Lumpur Lapindo: Sewindu Menyisakan Masalah dan Penderitaan

Jelang peringatan 8 Tahun Lumpur Lapindo yang menenggelamkan belasan desa di 4 kecamatan di Kabupaten Sidoarjo, sekelompok seniman, aktivis peduli lingkungan serta warga korban lumpur menyiapkan berbagai kegiatan untuk menandai masih belum berakhirnya penderitaan warga korban lumpur.

Sebanyak 110 patung manusia lumpur didirikan di area kolam penampungan lumpur Lapindo di kawasan bekas Desa Siring, Kecamatan Porong, di sebelah timur jalan raya Porong yang menghubungkan Kota Surabaya dengan kota-kota lain di sebelah selatan dan timur Sidoarjo.

Patung itu dibuat oleh seniman kontemporer asal Tegal, Jawa Tengah, Dadang Christanto. Dikatakan oleh Dadang, selain untuk memperingati 8 tahun lumpur Lapindo menenggelamkan dea serta rumah warga, dibuatnya patung yang diberi judul “survivor” ini ingin menunjukkan masih belum selesainya penderitaan warga akibat tidak adanya tanggungjawab dari perusahaan penyebab bencana, serta abainya pemerintah yang tidak hadir bagi rakyat.

“Kalau ini seperti mimpi yang jadi kenyataan menurut saya, karena karya ini berada di tempat yang tepat, karena ide dan segala latar belakang pemikiran karya ini ada di lumpur Lapindo ini,” kata Dadang Christanto, ditemui Mongabay-Indonesia di atas tanggul kolam penampungan lumpur, Porong, Rabu (28/5).

Karya instalasi patung dari bahan dasar pasir dan semen ini dibuat dengan ukuran manusia dewasa yang sedang berdiri tegap menghadap arah depan, dengan posisi kedua tangan menadah di depan dada. Dadang mengutarakan, filosofi patung yang dibuatnya ini bukan berarti gambaran orang meminta-minta, melainkan gambaran sebuah bukti dan kesaksian mengenai apa yang terjadi terhadap warga akibat lumpur Lapindo.

“Kalau ada orang berduka atau demonstrasi di kota-kota entah di Chili, entah di Eropa, entah dimana, kalau ada orang hilang mereka akan membawa foto begini (menadahkan tangan keatas). Atau kalau ada yang berduka cita atau ke kuburan, misalkan seorang bapak mengantarkan jenasah anaknya juga dengan cara demikian. Jadi tangan begini ini bukan meminta tapi memberi bukti, memberi kesaksian,” papar Dadang.

Patung yang berdiri tegak dengan menadahkan kedua tangannya ini oleh Dadang diberi aneka benda atau barang, yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari warga sebelum lumpur menenggelamkan desa mereka. benda-benda itu antara lain, peralatan dapur dan memasak, perabot rumah tangga, peralatan  sekolah, mainan anak-anak, serta benda-benda lain yang mewakili kehidupan sehari-hari warga.

“Barang-barang ini adalah barang-barang mereka sehari-hari, yang barangkali bagi orang berpunya itu barang rongsokan, tapi (bagi) mereka adalah barang-barang berarti. Dan saya kerja seperti kayak arkeolog, mencari barang-barang, lalu barang-barang itu diketemukan lalu dikaitkan bagaimana hidup mereka di masa lalu. Jadi misalkan kalau kita mencoba untuk menggali tanah itu (lumpur) lalu ditemukan barang-barang, nah barang-barang itu juga sebagai bukti bagaimana mereka hidup, mereka bermasyarakat,” jabar Dadang lebih lanjut.

Patung yang dibuat dari lumpur, menjadi monumen yang mengingatkan bencana ekologis akibat kelalaian manusia. Foto: Petrus Riski
Patung yang dibuat dari lumpur, menjadi monumen yang mengingatkan bencana ekologis akibat kelalaian manusia. Foto: Petrus Riski

Terlepas dari dugaan ada unsur politis karena berdekatan dengan ajang Pemilihan Presiden, Dadang menegaskan bahwa karya patung manusia lumpur ini ingin membawa pesan kemanusiaan dan keadilan, agar penderitaan warga korban lumpur segera berakhir.

“Tentu saja kemanusiaan nilai yang terpenting, karena bagaimanapun juga ketidakadilan yang terjadi, penindasan dan hal-hal yang membuat manusia menderita harus segera diakhiri,” tuturnya seraya menyebut patung mansia lumpur merupakan simbol warga yang menjadi korban lumpur Lapindo itu sendiri.

Luapan lumpur Lapindo terjadi pada 29 Mei 2006 di Porong, Sidoarjo, akibat kesalahan proses pengeboran yang dilakukan PT. Lapindo Brantas. Belasan Desa dengan ribuan rumah milik warga, lahan pertanian, hingga fasilitas umum dan sekolah ikut terendam lumpur yang saat ini ditampung dalam kolam penampungan setingga sekitar 10 meter.

Dodo Putra Bangsa dari Urban Poor Consortium (UPC) selaku pendamping untuk Korban Lapindo Menggugat mengatakan, pihaknya bersama warga diluar peta area terdampak telah sejak awal menolak adanya aktivitas pengeboran yang dilakukan dekat permukiman penduduk. Hal itu selain membahayakan, juga telah berdampak pada tercemarnya sumur-sumur milik warga.

“Korban di luar peta ini juga banyak. Intinya warga di Glagaharun, Penatarsewu, Kalidawir, intinya menolak pengeboran. Juga untuk rencana pengeboran baru di lokasi yang dekat permukiman warga,” kata Dodo Putra Bangsa, aktivis dari Urban Poor Consortium (UPC).

Warga lanjur Dodo, menghendaki pemerintah segera turun tangan mengambilalih penyelesaian pembayaran ganti rugi warga yang menjadi korban, agar tidak menimbulkan kecemburuan sosial warga korban lumpur lainnya.

“Untuk yang di dalam peta terdampak segera diselesaikan kekurangan pembayarannya, juga merehabilitasi rumah dan kampung diluar area peta terdampak yang katanya bukan korban, tapi tetap saja terdampak,” ujarnya.

Selain pemancangan patung manusia lumpur, peringatan 8 tahun lumpur Lapindo juga diisi dengan malam renungan dan budaya, yang menampilkan anak-anak korban lumpur Lapindo, pembacaan puisi serta peluncuran buku 8 Tahun Lumpur Lapindo-Gemuruh Ingatan, teaterikan SFC Surabaya, Roy Jecovox, Ludruk Kartolo CS, serta penampilan seni jaranan asia (Korea, Burma, Thailand, Philipina, dan Bangladesh).

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,