IPCC : Kemakmuran Jadi Penyumbang Terbesar Emisi Gas Rumah Kaca Global

Panel Para Ahli Antar Pemerintah untuk Perubahan Iklim (Intergovernmental Panel on Climate Change / IPCC) mempresentasikan hasil dari kelompok kerja 3 dari Laporan IPCC ke-5 (Assesment Report 5 / AR5) pada perundingan perubahan iklim di Bonn, Jerman pada Juni 2014. Mongabay Indonesia melaporkan langsung dari Bonn bahwa laporan tersebut memperlihatkan beberapa hal yang mengagetkan, antara lain bahwa emisi gas rumah kaca (GRK) tahunan berkisar pada 50 miliar ton setara karbon.

Ketua Kelompok Kerja 3 IPCC, Ottman Edenhofer pada side event perundingan Bonn mengatakan peningkatan emisi GRK, bukan saja disebabkan oleh jumlah penduduk dunia yang meningkat, tetapi lebih utama karena peningkatan kesejahteraan masyarakat secara global.

Pertumbuhan penduduk juga dapat berdampak pada emisi, tetapi pengendali terbesar peningkatan emisi adalah karena peningkatan kesejahteraan global. Sebagian besar orang di seluruh dunia, khususnya di Asia, telah keluar dari kemiskinan, maka ini akan diikuti dengan meningkatnya konsumsi energi dan meningkatnya penggunaan bahan bakar fosil.

“Pertumbuhan emisi GRK antara tahun 2000 dan 2010 lebih besar dari pertumbuhan emisi tiga dekade sebelumnya,” kata Edenhofer. Emisi GRK 2000-2010 meningkat 2,2 persen per tahun dari 40 giga ton menjadi 49 giga ton setara karbon. Sedangkan pertumbuhan emisi kurun 1970 sampai 2000 hanya 1,3 persen per tahun dari 27 giga ton menjadi 40 gigaton setara karbon.

“Setengah dari akumulasi karbon antropogenik, emisi antara 1970 sampai 2010, terjadi pada 40 tahun terakhir,” lanjutnya. Pertumbuhan ekonomi meningkatkan penggunaan energy dari bahan bakar fosil. Hal itu menjadi dua pertiga sumber emisi, dengan kontribusi yang signifikan dari industri dan pertanian.

Bila dunia tidak bergerak cepat untuk beralih ke teknologi rendah karbon, emisi global diproyeksikan akan terus meningkat. Peningkatan ini akan didorong terutama oleh kenaikan lebih lanjut dari kemakmuran di negara berkembang.

Edenhofer mengatakan banyak negara telah memiliki kebijakan untuk mengurangi emisi, tapi jauh lebih perlu untuk menerapkan kebijakan tersebut. Investasi dalam teknologi bersih perlu dilakukan dalam skala kebijakan massif dan mitigasi perlu diintegrasikan ke dalam pertimbangan politik yang lebih luas, seperti pertumbuhan, pekerjaan dan lingkungan.

“Menangani  perubahan iklim membutuhkan tindakan internasional. Ini adalah masalah besar dan membutuhkan kerjasama internasional untuk mengatasinya,” tambahnya.

Kesepakatan 2015

Ketua Delegasi RI untuk perundingan Bonn, Rachmat Witoelar mengatakan bahwa komitmen penurunan emisi dari negara-negara tidak cukup untuk mencegah kenaikan 2 derajat suhu global. Oleh karenanya perlu didukung oleh pemangku kepentingan dari sektor swasta dan LSM.  Hal tersebut diungkapkan Rachmat dalam sesi High Level Ministerial Under the Kyoto Protocol pada perundingan Bonn tersebut. Rachmat mengatakan penciptaan pasar karbon menunjukkan peluang ekonomi yang berjalin beriringan dengan usaha pengurangan emisi.

Saat ini, katanya, merupakan kesempatan global untuk memerangi perubahan iklim menjelang 2015, ketika seluruh Negara menyetujui kesepakatan perubahan iklim yang mengikat di Paris tahun 2015. “Kesepakatan ini tidak dibangun dari hal kosong, tetapi dari proses dan mekanisme yang sudah ada seperti Protokol Kyoto,” katanya.

Negara-negara  Pihak UNFCCC sendiri telah menyepakati bahwa pada konferensi perubahan ikim COP21 di Paris, Perancis pada akhir 2015, akan diadopsi suatu protocol baru, instrument legal atau keputusan yang memiliki kekuatan hokum mengikat dan melibatkan semua Negara Pihak sebagai kerangka kerja global baru untuk penanganan perubahan iklim pasca 2020.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,