Indonesia Berpotensi Rugi 44 Triliun USD Akibat Bencana Perubahan Iklim

Pemerintahan  Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berhasil membawa Indonesia menjadi salah satu dari sepuluh negara ekonomi besar di dunia, dengan tingkat pertumbuhan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) yang mencapai 6 persen per tahun.

Akan tetapi, pertumbuhan tersebut bisa menghilang begitu saja akibat dampak perubahan iklim. Maplecroft, sebuah firma konsultan strategis dan risiko global berdasarkan hasil kajian tahun keenamnya memprediksi pada tahun 2025, kota–kota di Indonesia akan mengalami ancaman kerugian akibat bencana iklim. Nilai kerugian tersebut ditaksir mencapai 44 triliun Dolar Amerika per tahun.

Kajian lain yang dilakukan oleh Asian Development Bank (ADB), memprediksi perubahan iklim akan mengakibatkan Indonesia dan tiga negara Asia Tenggara lainnya (Filipina, Thailand dan Vietnam) mengalami kerugian sebesar 6,7persen dari PDB per tahun, dan memerlukan biaya sebesar 1-2 persen PDB untuk menanggulangi dampak tersebut.

Laporan kelima dari Intergovernmental Panel of Climate Change (2013) menyebutkan bahwa upaya-upaya secara signifikan dibutuhkan untuk meningkatkan pengurangan emisi lebih besar guna menghindari bencana yang lebih buruk.

Oleh karena itu, Indonesia Climate Alliance (ICA) mendesak Presiden terpilih nantinya harus memastikan bahwa pembangunan Indonesia ke depan harus berbasis pada pembangunan yang berketahanan iklim, dengan mengintegrasikan isu penanggulangan bencana dan dampak perubahan iklim dalam sistem pemerintahan dan ketatanegaraan.

“Pembangunan berketahanan iklim merupakan pembangunan yang sudha mengakomodasi lingkungan dan perubahan iklim. Ketika pembangunan infrastruktur memiliki pertimbangan perubahan iklim dan ketika penggunaan energi sudah efisien, maka pembangunan sudah rendah karbon. Maka biaya penanganan akibat dampak perubahan iklim akan lebih sedikit,” kata perwakilan ICA, Ari Muhammad yang ditemui di Jakarta, Selasa (08/07/2014).

Sebagai langkah awal, penyusunan Undang-undang mengenai Perubahan Iklim harus diagendakan dan dibahas oleh pemerintahan Presiden terpilih nanti.

ICA juga mendesak Presiden terpilih harus memastikan model pembangunan Indonesia ke depan memenuhi prinsip me-manusia-kan manusia dengan menyediakan kebutuhan dasar layak. Contohnya akses air bersih, perumahan yang layak, sanitasi dan listrik, memastikan ketersediaan fasilitas publik dan sosial sebagai ruang publik untuk berinteraksi dan berekspresi, menjamin keamanan dan kenyamanan warga, serta  mendukung peningkatan fungsi ekonomi dan sosial yang melahirkan budaya berkota yang dinamis.

Presiden terpilih harus memimpin kabinetnya untuk merumuskan respon terhadap tantangan mutakhir yang dihadapi Indonesia, dengan menjadikan berbagai komitmen, capaian, dan keberhasilan negosiasi di forum – forum terkait perubahan iklim sebagai modalitas pembangunan Indonesia yang berketahanan iklim.

Ari yang juga Sekretaris Pokja Adapatasi Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) mengatakan penilaian cepat ICA atas visi dan misi Capres – Cawapres yang bertarung dalam kontestasi politik 2014 belum menunjukkan komitmen yang tegas untuk membangun Indonesia yang berketahanan iklim. Kedua kandidat secara ambisius menargetkan pertumbuhan ekonomi mencapai 7 persen per tahun namun tidak mengemukakan analisis risiko dampak perubahan iklim atas upaya akselerasi ekonomi yang ambisius tersebut.

”Berdasarkan penelitian–penelitian yang dilakukan oleh anggota ICA   kerusakan lingkungan telah memperparah dampak perubahan iklim yang dirasakan masyarakat menengah ke bawah,” lanjut Ari. Sebagai contoh Kota Jakarta pada banjir tahun 2002 menderita kerugian Rp 1,51 triliun, kemudian meningkat hingga Rp 2 triliun pada tahun 2007.

Data-data statistik Indonesia juga menunjukkan pesatnya laju urbanisasi selama tiga dekade terakhir, dengan 52% penduduk Indonesia tinggal di wilayah urban pada tahun 2010. Pada tahun 2025, angka ini diperkirakan melonjak mencapai 65 persen.

ICA adalah jejaring nasional untuk membangun Indonesia yang berketahanan iklim. ICA didirikan pada tahun 2010 dan terdiri atas elemen pemerintah, akademisi, para praktisi dan mitra pembangunan. ICA ditujukan untuk menjadi think tank partne bagi Indonesia dan mitra internasional dalam isu perubahan iklim. Badan Pengurus Transisi ICA terdiri atas APEKSI (Asosiasi Pemerintah Daerah Seluruh Indonesia) , ICLEI Indonesia, DNPI, Mercy Corps Indonesia (ACCCRN), Burung Indonesia, IESR, CCROM-SEAP IPB dan Yayasan Kehati.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,