Penolakan Tambang Emas Tumpang Pitu dari Ranu Kumbolo

Melakukan aksi di depan kantor pemerintah atau di pusat kota itu sudah sering dilakukan. Hal berbeda dilakukan oleh anggota Banyuwangi’s Forum For Environmental Learning (BaFFEL), saat melakukan aksi di kawasan gunung Semeru, yakni di Ranu Kumbolo. Aksi tersebut sebagai bentuk  menyuarakan penolakan rencana eksploitasi pertambangan emas di hutan lindung Gunung Tumpang Pitu.

“Jika bulan November 2013 lalu BaFFEL mendaki Gunung Agung, Bali, maka pada tanggal 26 Mei 2014 mereka memilih Ranu Kumbolo, sebuah danau yang terletak di jalur pendakian Gunung Semeru”

Ranu Kumbolo, Kecamatan Senduro, Lumajang, Jawa Timur dipilih tidak hanya karena popularitasnya di kalangan pendaki gunung. Namun lebih dari itu, menurut anggota BaFFEL Deni Alamsyah seperti dikutip dari rilis yang diterima Mongabay-Indonesia dikatakan, danau eksotis yang terletak di ketinggian 2.400 mdpl itu membangkitkan kesadaran tentang pentingnya air.

“Siapa pun yang pernah mendaki gunung, terutama gunung Semeru, akan tahu betapa berharganya air. Sebab itu air harus diperlakukan dengan respek. Dan karena rencana tambang emas akan merusak hutan Tumpang Pitu sebagai kawasan resapan air, maka kami menolak tambang tersebut”, kata Deni.

“Selain itu komunitas biker (penggemar sepeda motor) dari Purwokerto, dan sekelompok penggemar bola dari Jember juga sempat membantu aksi kami”, ujar Deni.

Walaupun aksi tersebut terbilang sederhana, namun Deni yakin, pesan di spanduknya itu akan menyebar ke banyak komunitas. “Air itu universal. Karena itu siapa pun manusia jika diingatkan akan pentingnya air, tentu hatinya akan tersentuh. Apa pun agamamu, apa pun kebangsaanmu, apa pun pandangan politikmu, apa pun taraf pendidikanmu, semuanya pasti butuh air untuk melanjutkan hidup”, jelas Deni.

Dalam informasi yang ditulis oleh Eko Budi S, pada 17 Maret 2009 dipaparkan, kawasan hutan Lindung Gunung Tumpangpitu di Dusun Pancer, Desa Sumberagung, Kecamatan Pesanggrahan, Kabupaten Banyuwangi menyimpan cadangan bijih emas sekitar 9.600 ribu ton dengan kadar emas rata-rata 2,39 ton. Sedangkan jumlah logam emas sekitar 700 ribu ton, dan kapasitas produksinya diperkirakan mencapai 1.577 ton per tahun.

“Luas eksplorasi direncanakan mencapai 11.621,45 hektare, dengan tahap awal 700 hektar yang akan dieksplorasi dan sisanya 10.921,45 hektar dilakukan secara bertahap.”

Sementa itu Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Jawa Timur, Ony Mahardika kepada Mongabay-Indonesia sebelumnya mengatakan, dampak dari adanya pertambangan emas di Tumpang Pitu berakibat pada persoalan air, limbah tambang, fungsi hutan sebagai pelindung wilayah atas akan terganggu.  “Tumpang Pitu juga berfungsi melindungi warga banyuwangi dari bahaya tsunami. Selain itu, terkait dengan lahan, akan berdampak pada konflik baik horizontal maupun vertikal,” kata Ony.

Ony menambahkan, pemerintah lokal sampai nasional sangat menginginkan proyek tambang Tumpang Pitu segera beroperasi secepatnya. Indikatornya adalah mudahnya penerbitan izin, merubah dan menurunkan status kawasan hutan lindung menjadi hutan produksi dengan alasan kawasan hutan itu sudah rusak akibat pembalakan liar dan penambangan tradisional.

“Biarkan Tumpang Pitu sebagai hutan lindung untuk melindungi kawasan atas dan bawah. Jangan bongkar Tumpang pitu dan jangan investasi yang merusak alam dan membuat masyarakat dihantui bencana ekologi,” tutup Ony.

Artikel yang diterbitkan oleh
, ,