HTI Menggurita, Bisakah Ogan Komering Ilir Hindari Kebakaran Gambut?

Sumatera Selatan, salah satu provinsi riskan terdampak El-Nino yang diprediksi bakal datang mulai Juli 2014 ini. Pada kekeringan 1997, banyak hutan dan rawa gambut di provinsi ini terbakar.

Ada beberapa kabupaten di Sumsel terancam dampak El-Nino, antara lain Kabupaten Musirawas, Musi Banyuasin, Banyuasin, dan Ogan Komering Ilir (OKI).

Berkaca dari El-Nino 1997, wilayah Sumsel yang paling banyak mengalami kebakaran di OKI. Ribuan hektar rawa gambut terbakar.

Rawa gambut di OKI terluas di Sumsel, yakni 769.000 hektar atau 75% dari luas kabupaten sekitar 1.923.347 hektar. Pada 1997-1998, sekitar 50% rawa gambut itu terbakar. Kala itu, di Indonesia sekitar 17-27 juta hektar rawa gambut dan rawa air tawar terbakar. Sumatera paling luas, mencapai 40%.

Sebelum terbakar, rawa gambut di OKI selama puluhan tahun mengalami degradasi akibat penebangan kayu, baik legal maupun ilegal, serta aktivitas pertanian dan perkebunan rakyat.

Pada 2004, rawa gambut terbakar itu dijadikan hutan tanaman industri (HTI), mencapai 586.975 hektar. Ada empat perusahaan,PT Sebangun Bumi Andalas (SBA) Wood Industri, PT Bumi Andalas Permai (BAP), PT Bumi Mekar Hijau (BMH), dan PT Ciptamas Bumi Subur (CBS). Tanaman perusahaan itu akasia, sebagai bahan baku kertas, dan bakau (Bruguiera conyugata). Perusahaan ini menjadi pemasok pabrik kertas terbesar di Asia, PT OKI Pulp & Paper Mills.

Sisa rawa gambut rusak digunakan perkebunan sawit, pertambakan udang tradisional, persawahan, sebagian besar menjadi kawasan hutan lindung.

Ada kalangan menilai kebakaran rawa gambut di OKI berkurang sejak ada perusahaan HTI. Benarkah?

Najib Asmani, staf ahli bidang lingkungan hidup Gubernur Sumsel, mengatakan berdasarkan penelitian persentase luas kebakaran pada lahan masyarakat sebelum ada HTI 61,62% dan setelah HTI menjadi 15,27 persen, turun 75,22%.

Tebal gambut terbakar sebelum periode HTI yakni 21,00 sentimeter per hektar dan setelah ada HTI tebal gambut terbakar sebesar 12,20 sentimeter per hektar, terjadi penurunan 41,90%.

Dia mengatakan, HTI mempunyai efek mengurangi kebakaran hutan dan sekaligus mencegah kebakaran gambut.  Perusahaan musim kemarau rutin memantau titik api (hot spot) dari udara, mencegah kebakaran secara dini, dan membentuk kelompok masyarakat peduli api (MPA).  “Pada lokasi konsesi SBA terdapat sekitar 30% lahan gambut mesti dilindungi berada pada kedalaman di atas tiga meter,” katanya, dalam tulisan pada 2011.

Akasia, katanya, menghasilkan serasah, dalam jangka panjang dapat terdekomposisi menjadi bahan organik. Rata-rata serasah dari dedaunan akasia gugur dan tumbuhan bawah mencapai 3,85 ton, dan dari biomasa tertinggal setiap panen mencapai 91,44 ton per siklus tanam 6 tahun atau sekitar 15,24 ton per hektar per tahun.  Total serasah dan biomasa tertinggal yakni 19,09 ton per hektar per tahun, atau bertambah sekitar 286.350 ton per tahun dengan target rotasi tanam 15.000 hektar per tahun.

Lalu, pembangunan kanalisasi mempertahankan permukaan air 30-90 centimeter dan penerapan sistem jarak tanam relatif rapat menyebabkan pertautan akar tanaman akasia satu sama lain bisa memperlambat subsidensi gambut.

Lahan rawa gambut di Desa Margatani, Air Sugihan, OKI, ditanami sawit oleh buruh PT Selatan Agro Makmur Lestari. Foto: Taufik Wijaya
Lahan rawa gambut di Desa Margatani, Air Sugihan, OKI, ditanami sawit oleh buruh PT Selatan Agro Makmur Lestari. Foto: Taufik Wijaya

Titik Api di HTI

Namun, temuan Walhi Sumsel sebaliknya. Pada El-Nino 1997, salah satu pemicu kebakaran hutan dan rawa gambut, khusus di OKI malah dari HTI.

“Saat itu, pemerintah banyak mengeluarkan izin HTI. Misal, PT Musi Hutan Persada, PT Pakerin. Kami menduga kebakaran itu dampak aktivitas land clearing perusahaan HTI. Tidak benar teori jika HTI turut mengatasi kebakaran rawa gambut,” kata Hadi Jatmiko, direktur Walhi Sumsel, Senin (30/6/14).

Sebagai bukti, akibat kebakaran hutan September-November 1997, Walhi Sumsel menggugat 11 perusahaan diduga pelaku kebakaran hutan pada 1998. Gugatan akhirnya kandas, menyusul  Departemen Kehutanan RI mengumumkan 176 perusahaan diindikasikan sebagai ”sumber asap” dengan izin terancam dicabut. Meskipun ancaman itu tak terealisasi.

Berdasarkan catatan Walhi Sumsel, dari 2009-2012, titik api banyak ditemukan konsesi HTI di Sumsel. “Dugaan, titik api muncul saat perusahaan membuka kanal-kanal dengan pengeringan gambut, selanjutnya muncul titik api di lahan gambut kering ini.”

Kondisi OKI, saat ini sangat riskan dengan kebakaran rawa gambut. Sejak muncul, kabar akan pemekaran kabupaten baru yakni Kabupaten Pantai Timur di OKI, banyak pihak mematok lahan dan penimbunan lahan rawa gambut. “Tujuannya agar lahan ini dapat dijual mahal untuk perkantoran, jalan, maupun kebutuhan lain,” kata Hadi.

Guna memastikan ada atau tidak kebakaran rawa gambut di OKI, termasuk upaya pencegahan, Walhi Sumsel memonitoring dengan melibatkan masyarakat. “Kita saat ini membuat tim pemantau, khusus di dekat lokasi rawa gambut.”

Kecemasan Walhi Sumsel, ternyata tidak sama dengan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). “Pemanasan di ekuator Samudra Pasifik dan pemanasan global akhir-akhir ini diprediksi tidak berpengaruh signifikan terhadap pertanian dan aktivitas masyarakat lain karena di Sumsel cukup banyak hujan,” kata Indra Purnama, kepala seksi Observasi dan Informasi Stasiun Klimatologi Kenten BMKG Sumsel.

Meskipun begitu, masyarakat harus tetap waspada, karena indeks El-Nino dapat berubah drastis ke level tinggi atau kuat dan sebaliknya.

Sedang Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyiapkan dana Rp355 miliar guna mengantisipasi El-Nino di Indonesia. Mereka pun melakukan langkah-langkah antisipasi, terutama di sembilan provinsi yakni Sumutera Utara, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Utara.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,