, ,

Setahun Putusan MK 35, Pengakuan Hutan Adat Masih di Awang-awang

Midi, Rahmad, Suraji dan Heri,  tercengang mendengarkan keputusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bintuhan, pada Kamis (24/4/14). Mereka, empat dari masyarakat adat Semende Banding Agung, yang dihukum maksimal tiga tahun dan denda Rp1,5 miliar. Mereka diputus hakim sebagai perusak hutan gara-gara hidup dan berkebun di lahan turun menurun sanak keluarga mereka. Parahnya, lokasi mereka itu ditetapkan pemerintah secara sepihak sebagai taman nasional.

Vonis ini, setelah Mahkamah Konstitusi pada 16 Mei 2013 memutuskan hutan adat bukan bagian hutan negara. Masyarakat adat memiliki hak atas wilayah dan hutan mereka yang selama ini diklaim sebagai hutan negara. Kini, tepat setahun putusan MK itu. Angin segar pengakuan hak yang diharapkan masyarakat adat tampak masih di awang-awang…

Konflik di Bintuhan, hanya satu dari puluhan bahkan ratusan kasus di Indonesia, bagaimana masyarakat adat mempertahankan lahan berakhir penangkapan sampai dipenjara.

“Tak ada yang berubah dari sikap pemerintah daerah pasca keputusan MK, satu tahun berjalan, pemerintah daerah terkesan banyak menunggu instruksi dari Pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono yang nyata-nyata lamban beraksi,” kata Deftri Hamdi, Ketua Badan Pengurus Harian Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Bengkulu kepada Mongabay, Kamis (15/5/14).

Dia mencontohkan, konflik masyarakat adat Semende Dusun Lamo Banding Agung, di Kabupaten Kaur dengan Kementerian Kehutanan tidak pernah ditanggapi bupati. Alasannya, kebijakan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) bukan domain kabupaten. “Konflik ini meruncing karena pemerintah daerah lalai menjalankan tugas dan tanggung jawab menjalankan UUD 1945 dalam mengakui dan melindungi masyarakat adat.”

Pasca MK itu 35 16 Mei 2013, sebenarnya angin segar bagi masyarakat adat Bengkulu. Mereka menyikapi positif, dan membantu pemerintah menunjukkan keberadaan wilayah-wilayah adat di Bengkulu. Namun, upaya masyarakat adat tak mampu direspon pemerintah daerah.

Berbagai aksi dilakukan masyarakat adat pasca putusan itu. Seperti masyarakat Semende Banding Agung memasang plang di wilayah adat. “Pengumuman: Hutan Adat Semende Banding Agung bukan lagi hutan Negara berdasarkan putusan MK No.35/PUU-X/2012.”

“Ini untuk memberikan informasi kepada TNBBS dan pemerintah Kaur bahwa wilayah mereka selama ini diklaim sepihak pemerintah Indonesia sebagai kawasan hutan.”

Sayangnya, respon pengelola taman nasional sangat berlebihan. Dalam operasi, aparat-aparat TNBBS merusak dan membakar rumah-rumah warga Semende. “Plang pengumuman putusan MK 35 dibuang.”

Penderitaan warga adat tak sampai disitu. Empat warga Semende Banding Agung dihukum pidana tiga tahun penjara dan denda Rp1,5 miliar atau sebulan kurungan penjara.

Lahan adat di Maluku Utara, diberi police line oleh aparat keamanan. Warga pun diminta pergi dari lahan yang diklaim sepihak oleh perusahaan. Foto: AMAN Malut

Suara dari Maluku Utara juga serupa. Munadi Kilkoda, Ketua BPH AMAN Maluku Utara sangat kecewa dengan perkembangan implementasi putusan MK 35 di lapangan.

Kekecewaan bertambah kala harapan besar kepada Presiden SBY untuk segera membuat mandat baik instruksi maupun peraturan presiden terkait putusan MK, bak asa tak berbalas.

