Tolak PLTU Batang, Warga Berakhir di Balik Jeruji

Carman bin Tuyah, berbaju putih lengan panjang, bercelana bahan warna abu-abu dan berkopiah hitam. Hari itu, Selasa, 6 Mei 2014, berkisar pukul 09.00 pagi, ia bersama rekannya Cahyadi dipanggil oleh Kejaksaan Negeri Batang, Jawa Tengah. Cahyadi memakai peci hitam, berbaju batik hijau lengan panjang dan bercelana panjang. Keduanya mendapatkan undangan dari Kejaksaan.

Singkat kata, keduanya akhirnya diputus bersalah karena telah mengeroyok warga yang mendukung rencana pembangunan PLTU Batang.

Setelah dibacakan surat dari MA, keduanya langsung ditahan di Lembaga Pemasyarakatan Rowobelang, Kabupaten Batang Jawa Tengah. Adapun kasus yang dituduhkan pada Cayadi dan Carman ini terjadi pada tanggal 4 April 2012. “Sebetulnya tidak terima, karena yang dituduhkan kepada saya, karena saya tidak melakukan (pengeroyokan) itu,” kata Cahyadi seperti dikutip dari wawancaranya di video Greenpeace-Indonesia.

Carman dan Cahyadi hari itu ditemani oleh ratusan warga yang tergabung dalam Paguyuban UKPWR (Ujungnegoro, Karanggeneng Ponowareng, dan Roban). Warga kembali menyuarakan penolakan terhadap rencana pembangunan megaproyek PLTU Batubara di desa mereka. Mereka melakukan unjuk rasa di depan Kantor Kejaksaan Negeri Batang.

“Unjuk rasa juga merupakan bentuk dukungan terhadap dua orang warga mereka yang dikriminalisasi karena penolakan mereka terhadap rencana pembangunan PLTU Batubara Batang,” kata Roidi dar perwakilan Paguyuban UKPWR.

“Bebaskan, bebaskan, bebaskan,” begitulah teriakan ratusan warga yang tergabung dalam Paguyuban UKPWR di depan kantor Kejaksaan Negeri Batang. Mereka juga membentang spanduk bertuliskan “pejuang lingkungan bukan kriminal”.

Bentangkan spanduk, tolak PLTU Batang yang dinilai menerabas kawasa konservasi laut di Pantai Utara Jawa. Foto: Afif Saputra/ Greenpeace Indonesia
Bentangkan spanduk, tolak PLTU Batang yang dinilai menerabas kawasa konservasi laut di Pantai Utara Jawa. Foto: Afif Saputra/ Greenpeace Indonesia

Wahyu Nandang Herawan, dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia yang juga selaku penasehat hukum warga kepada Mongabay-Indonesia mengatakan, pada eksekusi kedua warga lalu, pihak Kejaksaan Negeri Batang tidak memberikan ruang kepada penasehat hukum untuk mendampingi kliennya.“Keduanya dituduh telah melakukan tindak pidana pengeroyokan dan sudah diputus oleh Mahkamah Agung dan dihukum tujuh bulan penjara,” kata Nandang.

Nandang menambahkan, ketika kasus ini disidangkan di tingkat pengadilan negeri dan pengadilan tinggi, Cayadi dan Carman diputus tidak bersalah oleh hakim, namun di tingkat Kasasi, Mahkamah Agung RI memutuskan mereka bersalah dan divonis tujuh bulan penjara.

“Kami sedang menyiapkan Peninjauan Kembali Ke Mahkamah Agung , dan rencana minggu depan akan kami daftarkan,” kata Nandang.

