RAPP Diduga Masih Hancurkan Hutan Alam di Bagan Melibur

Keraguan terhadap komitmen pengelolaan hutan secara keberlanjutan yang didengungkan Asia Pacific Resources International Holdings  Ltd (APRIL) pada 28 Januari 2014 kembali mencuat. Jaringan Masyarakat Gambut Riau (JMGR) mengungkapkan PT RAPP di Pulau Padang masih menebang hutan dan menggali kanal bahkan hal itu dilakukan di wilayah yang seharusnya tidak ada dalam peta operasi perusahaan.

Seperti diketahui sebelumnya, APRIL mengumumkan kebijakan yang disebutnya sebagai Sustainable Forest Management Policy (SFMP) yang berkomitmen menghentikan deforestasi di konsesinya dan pabriknya tidak akan menerima serat kayu yang berasal dari penebangan di wilayah hutan nilai koservasi tinggi (high conservation forest value) dari rantai pasokannya.

Terkait pengelolaan gambut, APRIL menerapkan moratorium untuk semua kegiatan di atasnya termasuk aktifitas infrastuktur, penggalian kanal sampai penilaian independen HCVS tuntas dilakukan.  Sementara terhadap konflik masyarakat, APRIL akan membangun kemitraan dengan masyarakat lokal sebagai bagian dari komitmen tanggungjawab sosial perusahaan dan menerapkan prinsip bebas tanpa paksaan (Free, Prior, Informed, Consent – FPIC). APRIL juga berjanji menyelesaikan berbagai konflik dengan masyarakat yang belum terselesaikan secara adil dan transparan dengan masukan dari multipihak.

Apakah komitmen itu berjalan di lapangan? Dua bulan setelah komitmen itu diumumkan kepada publik, setidaknya dua laporan atas pelanggaran telah disampaikan LSM Eyes on the Forest, koalisi Jikalahari, Walhi Riau dan WWF Riau. Kelompok EOF pada 15 April lalu menyingkap dugaan penebangan kayu alam di lahan HCVF dan memperkerjakan anak.

Eskavator PT RAPP di kanal gambut yang merusak hutan gambut di Desa Bagan Melibur, Pulau Padang, 28 Maret 2014. Foto : Isnadi/JMGR
Eskavator PT RAPP di kanal gambut yang merusak hutan gambut di Desa Bagan Melibur, Pulau Padang, 28 Maret 2014. Foto : Isnadi/JMGR

Temuan terbaru tepatnya pada pertengahan Maret lalu, JMGR bersama masyarakat Desa Bagan Melibur, Kecamatan Merbau, Pulau Padang, Riau memergoki aktifitas RAPP yang sedang merusak hutan gambut dan penggalian kanal di wilayah desa mereka. Setidaknya terdapat lima titik penggalian kanal selebar 3-5 meter yang membelah hutan gambut. Dan itu telah berlangsung sejak Februari lalu dan baru diketahui masyarakat ketika kanal yang dibuat sudah mendekati rumah warga.

Menurut warga, berdasarkan SK 180/Menhut-II/2013 yang merupakan addendum (revisi) dari SK.327/Menhut-II/2009 tentang Izin Perluasan Areal IUPHHK-HTI PT RAPP di Pulau Padang, Kabupaten Kepulauan Meranti Riau, desa mereka telah dikeluarkan dari wilayah operasi perusahaan.

Berdasarkan SK 180 itu, selain Bagan Melibur, Desa Mengkirau dan sebagian Desa Lukit dan areal tidak layak kelola juga dikeluarkan dari peta operasi perusahaan.

“Aparat desa dan warga langsung turun dan kami temukan adanya penggalian kanal, penebangan hutan alam. Itu lahan gambut. Ada empat alat berat sedang beroperasi. Jadi mereka terus melanjutkan penghancuran gambut,” kata Isnadi, Sekretaris jendral JMGR kepada Mongabay Indonesia Selasa (5/5/2014) di Pekanbaru.

Pada saat itu juga warga dan aparat desa langsung meminta perusahaan menghentikan aktifitas. Sempat terjadi debat karena perusahaan ngotot terus menggali kanal dengan alasan areal tersebut masuk dalam konsesi mereka. Warga lalu menunjukkan peta administrasi desa yang dikeluarkan Bupati Bengkalis tahun 2006 (sebelum dimekarkan menjadi Kabupaten Kepulauan Meranti) bahwa penggalian itu berada di wilayah desa mereka.