“Justru terbalik, malah terjadi pembiaran oleh negara terus-menerus. Terjadi pelanggaran HAM di masyarakat adat dan hak mereka atas tanah, wilayah dan sumber daya alam.”

Perih lagi, kala sebagian masyarakat adat ditangkap dengan tduhan melanggar UU Pencegahan dan Pemberantasan Perusahan Hutan (P3H). “Padahal mereka beraktivitas di wilayah adat mereka.”

Sedang perusahaan, katanya, diberikan kuasa penuh menghancurkan hutan adat terus-menerus, contoh PT Weda Bay Nickel, PT Antam dan PT Nusa Halmahera Mineral.

“Saya kira konflik agraria membuat negara ini tidak maju-maju. MK-35 ini solusi penyelesaian masalah yang berhubungan dengan hak klaim atas satu kawasan yang selama ini menjadi rebutan banyak pihak,” kata Munadi.

Dia meminta, SBY  maupun presiden baru segera melaksanakan putusan MK. “Jangan mengabaikan. Mengabaikan sama saja mengabaikan amanat konstitusi…”

Perjuangan pengakuan wilayah adat yang lambat terwujud meskipun sudah ada putusan MK 35 juga terjadi di Kalimantan Barat (Kalbar), seperti di Kabupaten Ketapang.

Kampung Tembawang di Ketapang, yang tengah diperjuangkan menjadi wilayah adat. Foto: Andi Fachrizal
Kampung Tembawang di Ketapang, yang tengah diperjuangkan mendapatkan perlindungan sebagai wilayah adat. Foto: Andi Fachrizal

Bagi komunitas masyarakat adat Dayak di Ketapang, Kampung Tembawang adalah sebuah kehormatan. Ia potret kearifan lokal yang dijaga ketat melalui hukum-hukum adat. Kini, kampung itu menuntut pengakuan dan perlindungan masuk skema hutan adat.

“Kampung Tembawang itu identitas budaya kami. Ketika Tembawang hilang, hilanglah identitas orang Dayak,”  kata Petrus Singa Bansa. Dia Raja Ulu Ai’ keturunan ke-51.

Petrus mengatakan, pemerintah seharusnya cepat membuat langkah-langkah pengakuan Tembawang, karena sistem ini warisan pendahulu mereka.

Hampir setiap desa yang dihuni masyarakat Dayak memiliki Kampung Tembawang. Kampung ini sebagai model agroforestry masyarakat adat. Ia menjadi contoh bagi pengelolaan hutan lestari. Namun, status kawasan ini masih dalam bayang-bayang “ancaman”.

Keputusan MK 35, menjadi atmosfer baru bagi masa depan Kampung Tembawang. Melalui keputusan itu, sejumlah elemen masyarakat menuntut pengakuan dan perlindungan Tembawang. Tembawang diyakini sebagai perbaikan tata kelola hutan dan lahan yang berpihak pada keadilan dan keberlanjutan.

Komunitas masyarakat adat di tujuh desa di Ketapang melakukan langkah-langkah strategis menyikapi keputusan MK itu. Desa-desa itu adalah Benggaras, Tanjung Maju, Sinar Kuri, Kepari, Sungai Daka, Benggaras, Demit, dan Desa Benua Krio.

Samuel, kepala Desa Tanjung Maju, memperkuat pernyataan Petrus Singa Bansa. Kampung Tembawang, katanya, perlu pengakuan dan perlindungan. Ciri kampung ini didominasi buah-buahan seperti durian, tengkawang, langsat, mentawa, patingan, nangka, pinang, kelapa, duku, pekawai, dan kemantan/kalimantan.

Ada pula rambai, kapul, kalik, sibo, cempedak, trembrenang, bunyo, manggis, satar, keranji, bawang, jantak, kemayo, tempasi, mentawai, asam pauh, rambutan, jambu, asam atau koli, tengkalak, rambutan, kopi, dan masih banyak lagi. “Kampung Tembawang di desa kami berada dalam satu hamparan luas” ucap Samuel.

