsa Indonesia,” tegas Rosek Nursahid kepada Mongabay-Indonesia.

Trend perdagangan satwa saat ini ujar Rosek, semakin gencar seiring kemajuan teknologi internet. Jual beli dengan sistem on line seperti itu di Jawa Timur, saat ini lebih mengarah ke konsumen muda, khususnya anak usia SMA dan kuliah.

“Ini sangat berbahaya, karena kalau dulu pemelihara satwa liar untuk koleksi kebanyakan berusia diatas 30 tahun atau dewasa sampai orang tua, trendnya sekarang berawal dari pembeli, namun selanjutnya dapat menjadi penjual,” kata Rosek.

Hasil survey yang dilakukan ProFauna Indonesia menyebutkan, terjadi pergeseran usia masyarakat yang menjadi pembeli atau konsumen satwa liar.

“Justru berubah trendnya, konsumennya mulai umur 17 sampai 27 tahun, artinya ada pergeseran, ini lebih berbahaya karena anak-anak muda jauh lebih melek teknologi, media sosial juga. Ini yang membuat mereka jadi saling terkoneksi dengan pedagang satwa, ini yang semakin memudahkan terjadinya transaksi,” imbuhnya.

Peran Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jawa Timur menurut Rosek Nursahid, cukup kooperatif dalam upaya menangani perdagangan satwa liar. ProFauna Indonesia bersama BKSDA Jawa Timur sedang melakukan pembahasan bersama mengenai penanganan perdagangan satwa melalui on line yang cukup sulit diungkap.

Ajang jual beli satwa di cara Car Free Day di Jawa Timur. Foto: Petrus Riski
Ajang jual beli satwa di cara Car Free Day di Jawa Timur. Foto: Petrus Riski

“Kalau penjualan secara konvensionel relatif lebih mudah karena semua jelas, kalau on line kan seperti setengah misteri,” ucap Rosek.

Undang-undang nomor 5 tahun 1990 kata Rosek, sebenarnya sudah mengatur dan memberi sanksi terhadap pelaku perburuan serta perdagangan satwa liar terutama yang dilindungi. Namun kenyataannya implementasi hukum di tingkat pengadilan sering tidak sesuai dengan harapan agar pelaku perdagangan satwa menjadi jera.

“Ini bukan produk hukumnya tapi implementasinya yang masih lemah, vonisnya tidak sampai angka itu tapi hanya hitungan bulan. Kami mengusulkan proses revisi, karena kejahatan alam menjadi kejahatan yang sangat serius, tidak hanya alam tapi juga kehidupan bangsa. Kami mengusulkan sanksi hukumnya minimal, missal 1 tahun, kalau ada angka minimal maka itu akan memperkecil permainan ketika masuk ke level pengadilan,” jabar Rosek yang menyebut masih minimnya hakim yang memahami lingkungan.

Perdagangan satwa liar menurut Daniek Hendarto dari Center of Orangutan Protection, merupakan salah satu penyebab kepunahan satwa liar, selain hilangnya habitat yang disebabkan karena aktivitas perburuan. Banyaknya satwa liar yang diperjualbelikan di pasar burung kata daniek, menandakan besarnya penangkapan satwa liar di alam.

“Penangkapan satwa liar di alam dipengaruhi oleh permintaan dari pembeli akan satwa liar, sebagai satwa peliharaan dan juga pemuas hobi bagi sebagian orang,” kata Daniek Hendarto kepada Mongabay-Indonesia.

Primata yang diperjualbelikan di pasar burung lanjut Daniek, 100 persen merupakan tangkapan dari alam, beberapa satwa diantaranya termasuk dalam kategori dilindungi.

“Faktanya banyak yang diperjualbelikan dengan bebas, di beberapa pasar burung di Surabaya dan Malang cukup banyak,” imbuhnya seraya menyoroti masih belum tegasnya hukum serta aparat penegak hukum dalam menangani bisnis ilegal ini.