“Mereka tetap ngotot bekerja padahal pihak kecamatan dan Kapolsek Merbau sudah turun ke lokasi pada hari itu juga. Tetap mereka gali kanal. Akhirnya warga beraksi dengan mendirikan tenda di ujung kanal untuk menghentikannya,” tambahnya.

Pemerintah Kabupaten Kepulauan Meranti kemudian menfasilitasi pertemuan yang juga dihadiri oleh pihak perusahaan dan masyarakat. Ada empat kesepakatan yang diperoleh di antaranya masyarakat harus meninggalkan lahan yang mereka duduki begitu juga dengan perusahaan agar menghentikan aktifitas sementara. Selain itu juga akan diadakan verifikasi peta administrasi desa dan peta konsesi milik perusahaan.

Namun hingga hari ini kesepakatan itu tidak pernah dilaksanakan kecuali masyarakat sempat meninggalkan lokasi beberapa hari tapi kembali lagi ke lokasi karena perusahaan juga tidak pernah menghentikan kegiatannya. Konflik ini terus memanas karena masyarakat terus berpatroli untuk menghambat meluasnya penggalian kanal.

JMGR sendiri telah mengirimkan email protes kepada berbagai pihak termasuk tim SAC, Stakeholder Advisory Committee, sebuah komite multipihak yang dibentuk APRIL untuk memantau implementasi SFMP perusahaan.

Bukaan hutan gambut di Desa Bagan Melibur yang diklaim PT RAPP meski menurut SK Menhut 180 menyatakan desa tersebut harus dikeluarkan dari konsesi perusahaan, 23 Maret 2014. Foto: Isnadi/JMGR
Bukaan hutan gambut di Desa Bagan Melibur yang diklaim PT RAPP meski menurut SK Menhut 180 menyatakan desa tersebut harus dikeluarkan dari konsesi perusahaan, 23 Maret 2014. Foto: Isnadi/JMGR

Isnadi menambahkan email protes tersebut sudah dibalas Ketua SAC, Joe Lawson yang mengatakan bahwa masalah ini penting untuk dimasukkan dalam agenda yang akan dibahas dalam pertemuan SAC berikutnya pada Juli mendatang. Ia berharap hal ini bisa menjadi contoh isu yang penting untuk dievaluasi dan membuat rekomendasi ke arah yang lebih baik.

Email protes JMGR juga ditujukan kepada Presiden Direktur APRIL, Kusnan Rahmin dan telah dijawabnya dengan menegaskan bahwa Bagan Melibur adalah desa yang sudah dikeluarkan dari wilayah operasi perusahaannya. Sehingga sejak adendum itu dikeluarkan menteri kehutanan, perusahaannya tidak lagi beroperasi di desa tersebut.

Kasus ini sendiri sudah disampaikan ke Kementerian Kehutanan di Jakarta dan juga Dewan Kehutanan Nasional (DKN). Bahkan pada akhir pekan lalu, Ketua Presidium DKN, Endro Siswoko telah mengirimkan surat kepada Bupati Kabupaten Kepulauan Meranti dan Pimpinan PT RAPP untuk mentaati kesepakatan yang ditandatangani pada 28 Maret lalu termasuk penarikan diri seluruh pihak dari lokasi yang disengketakan. DKN juga meminta adanya tim yang beranggotakan perwakilan RAPP dan masyarakat Bagan Melibur serta para pihak lainnya untuk peninjauan lapangan dalam mengidentifikasi areal atau tata batas.

Temuan warga dan JMGR bahwa RAPP masih merusak hutan gambut dan menggali kanal di Bagan Melibur menambah panjang rasa pesimis sejumlah pihak bahwa APRIL benar-benar berkomitmen bukan malah dinilai lebih kepada pencitraan saja.

Demikian disampaikan Direktur Walhi Riau, Riko Kurniawan. Menurut dia pembangunan kanal jelas merupakan praktik buruk apalagi ini dilakukan setelah kebijakan SFMP APRIL diumumkan. “Kalau masih ada pembangunan kanal di gambut maka jelas tidak ada komitmen baru dari APRIL. Ini cuma gertakannya ke pasar bahwa kami jangan diganggu dulu, padahal tidak ada yang berubah dari mereka,” kata Riko kepada Mongabay.

Ia  menambahkan dari proyek eco-hydro yang diagung-agungkan APRIL di Semenanjung Kampar yang diharapkan mampu menjaga gambut agar tetap basah sehingga mampu mengantisipasi kebakaran hutan juga tidak terbukti. “Pengelolaan gambut mereka itu gagal. Yang ada (operasi perusahaan) hanya menyebabkan kehancuran gambut dan di sana juga ditemukan titik api kemarin itu,” tegas Riko.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,