,

Menebar Organik, Menyelamatkan Mangrove Desa Lawallu

Desa Lawallu, Kecamatan Soppeng Riaja, Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan, dulu hanya desa biasa. Kini, desa ini cukup dikenal dengan bercocok tanam organik dan peduli kelestarian mangrove.

Warga desa ini sebagian besar hidup dari hasil laut dan pertanian. Dulu, daerah ini kaya hutan mangrove. Kala harga udang melambung, mangrove menjadi tambak. Kayu bakar dan bangun rumahpun dari mangrove. Hutan tanaman inipun makin tergerus.

Lahan pertanian di Desa Lawallu tergolong subur. Warga ada yang menanam jagung,  tetapi masih banyak lahan tidur. “Dulu tak ada yang berpikiran lahan tidur itu bisa dikelola tepat,” kata Yusran Nurdin Massa, peneliti senior Mangrove Action Project (MAP) Indonesia, kepada Mongabay, Kamis (29/5/14).

Masyarakat di Desa Lawallu, selama ini menganggap mereka masyarakat maritim hingga lebih banyak di laut. Pekarangan rumah warga juga luas hingga berpotensi menjadi lahan pertanian, khusus sayur-sayuran.

Sejak 2010, program restoring coastal livelihood (RCL) masuk. Dengan program ini coba dibangun kesadaran kritis warga terkait pengelolaan dan pelestarian hutan mangrove. Program ini sekaligus memperkenalkan sistem pertanian organik ramah lingkungan. “Program ini juga memperkuat ekonomi masyarakat pesisir, terutama ibu-ibu rumah tangga.”

Syamsudduha, kepala Desa Lawallu, mengatakan, ketika MAP dan Oxfam memperkenalkan program ini pertama kali, hanya desa ini yang menerima.

“Dari sekian desa ditawarkan program organik, saya pertama kali menyatakan menerima, meski awalnya warga banyak menentang dan pesimis,” katanya.

Namun, dia mulai sosialisasi kepada masyarakat. Setiap hari dia mendatangi rumah warga menawarkan program organik ini membawa 10 polibag bibit sayuran.

“Saya datangi dan berjanji mengecek kembali seminggu kemudian.”

Setelah seminggu, hampir semua tanaman tumbuh baik. Warga makin antusias bahkan menyediakan wadah khusus di pekarangan. Pagar bambu juga dibuat. “Kami menyiapkan cat pagar,” ujar dia.

Warga membuat kelompok. Mulai kelompok usaha tani organik perempuan hingga pemanfaatan pekarangan rumah.

Sayur yang banyak ditanam seperti cabai, tomat, selada, terong ungu sampai jahe merah. “Kadang ada pembeli datang dari desa lain karena tahu produk organik,” kata Syamsudduha.

Selain bertani organik, warga juga diajarkan membuat kue dan beragam produks makanan sebagai unit usaha rumah tangga. Mereka memanfaatkan bahan-bahan yang tersedia di desa. Foto: Wahyu Chandra
Selain bertani organik, warga juga diajarkan membuat kue dan beragam produks makanan sebagai unit usaha rumah tangga. Mereka memanfaatkan bahan-bahan yang tersedia di desa. Foto: Wahyu Chandra

Pengelolaan lahan pun berkelompok. Salah satu yang cukup sukses, Kelompok Sipatuju. Mereka memiliki usaha pembuatan kompos dan pupuk cair. Sekali produksi kompos bisa 500 kilogram. Selain dipakai sendiri juga dijual Rp1.500 per kg.

Menurut Nurbaya, pengurus Kelompok Sipatuju, pupuk organik awalnya menunjang program desa tetapi banyak yang memesan dari warga desa lain sampai instansi pemerintah. “Produksi kami tergantung pesanan.”

Penggunaan kompos Sipatuju masih terbatas. Dari 195 hektar sawah, baru sekitar 10 hektar yang menggunakan kompos. Sebagian besar petani belum yakin sawah organik karena pengelolaan dirasa ribet. Dalam penggunaan pupuk misal, tanaman organik harus berkarung-karung, sedang kimiawi hanya beberapa botol.

Untuk pemasaran, produk organik warga sempat dijual ke swalayan di Makassar, namun terhenti karena kontinuitas produksi. “Produksi kami terbatas,  tak mampu penuhi target swalayan.”

Mereka berencana membuat toko organik di pinggir jalan. Lagi-lagi, terkendala perizinan tempat. “Kami berupaya mendapatkan izin toko organik sampai sekarang,” kata Syamsudduha.

Kesuksesan warga memenuhi kebutuhan pangan mandiri inipun mendapat apresiasi. Pada 2012, Desa Lawallu meraih penghargaan Juara I P2WKSS Sulawesi Selatan. Pada tingkat nasional, Lawallu termasuk 10 besar desa dengan rumah pangan lestari.

Pada 2013, desa ini kembali menerima penghargaan Juara I kelompok wanita tani Sulsel, dan 10 besar tingkat nasional untuk kategori sama.

Tak hanya tanaman organik. MAP pun mendampingi pengelolaan mangrove. Warga, kata Yusran, diikutkan sekolah mangrove selama enam bulan. Di sini, antara lain warga belajar identifikasi masalah mangrove, termasuk pengelolaan dan pelestarian.

Kualitas tambak Desa Lawallu, terus turun karena penggunaan pupuk kimiawi berlebih dan hutan mangrove rusak.

“Padahal, kelestarian mangrove bisa meningkatkan kualitas tambak. Karena mangrove salah satu sumber hara tambak, tanpa harus menggantungkan diri pada pupuk-pupuk kimiawi.”

Sekolah lapangan ini memberi perubahan cukup signifikan bagi warga, terutama kepedulian terhadap mangrove. “Kita berharap mangrove sebagai green belt kawasan ini bisa tetap terjaga. Apalagi kini warga lebih sadar pentingnya mangrove.”

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,