Kurang Pemahaman, Masyarakat Memelihara Satwa Untuk Kepuasan Visual

Meningkatnya trend jual beli satwa dipengaruhi pemahaman yang kurang dari masyarakat yang membeli satwa liar dilindungi sebagai binatang peliharaan. Seperti pengakuan Lulu (nama samaran) yang memelihara burung elang Jawa di rumahnya. Minatnya membeli didasari daya tarik fisik burung elang kecil, yang dibeli di sebuah pasar burung Larangan, Sidoarjo, Jawa Timur, dengan harga yang cukup murah.

“Ini dibeli suami saya di pasar Larangan, harganya sekitar 600.000 rupiah. Ya suka aja lihat penampilannya yang bagus dan kuat,” ucap Lulu, seorang karyawan swasta.

Burung elang Jawa itu dipelihara di rumah, dan ditempatkan di sebuah kurungan, bahkan tidak jarang elang anakan itu dilepas begitu saja di dalam rumah karena masih jinak. “Ya di biarkan begitu saja di dalam rumah, kadang juga dimasukkan kurungan,” lanjut Lulu yang mengaku tidak tahu kalau satwa jenis itu tidak boleh diperjualbelikan.

Foto: Petrus Riski
Foto: Petrus Riski

Di pasar Larangan, Sidoarjo, juga dapat ditemui beberapa satwa yang dilindungi, seperti burung nuri kasturi dan beo. Jumlahnya tidak banyak, hanya beberapa karena jumlahnya yang semakin berkurang seiring banyaknya peminat dari kalangan kolektor burung yang termasuk kategori dilindungi.

Memelihara satwa liar di rumah menjadi kesenangan tersendiri, karena merupakan hobi yang tidak banyak dimiliki orang pada umumnya. Seperti Putri, karyawati di Surabaya mengaku memiliki beberapa jenis satwa liar seperti macan rembah, ular, dan juga sugar glider atau sebangsa tupai terbang.

“Kalau sekarang tinggal sugar glider, kalau macam rembah sudah gak ada, sudah mati,” ucap Putri dengan jawaban pendek-pendek.

Satu ekor tupai terbang diperoleh Putri dari perkenalannya dengan seorang, dari komunitas pecinta satwa di Surabaya. Dari situ keinginannya memiliki satwa liar terus bertambah, meski tidak jarang harus mengeluarkan uang lebih untuk membelinya.

“Beli di komunitas sugar glider di Surabaya, harganya 500.000 rupiah. Selain Surabaya di Malang juga ada,” imbuhnya.

Foto: Petrus Riski
Foto: Petrus Riski

Tingginya Permintaan, Jadi Faktor Pendorong Perdagangan Satwa

Meski mengetahui bahwa satwa liar dilindungi tidak boleh diperjualbalikan, tingginya permintaan pasar menyebabkan Ahmad (nama samaran) tetap menjual satwa liar di lapak miliknya dikawasan pasar burung Kupang, Surabaya. Ahmad mengaku, harus sembunyi-sembunyi berjualan satwa dilindungi, agar tidak sampai tertangkap aparat kepolisian maupun BKSDA.

“Ya biasanya sembunyi-sembunyi mas, kalau tidak ya bisa kena razia petugas. Biasanya kalau ada yang pesan baru dibawa ke sini. Kalau tidak ya ditaruh dirumah,” Ahmad mengakui.

Beberapa satwa yang tampak dijual di pasar burung Kupang terlihat beberapa jenis ular, monyet, tupai, sejenis bajing, kucing hutan, burung kakaktua, burung nuri, serta beberapa jenis burung lainnya dan juga berbagai jenis ayam.

Satwa liar yang dijual di Pasar Kupang menurut Ahmad dipasok dari Mojokerto, sesuai pesanan pembeli maupun kolektor di Jawa Timur. Namun maraknya razia beberapa waktu terakhir diakui Ahmad membuat transaksi satwa langsung ke tempat pemasok di Mojokerto.

Ikan-ikan hiu hasil buruan. Foto: Petrus Riski
Ikan-ikan hiu hasil buruan. Foto: Petrus Riski

“Sementara ini agak tiarap, karena ada teman yang tertangkap polisi. Jadi jualannya tertutup, sembunyi-sembunyi, daripada ketangkap dan masuk penjara,” imbuhnya.

