,

Perlu Lembaga Penyelesaian Konflik Agraria di Muba

Kabupaten Musi Banyuasin, wilayah terbanyak konflik agraria antara masyarakat dan pemerintah maupun perusahaan di Sumatera Selatan. Keberadaan lembaga Ad Hoc sangat diperlukan guna penanganan konflik ini.

“Lembaga ini berdiri berdasarkan peraturan daerah,” kata  Dr. Laksmi A. Savitri, peneliti dari Universitas Gajahmada Yogyakarta saat Workshop Penyempurnaan Policy Brief Penanganan Konflik Agraria Muba, digelar Spora Institute di Palembang, pertengahan Mei.

Meskipun begitu, lembaga berjalan optimal, perlu persyaratan lain, seperti pemerintah Muba menjalanlkan moratorium izin-izin baru dan me-review izin lama terkait pengelolaan sumber daya alam (SDA). “Kalau tidak didukung kebijakan, lembaga tak akan berjalan optimal,” kata Hadi Jatmiko, direktur Walhi Sumsel.

Dari 2009-2014, tercatat 60-an konflik agraria di Sumsel tersebar sembilan kota dan kabupaten, yakni Palembang, Ogan Komering Ulu (OKU), dan Ogan Komering Ilir (OKI). Lalu, Ogan Ilir (OI), Banyuasin, Musi Banyuasi (Muba), Musi Rawas (Mura), Ogan Komering Ulu (OKU), Muara Enim dan Lubuk Linggau. Hingga 2012, hanya 14 kasus diselesaikan. Kabupaten Muba paling banyak konflik agraria, sekitar 23 kasus.

Tingginya konflik di Muba karena daerah paling banyak beroperasi HTI, perusahaan sawit, pertambangan batubara, dan migas. Ada sembilan HTI, didominasi milik Sinar Mas Grup. Penambangan batubara sekitar 69 perusahaan yang mendapatkan izin operasional. Perusahaan sawit 43 perusahaan skala besar, dan migas 15.

Konflik agraria diduga sebagai penyebab kemiskinan masyarakat Muba menjadi tertinggi di Sumsel. Pada 2012 tercatat 106.900 warga Muba miskin, atau 18 persen di Sumsel. “Ini melebihi standar kemiskinan nasional, mematok 11 persen,” kata Hadi.

Keinginan Politik

Latar gagasan pembentukan lembaga penanganan konflik agraria di Muba, berdasarkan penelitian Spora Institute selama tujuh bulan di tiga wilayah konflik yang melibatkan masyarakat Dawas, Sinar Harapan dan Simpang Bayat. Ternyata penyebab konflik karena kebijakan pemerintah.

Konflik masyarakat Dawas dengan Balai Konservasi Sumber Daya Alam) Sumsel, ketika kelola masyarakat 28.500 hektar ditetapkan Menteri Kehutana sebagai Suaka Margasatwa Dangku pada 1986, mencapai 70.240 hektar.

Masyarakat melawan penguasaan kembali lahan mereka sejak 2012. Dalam mengatasi konflik ini,  pemerintah lewat pendekatan keamanan, seperti pengusiran dan penangkapan walau kebijakan baru muncul berpihak masyarakat, seperti keputusan MK No.35. “Sampai kini konflik tidak terselesaikan, perlu kemauan politik pemerintah,” kata Laksmi.

Hadi berharap, Presiden Indonesia yang baru memiliki komitmen kuat menyelesaikan konflik agraria.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,