Arif Fiyanto dari Greenpeace Indonesia kepada Mongabay-Indonesia mengatakan, megaproyek PLTU Batubara Batang ini telah tertunda pembangunannya selama dua tahun karena penolakan yang keras dari warga sekitar lokasi rencana pembangunan PLTU.  Sampai saat ini, warga UKPWR tetap kukuh menolak megaproyek ini, penolakan mereka ditunjukkan dengan menolak menjual tanah mereka kepada PT. Bimasena Power Indonesia sebagai konsorsium yang memenangkan tender proyek ini. Konsorsium ini terdiri dari tiga perusahaan, yaitu J-Power, Itochu, dan Adaro Power.

“Motif memenjarakan Cahyadi dan Carman adalah upaya pelemahan perjuangan warga yang menolak pembangunan PLTU. Bahkan info yang kami dapatkan dari warga PT BPI akan membeli lahan Pak Cahyadi dengan luas berkisar satu hektar dengan harga tinggi. Hal ini karena lokasi lahan milik Pak Cahyadi ada dilokasi utama pembangunan PLTU Batang,” kata Arif.

Arif menambahkan, pada awal pembangunan, nilai proyek hanya Rp.30 triliun. Karena penundaan dua tahun berturut-turut terjadi peningkatan nilai proyek menjadi Rp.40 triliun. Berdasarkan data penelitian Greenpeace Indonesia menyebutkan, jika PLTU terbesar di Asia Tenggara itu dijalankan, dalam setahun akan mengeluarkan emisi karbon 10,8 juta ton. Ia bertolak belakang dengan komitmen Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menurunkan emisi karbon 26% tahun 2020. Dan jika PLTU Batang terealisasi, akan mengeluarkan 226 kilogram merkuri per tahun. Limbah merkuri akan memberikan kerugian sangat besar mengingat 0,907 gram merkuri dapat mencemari 11 hektar laut dan membuat ikan tidak layak dikonsumsi.

Selama dua tahun terakhir hingga saat ini, warga Batang aktif menolak pembangunan PLTU. Seharusnya,  peletakan batu pertama 6 Oktober 2012, ditunda karena protes keras dari masyarakat. Hingga akhirnya Presiden SBY mengeluarkan perpres menunda pembangunan PLTU hingga 2014.

“Ada kesan pemaksaan atas penetapan terpidana keduanya. Karena sudah dua tahun tertunda, maka jika Oktober 2014 ini tidak jadi dibangun berarti bukan lagi penundaan, namun PLTU akan dibatalkan,” kata Arif. “PLTU Batang jika berdiri, diklaim sebagai PLTU batubara yang terbesar di Asia Tenggara dengan kapasitas 2000 megawatt. PLTU batubara ini merupakan proyek kerjasama pemerintah swasta yang pendanaannya dari investasi jepang melalui JBIC dan Sumitomo.”

Denah PLTU Batang. Denah: LBH Semarang. Desain: Mongabay Indonesia
Denah PLTU Batang. Denah: LBH Semarang. Desain: Mongabay Indonesia

Selain itu, World Bank melalui International Finance Corporation terlibat. Pihak lain yang bermain dalam pembangunan PLTU ini, yaitu Japan Bank for International Coproration (JBIC).  Ini pihak yag tertarik mendanai PLTU Batang sekaligus investor utama proyek ini. Ada perusahaan patungan PT Bimasena Power Indonesia. Perusahaan itu satu dari Indonesia (Adaro Power of Indonesia saham 34%), dan perusahaan Jepang  yaitu J-Power–dikenal sebagai Electric Power Development Co, saham 34%), dan Itochu Corp–rumah perdagangan Jepang, dengan saham 32%. IFC, mengeluarkan dana US$33,9 juta melalui Indonesia Infrastructure Guarantee Fund.

“Padahal, mengacu kebijakan bank dunia September tahun lalu, tak boleh lagi mendanai proyek kotor seperti PLTU Batang. Alih-alih meneruskan ketergantungan terhadap bahan bakar kotor batubara, pemerintah seharusnya mengembangkan secara maksimal energi terbarukan yang bersih dan ramah lingkungan,” pungkas Arif.

Artikel yang diterbitkan oleh
, ,