Selain pasar burung Kupang, di pasar burung Bratang juga masih dijumpai pedagang burung yang juga menyimpan satwa liar untuk diperjualbelikan. Beberapa yang paling banyak adalah jenis burung, dengan harga mencapai jutaan rupiah per ekor,

“Saya pernah lihat burung jenis nuri warna merah dan hitam, harganya jutaan. Juga ada kucing hutan, kakak tua juga ada. Biasanya ditaruh di bagian belakang dan tersembunyi, baru dikeluarkan kalau ada yang serius bertanya,” cerita Pudjianto, salah satu penggemar burung berkicau di Surabaya.

Sementara itu Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jawa Timur, mengakui masih maraknya perdagangan satwa di Jawa Timur, terutama satwa liar yang dilindungi. Beberapa satwa yang banyak dicari untuk diperjualbelikan antara lain harimau, burung elang, serta primata jenis ungko dan binturong. Tidak hanya perdagangan satwa, perburuan satwa liar dilindungi juga masih kerap ditemui di alam bebas maupun di beberapa taman nasional seperti Taman Nasional Baluran, Meru Betiri, dan Taman Nasional Gunung Kumitir.

Dikemukakan oleh Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jawa Timur, Suyatno, kasus perdagangan satwa liar dilindungi masih marak terjadi di Jawa Timur, meski pihaknya sudah berupaya untuk melakukan pencegahan dan penangkapan.

“Upaya kami sudah maksimal dan sosialisasi hingga pencegahan sudah dilakukan, bahkan sampai pada penindakan hukum. Tapi kenyataannya intensitas perburuan serta perdagangan satwa masih tinggi,” kata Sutayno, Kepala BKSDA Jawa Timur kepada Mongabay-Indonesia.

Maraknya razia satwa liar dan dilindungi oleh aparat kepolisian dan BKSDA di pasar-pasar, menjadikan perdagangan satwa beralih ke sistem online atau jual beli melalui sosial media internet, yang membutuhkan strategi khusus untuk penanganannya.

Hiu yang sudah ditangkap dibersihkan dan dipisahkan siripnya. Foto: Petrus Riski
Hiu yang sudah ditangkap dibersihkan dan dipisahkan siripnya. Foto: Petrus Riski

Jawa Timur, Salah Satu Surga Perdagangan Hiu

Perdagangan hiu di Jawa Timur juga termasuk cukup besar, baik dalam hal jumlah tangkapan serta konsumsi pasar terhadap produk hiu. Pantauan di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Brondong di Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, di tempat itu ditemui banyak hiu yang tertangkap dan diturunkan dari kapal nelayan, untuk selanjutnya dilelang dan diperjualbelikan kepada masyarakat yang membeli maupun kepada pengecer dan pengepul.

Penelusuran Mongabay-Indonesia di TPI Brondong mendapati bahwa setiap pengepul ikan mampu memperoleh 1 hingga 2 ton hiu setiap harinya dari para nelayan. Tangkapan hiu itu diperoleh nelayan dari mencari ikan di laut perairan  dalam, di wilayah Kalimantan, Bali, Probolinggo, Bawean, dan Madura.

Kebanyakan hiu yang tertangkap ukuran kecil, antara setengah, 1 hingga 2 meter panjangnya. Ketika ditanya bagaimana hiu itu sampai tertangkap, nelayan mengaku menangkap hiu secara tidak sengaja karena terjaring jala dan pancing nelayan, saat mencari ikan di lautan dengan kedalaman lebih dari 50 meter. Tidak hanya hasil tangkapan nelayan Brondong, banyak hiu juga ditangkap nelayan Bali, Probolinggo dan Madura, yang kemudian dijual di TPI Brondong.

“Hiu ini nangkapnya gampang kok mas, pakai pancing juga bisa. Kalau difilm-film itu kan kelihatannya sulit padahal gampang, orang-orang dibohongi film,” seloroh Basri (nama samaran), salah satu nelayan penjual ikan.