Pius Rahasidi, pengurus adat Desa Sungai Daka mengatakan di Desa Sungai Daka, Tembawang disebut periau yang membentuk seperti pulau-pulau Tembawang di tengah perkebunan sawit.

Salfius Seko, akademisi Universitas Tanjungpura Pontianak, mengatakan, putusan MK ini peluang memberikan kesempatan masyarakat adat menunjukkan wilayah hutan adat mereka.

Keputusan ini, katanya,  tidak akan berarti jika tak disusul keputusan politik dari pemerintah daerah.“Tidak ada pertentangan hukum jika bupati mengeluarkan keputusan pengakuan dan perlindungan Tembawang dalam skema hutan adat.”

Nugroho, kabid Perlindungan Dinas Kehutanan Ketapang, mengatakan, Pemerintah Ketapang sangat mendukung usulan masyarakat yang disampaikan 14 November 2013. Namun proses harus bersabar.

Sebab, ada tahapan-tahapan harus dilakukan agar tidak menyalahi perundangan. “Usulan ini akan dimintai pertimbangan Biro Hukum sebelum diajukan kepada bupati. Perlu diingat yang memiliki kewenangan kawasan hutan Kementerian Kehutanan.”

Dede Purwansyah dari Sampan Kalimantan berpendapat, pengelolaan lewat Tembawang sudah terbukti lestari dan berguna bagi keragaman hayati endemik Kalimantan. Berdasarkan identifikasi biodiversity Tembawang oleh Sampan Kalimantan, dalam satu hamparan Tembawang ada lebih 100 jenis tanaman. Pengelolaan hutan lestari juga sejalan komitmen pemerintah Indonesia menurunkan emisi gas rumah kaca.

Ambrosius Pantas, perwakilan Desa Sinar Kuri, berharap, Pemerintah Ketapang benar-benar memperhatikan usulan mereka. “Karena jika Tembawang hilang dari wilayah dan hutan adat kami, identitas masyarakat sesungguhnya hilang.”

Masyarakat adat Dayak yang tengah mengusulkan   pengakuan wilayah adat Kampung Tembawang. Foto: Andi Fachrizal
Masyarakat adat Dayak yang tengah mengusulkan pengakuan wilayah adat Kampung Tembawang. Foto: Andi Fachrizal

Di Sulawesi Selatan, pengakuan hak masyarakat adat juga masih jauh dari harapan.  Yang terjadi, justru banyak bertentangan dengan putusan itu. Sardi Razak, ketua BPH AMAN Sulawesi Selatan, mengatakan, di berbagai forum Presiden SBY menyatakan komitmen mengimplementasikan Putusan MK No 35. “Kenyataan jauh panggang daripada api. Hanya karikatif tanpa eksekusi,” katanya di Makassar, Kamis (15/5/14).

Menurut Sardi, ketika putusan MK lahir jadi harapan. Namun kini justru makin tidak jelas. Upaya KPK memfasilitasi 12 kementerian menandatangani nota kesepahaman pengelolaan hutan pada 2013 juga tak bermakna sama sekali. “Kemenhut belakangan justru melahirkan kebijakan kontraproduktif.”

Sardi khawatir, kondisi ini akan memicu konflik pengelolaan hutan. “Kalau MK 35 masih stagnan, apa yang kami khawatirkan akan benar-benar terjadi.”

Sardi curiga, implementasi MK 35 stagnan karena pengelolaan hutan oleh investor di kawasan-kawasan adat. “Pemerintah lebih pro investor. Masyarakat adat yang mengelola hutan dengan kearifan justru terabaikan.”

Kemungkinan lain penyebab implementasi lamban, biaya besar harus ditanggung pemerintah. Selain regulasi nasional, juga daerah. “Ini biaya besar hingga mungkin menjadi pertimbangan pemerintah.”

Di Indonesia, baru beberapa kabupaten merespon dengan menggagas peraturan daerah. Salah satu di Kabupaten Bulukumba, Sulsel.

