Komnas HAM: MP3EI, Program Pembangunan Abai HAM

Pada 30 April tahun lalu, tak kurang 500-an warga Kabupaten Batang, Jawa Tengah, mendatangi kantor Menteri Perekonomian di Jakarta. Mereka mendesak Menteri Perekonomian yang sekaligus ketua harian Komite Percepatan, Perluasan dan Pembangunan Ekonomi Indonesia (KP3EI) kala itu, Hatta Rajasa,  membatalkan proyek pembangunan pembangkit listrik tenaga batubara di daerah itu.

PLTU Batang, merupakan bagian  master plan percepatan, perluasan dan pembangunan ekonomi Indonesia (MP3EI), akan dibangun di lahan seluas 700 hektar berkapasitas 2.000 mega watt (MW) oleh PT Bimasena Power Indonesia.

Sejak awal, warga protes rencana ini karena mengancam sekitar 10.961 nelayan dan ribuan petani yang lahan produktif mereka ‘dipaksa’ menjadi kawasan proyek. Belum lagi, kawasan konservasi perairan laut daerah (KKLD) dikorbankan dan akan diubah demi proyek ini. Teror, intimidasi bahkan berhadap-hadapan langsung dengan aparat keamanan yang memaksa mereka menerima proyek, dialami warga.

Protes warga terus berlanjut hingga kini, bahkan dua warga penolak PLTU sudah dijebloskan ke penjara.

Tak jauh beda di Bali, kawasan Teluk Benoa, kini terancam.  Bulan lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, baru menandatangani peraturan pemerintah yang memungkinan investor masuk buat reklamasi di Teluk Benoa.

Penolakan berbagai elemen di Bali, muncul sejak awal rencana reklamasi ini. Sayangnya, suara penolakan warga yang khawatir alam dan lingkungan mereka rusak, tak diperhitungkan pemerintah. Reklamasi bagian dari proyek MP3EI ini seakan wajib terlaksana di Bali.

Beberapa bulan lalu, dampak aksi penolakan, beberapa warga sempat mendekam dalam tahanan polisi, meskipun kini sudah dibebaskan.

PLTU Batang dan reklamasi Teluk Benoa, hanya dua dari kasus-kasus proyek MP3EI yang menimbulkan konflik bahkan korban masyarakat. Ini di luar dampak kerusakan lingkungan. Begitu banyak masalah muncul, sejak proyek yang digadang-gadang sebagai mesin pertumbuhan ekonomi Indonesia ini mulai lepas landas 2011.

Komnas HAM pun melakukan penelitian. Hasilnya, menemukan, program MP3EI ini sejak awal sudah mengabaikan aspek-aspek HAM. Untuk itu, lembaga negara ini merekomendasikan agar program pembangunan ini dirombak total.

Jerinx SID dan musisi lain menyanyikan lagu Bali Tolak Reklamasi di depan Istana Negara Jakarta, kala aksi, Rabu (22/1/14). Foto: Sapariah Saturi

Dari riset “MP3EI dalam Perspektif HAM” yang dirilis pada 10 Juni 2014 ini, menemukan fakta antara lain, pertama, MP3EI keliru menafsirkan keberhasilan pembangunan sebagai percepatan peningkatan pertumbuhan ekonomi karena pertumbuhan ekonomi bukanlah indikator kesejahteraan. Dengan menggunakan indikator keliru dan tidak akurat, MP3EI berpotensi menimbulkan biaya sosial dan lingkungan tinggi yang akan mengancam perwujudan HAM.

Dari temuan lapangan, MP3EI lebih mengakomodasi kepentingan pebisnis besar melalui pembangunan megaproyek infrastruktur seperti jalan tol, pelabuhan, bandar udara, kereta api barang, dan lain-lain. Model pembangunan seperti ini lebih didorong oleh semangat memfasilitasi kepentingan para pebisnis ketimbang membangun kapabilitas ekonomi masyarakat. Secara makro, ekonomi terlihat tumbuh, namun mengorbankan petani kecil, buruh tani, dan tenaga kerja yang tidak terampil.

Kedua, program MP3EI tidak dijalankan dengan proses akuntabel dan transparan. Proyek-proyek MP3EI diputuskan sepihak oleh pemerintah pusat. Penentuan perusahaan-perusahaan yang menggarap proyek MP3EI tidak transparan dan minim kontrol. 

Ketiga, program MP3EI berpotensi meningkatkan ketimpangan ekonomi. Tingginya ketimpangan sosial ekonomi tidak dipertimbangkan serius oleh MP3EI.  MP3EI, menggunakan paradigma lama bahwa ketimpangan ekonomi hanya dampak proses pertumbuhan ekonomi. Pembangunan tetap dianggap berhasil jika ekonomi tumbuh kendati ketimpangan sosial ekonomi meningkat. Padahal, data statistik jelas-jelas telah menunjukkan buah dari strategi pembangunan seperti MP3EI adalah kesenjangan sosial ekonomi.

Keempat, MP3EI berpotensi memicu masalah sosial akut dan memperparah degradasi lingkungan. Konversi lahan pertanian dalam program MP3EI tidak didukung dengan suatu tinjauan mengenai dampak lanjutan.

Program MP3EI, terkesan tutup mata dengan seluruh konflik lahan yang ditimbulkan dari peraturan pembebasan lahan yang tumpang tindih.

Dari temuan itu, Komnas HAM mendesak pemerintah, lewat Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, meninjau ulang MP3EI karena tidak sejalan dengan prinsip-prinsip dan standar pembangunan berbasis HAM.

“Kata meninjau ulang ini sebenarnya, merekonstruksi secara fundamental dan mendasar. Tidak pada ada catatan lalu dilanjutkan. Absen HAM disitu,” kata Roichatul Aswidah, penanggung jawab subkomisi Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM.

Komnas HAM juga mendesak pemerintah segera mengintegrasikan HAM ke dalam rencana, paradigma, dan proses pembangunan nasional. Lembaga ini juga mendorong pemerintah, terutama Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dan Bappenas, melibatkan Komnas HAM dan lembaga-lembaga terkait lain dalam proses perencanaan pembangunan nasional.

Sandra Moniaga, komisioner Komnas HAM mengatakan, akan mengirimkan resmi laporan ini ke KP3EI dan berharap ada dialog lanjutan. “Penelitian ini juga harus sampai ke para pihak yang lebih tinggi, baik menteri maupun para capres,” katanya.

Menurut dia, studi ini semestinya jadi dasar-dasar pengembangan  dasar HAM di Indonesia. “Penting pengarusutamaan HAM dalam kebijakan di Indonesia.”

Namun, kalaupun nanti sudah ada kebijakan HAM, bukan berarti masalah HAM masa lalu tak diselesaikan. “Ini termasuk perampasan tanah-tanah rakyat harus diselesaikan terlebih dahulu untuk menyelenggarakan pembangunan berbasis HAM.” (Bagian 1 dari dua tulisan).

Selongsong peluru tajam yang ditemukan warga di lokasi kejadian di Desa Roban, Batang, pada September 2012. Foto: Tommy Apriando
Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,