Lain halnya Sukri (nama samaran), nelayan Paciran yang mengaku banyak menangkap ikan pari, selain menjaring hiu ukuran kecil bersama jenis ikan-ikan lainnya.

“Setiap hari selalu ada hiu yang tertangkap mas, kebanyakan yang ukurannya kecil-kecil. Ikan pari juga banyak yang ketangkap,” ujar Sukri yang mengaku dapat uang dalam jumlah banyak saat berhasil menangkap hiu dan pari.

Foto: Petrus Riski
Foto: Petrus Riski

Nelayan sengaja menjual hiu dalam keadaan utuh, yang dihargai antara 10.000 hingga 20.000 rupiah per kilogram, tergantung ukuran hiu yang ditangkap. Dari nelayan, hiu dibeli oleh perantara, yang selanjutnya dijual atau dilelang di TPI Brondong. Hiu yang terjual saat lelang selanjutnya akan dipotong siripnya, dagingnya milik pembeli, sedangkan siripnya menjadi hak pengepul atau perantara pertama.

Satu orang pengepul rata-rata menjual sirip hiu hingga 60 kilogram per bulan dalam konsisi kering, dengan harga 250.000 rupiah per kilogram untuk ukuran sirip hiu dengan lebar 10-15 cm. Sirip hiu yang dikeringkan rata-rata dijual kering ke Surabaya dan Gresik. Sirip hiu segar biasanya dijual sesaui jumlah pesanan sebelumnya, dengann harga mencapai 100.000 hingga 200.000 rupiah per kilogram untuk ukuran kecil, dan ukuran besar mencapai 1 hingga 2 juta rupiah per kilogram. Sementara itu daging hiu dihargai 13.000 hingga 15.000 rupiah di tingkat pengecer, yang biasanya dibutuhkan untuk dibuat ikan asap atau ikan asin.

Nelayan menjual sirip hiu paling banyak karena permintaan pasar di Surabaya dan Gresik, khususnya untuk usaha restoran. Selain itu ada juga daging dan sirip hiu yang langsung diekspor ke luar negeri, khususnya sirip hiu ukuran besar.

“Tangkapan ikan hiu ini banyak yang dijual ke luar Lamongan, seperti Bandung dan Surabaya. Ada juga yang diekspor ke Srilanka, setiap minggu sampai 1 bulan kami kirim kisaran 10 ton,” kata Kardi, salah satu pengepul ikan di Lamongan.

Selain hiu, pari pun menjadi korban perburuan. Foto: Petrus Riski
Selain hiu, pari pun menjadi korban perburuan. Foto: Petrus Riski

Di tempat pengolahan ikan miliknya yang tak jauh dari TPI Brondong, Mongabay-Indonesia berkesempatan melihat proses pengolahan daging hiu, kulit, hingga tulangnya, yang semuanya dapat dijual. Di lahan seluas sekitar 400 meter persegi, berjajar rapi deretan kulit hiu yang dijemur dibawah panas matahari. Ada juga tulang hiu yang berwarna putih terlihat ikut dijemur diantara kulit hiu.

Memasuki bagian sebelah belakang bangunan semi permanen yang tertutup tirai dari bambu dan terpal, terlihat sejumlah drum plastik berisi daging hiu yang sudah terpotong-potong dan dicampur es serta garam. Disamping-sampingya juga terlihat tumpukan kulit hiu berbagai ukuran yang sudah kering dan siap untuk dipasarkan. Lebih ke belakang lagi, terlihat beberapa pekerja yang memotong serta membersihkan daging hiu ukuran besar yang sudah diasinkan, untuk dipotong menjadi ukuran yang lebih kecil.

“Kalau dagingnya dibuat ikan asin, diproses antara 1 minggu sampai 1 bulan lebih. Kami punya lemari pendingin agar ikan tetap awet. Untuk kulit juga dijual untuk krupuk dan juga kerajinan kulit lainnya, tergantung pesanan. Tulang ini juga ada yang pesan, katanya dibuat untuk ramuan obat-obatan,” cerita Kardi kepada Mongabay-Indonesia.