Sardi juga menyoroti kinerja Kemenhut yang mengabaikan masyarakat adat. Contoh, pemidanaan Najamuddin di Sinjai, selama lima bulan penjara hanya karena menebang pohon tanaman sendiri yang masuk kawasan hutan.

Sardi memuji Komnas HAM yang memiliki komitmen dan progres positif dalam merespon berbagai konflik SDA.

Marga Dawas, kembali menduduki wilayah adat mereka yang berkonflik dengan Suaka Marga Satwa. Foto: Taufik Wijaya
Marga Dawas, kembali menduduki wilayah adat mereka yang berkonflik dengan Suaka Marga Satwa. Foto: Taufik Wijaya

Dari Sumatera Selatan, putusan MK 35 juga belum berbuah konkrit, meskipun pemerintah daerah merespon positif tetapi menunggu kebijakan pusat.

Mereka berharap, Presiden baru mendorong pengembalian tanah adat yang dikuasai negara dan perusahaan,  kepada masyarakat adat.

“Teorinya pemerintah segera melaksanakan putusan MK, tapi tak terjadi. Hidup kami terus dalam tekanan di atas tanah sendiri,” kata Muhammad Sukri, pria 77 tahun, tokoh adat marga Tungkalulu, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumsel, Kamis (15/5/14).

Dia berharap, pada presiden baru agar benar-benar menjalan putusan MK.

Sukri dan ribuan warga marga Tungkalulu dan Dawas, sejak dua tahun ini menduduki tanah adat yang diklaim milik negara sebagai Hutan Suaka Margasatwa Dangku seluas 28.500 hektar. Lalu perkebunan sawit 30 ribu hektar dikuasai PT Hindoli, PT Sentosa Mulia Bahagia, PT BSS dan PT Dapur Sawit.

Saat ini, sekitar 2.000 warga menanam karet, bambu, buah-buahan hutan seperti duku, durian, cempedak, serta pisang, palawija dan sayuran.

Itu hanya satu dari sekian kasus di Sumsel. Rustandi Adriansyah, Ketua AMAN Sumsel, berharap, Presiden baru memiliki antusiasme mengembalikan hak masyarakat adat. “Moratorium perpanjangan dan pemberian izin konsesi baru. Selesaikan konflik tanah adat.”

Lalu, hentikan kekerasan aparat penegak hukum terhadap masyarakat adat yang menuntut hak dan mengelola kawasan yang diklaim industri dan negara. “Terakhir, audit sumber daya alam perlu guna menegaskan hak-hak rakyat dan keadilan hukum agraria,” katanya.

Nasib miris masyarakat adat memperjuangkan hutan adat juga terjadi di Sumatera Utara, salah satu di Desa Pandumaan-Sipituhuta, Kabupaten Humbang Hasundutan.

Mereka menolak hutan kemenyan dan hutan Register 41 yang masuk dalam hutan adat, dibabat PT Toba Pulp Lestari (TPL).

James Sinambela, tokoh adat Batak juga Ketua Masyarakat Perjuangan Hutan Kemenyan, Pandumaan- Sipituhuta, mengatakan, salah satu alasan menolak hutan kemenyan diambil TPL karena merupakan tanah adat.

Seharusnya, kata Sinambela, dengan putusan MK memperkuat posisi mereka dalam mempertahankan hutan adat. Namun, pemerintah terkesan membiarkan. Hingga sekarang, sosialisasi putusan ini tidak pernah dilakukan.

“Masyarakat adat tidak mendapatkan informasi apapun soal keputusan MK ini. Sepertinya sengaja didiamkan, demi kepentingan pengusaha dan penjahat kehutanan.”

Mengapa putusan MK diabaikan?  Kata Sinambela, ada indikasi karena pemerintah, khusus oknum di Kemenhut dan pemerintah daerah sudah mendapatkan komisi dari sejumlah perusahaan yang beroperasi di hutan adat.

Pohon kemenyan dan pohon-pohon lain di Registes 41 (Hutan Kemenyan) yang habis dibabat TPL, kini tinggal tanaman ekaliptus. Foto: Ayat S Karokaro
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,