Ketika ditanya mengenai laturan yang melarang menangkap hiu, nelayan dan pengepul yang ada di TPI Brondong mengaku tidak terlalu memahami aturan itu. Sukri mengatakan bahwa dirinya tidak mungkin mengeluarkan lagi ikan yang ditangkapnya, yang didalamnya juga terdapat hiu.

Foto: Petrus Riski
Foto: Petrus Riski

“Kalau kami dilarang menangkap hiu, tapi kalau nyangkut di jaring dan kami lepas lagi, bisa jadi hiu itu akan mati. Ya mending diambil dan dijual,” seru Sukri yang menyebut sekitar 5 hingga 10 persen dari total 15-20 ton tangkapan ikan merupakan hiu.

Ketua ProFauna Indonesia Rosek Nursahaid menanggapi mengenai masih masaknya penangkapan hiu, lebih pada kepercayaan masyarakat akan mitos yang berkembang bahwa memakan sirip hiu dapat menjadikan panjang usia.

“Hiu sebetulnya lebih pada mitos, yang sebetulnya bagian dari sirip hiu itu kandungannya juga terdapat pada herbal atau tumbuhan.

Rosek mengutarakan, penangkapan hiu masih menjadi area abu-abu karena tidak semua jenis hiu dilindungi.

“Yang dilindungi seperti hiu macan tutul, hiu martil, dan itu jenisnya tidak banyak. Ketika sudah masuk restoran dan disajikan dalam bentuk sup, kita tidak tahu lagi apakah itu hiu dilindungi ata tidak.” tegasnya.

Hiu Martil, salah satu yang dilindungi di Indonesia. Foto: Petrus Riski
Hiu Martil, salah satu yang dilindungi di Indonesia. Foto: Petrus Riski

Saat ini ProFauna Indonesia sedang melakukan diskusi dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan, untuk membahas penanganan hiu dan penyu di Indonesia.

Aktivis lingkungan di Surabaya, Hermawan Some mengatakan, pemerintah perlu mempertegas peraturan yang melarang penangkapan hiu, beserta sanksi tegas kepada pelakunya. Sosialisasi juga perlu terus dilakukan agar nelayan serta masyarakat semakin sadar dan memahami mengenai dampak penangkapan hiu bagi kelestarian ekosistem laut.

“Nelayan belum paham, dan butuh sosialisasi serta pemahaman bahwa itu dilarang. Perlu ada peraturan termasuk bagaimana kalau tidak sengaja menangkap, kalau yang khusus tangkap hiu ya harus distop,” kata Hemawan.

Hermawan menambahkan bahwa penangkapan hiu dalam jumlah besar secara terus menerus, dikhawatirkan akan berdampak pada semakin langka atau punahnya karnivora nomor satu, yang akan berdampak pada terganggunya sistem rantai makanan pada ekosistem laut.

“Kalau semakin banyak ditangkap sehingga tidak banyak ikan pemakan daging, maka ini dapat mengganggu kesimbangan serta menimbulkan masalah yang susah diduga dan dianalisa,” ujarnya.

Aktivis lingkungan hidup Ecoton, Riska Darmawanti yang meneliti tentang ikan mengungkapkan, mitos sirip hiu yang dapat membuat panjang usia atau awet muda tidaklah benar. Diungkapkan oleh Riska, bahwa hiu merupakan predator yang hidup di laut dalam, yang memangsa banyak ikan saat ini banyak terkadung logam berat berbahaya.

Menjemur daging dan sirip hiu. Foto: Petrus Riski
Menjemur daging dan sirip hiu. Foto: Petrus Riski

“Hiu itu hidup di laut dalam dan dia predator, sehingga dia mengandung logam berat. Prinsip logam berat itu terjadi penumpukan pada rantai makanan paling tinggi, sedangkan hiu itu berada pada top predator, sehingga kandungan logam beratnya tinggi dan tidak layak dikonsumsi manusia,” tandas Riska Darmawanti.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,