PLTU Batang tertunda lagi, Greenpeace dan warga harap segera dibatalkan

Roidi warga penolak Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batang dari Desa Karanggeneng, Kecamatan Kandeman, senang mendengar kabar bahwa pembangunan salah satu dari mega proyek yang diklaim sebagai PLTU terbesar se-Asia Tenggara akhirnya ditunda kembali oleh PT. Bhimasena Power Indonesia (BPI).

“Kami senang mendengarnya, namun harapan kami tetap tegas menolak PLTU Batang dan segera dibatalkan pembangunannya,” kata Roidi kepada Mongabay.

Penundaan ini adalah yang ketiga kalinya, setelah tahun 2011 dan 2013. Roidi menambahkan, sejak adanya rencana pembangunan PLTU Batang, warga dibeberapa desa yang menolak pembangunan PLTU merasa terancam dan hidup dalam keresahan. Di intimidasi, diteror, kriminalisasi, ditembaki polisi, dipukuli bahkan lahan-lahan pertanian juga terancam hilang karena ada pemaksaan agar dibeli oleh BPI.

Saat ini masih banyak calo-calo tanah yang menawarkan membeli tanah kepada warga yang menolak lahannya dijual.  Dua warga yaitu Carman dan Cahyadi saat ini dipenjara dengan alasan yang yang dicari-cari oleh warga yang pro pembanguan PLTU, dan saat ini berada di Lapas Rowobelang, Batang.

“Sejauh ini kami melihat pihak BPI sudah menyerah, artinya tinggal keputusan pemerintah pusat untuk melanjutkan atau tidaknya. Semoga PLTU Batang dibatalkan sehingga warga bisa tenang menjalani aktivitas kehidupan sehari-hari,” tambah Roidi.

Dalam siaran persnya, BPI menjelaskan bahwa pihaknya terpaksa mengumumkan keadaan “force majeure” dikarenakan sebagai kecil pemilik lahan yang tersisa tetap bersikeras dan secara tidak masuk akal menolak menjual lahannya tanpa alasan yang jelas dan wajar.

Selain itu, BPI menambahkan bahwa pihak perusahaan akan tetap berupaya se-maksimal mungkin untuk menyelesaikan komitmen pembebasan lahan untuk kemudian dibangun oleh kontraktor EPC (Engineering, Procurement, and Construction), dan segera dilaksanakan pembangunan PLTU sehingga listriknya dapat dipasok kepada PLN. Oleh karenanya, untuk menghindari konflik sosial yang berkepanjangan, BPI meminta bantuan Pemerintah karena kondisi saat ini sudah berada diluar kemampuan swasta untuk menyelesaikan.

Devindra Ratzarwin selaku sekretaris perusahaan PT Adaro Energy Tbk, seperti dikutip dari energytoday.com mengatakan, “dengan pendampingan dari pemerintah pusat dan daerah kami berharap penundaan proyek ini bisa cepat dilanjutkan demi kepentingan masyarakat di Jawa Tengah. Khususnya dan demi menjaga iklim usaha yang positif secara nasional,” ujar Devindra, Senin (07/07).

Peta PLTU Batang, Jawa Tengah
Peta PLTU Batang, Jawa Tengah

BPI  yang 34 persen sahamnya dimiliki oleh PT Adaro Power (Adaro) yang merupakan anak perusahaan dari PT Adaro Energy Tbk, mengumumkan penundaan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap Jawa Tengah. Setelah sebelumnya perseroan mengirimkan surat kepada pemangku kepentingan terkait, khususnya PLN dan kepada kontraktor EPC.

Pemerintah Pusat, melalui Menteri Koordinator Perekonomian Chairul Tanjung, sebelumnya sudah mengatakan akan berkoordinasi dengan pemerintah daerah propinsi dan kabupaten untuk menyelesaikan masalah pembebasan lahan. Hal ini mengingat proyek PLTU di Jawa Tengah yang bernilai USD4 milyar atau sekitar Rp46,42 triliun ini sangat strategis untuk memenuhi dan mengantisipasi kekurangan kebutuhan listrik rumah tangga dan industri di Jawa Tengah.

Proyek ini adalah hasil dari kerjasama Pemerintah dan Swasta yang dimulai pada tanggal 6 Oktober 2011 dimana BPI mengumumkan penandatanganan kontrak pembelian listrik jangka panjang antara konsorsium BPI dengan PLN. Perjanjian tersebut (Long Term Power Purchase Agreement – PPA) menyatakan bahwa BPI akan membangun PLTU Jateng dengan kapasitas 2,000 MW untuk memenuhi kebutuhan pasokan listrik PLN selama 25 tahun ke depan. PLTU Jateng ini dibangun di atas lahan seluas 226 hektar dimana BPI sudah membebaskan 197 hektar lahan atau 85% dari seluruh lahan yang dibutuhkan.

Menanggapi terkait penundaan PLTU Batang untuk ketiga kalinya, Arif Fiyanto, juru kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia kepada Mongabay mengatakan, alasan Adaro yang mengatakan bahwa warga alasan warga yang menolak melepas lahan mereka tanpa alasan yang jelas, wajar dan tidak masuk akal adalah suatu hal yang salah. Warga mempertahankan lahan mereka karena lahan tersebut sebagai ruang hidup dan tempat mereka memenuhi kebutuhan hidup yakni bertani, berkebun, dan beternak.

Jika kemudian BPI meminta bantuan pemerintah untuk membebaskan lahan itu artinya bisa jadi BPI tidak sungguh-sungguh dalam melakukan kerja sama pembangunan PLTU Batang. Jika kita mau lihat kebelakang mulai dari persetujuan AMDAL yang kilat, represi yang dilakukan oleh polisi dan TNI selama ini, kriminalisasi tujuh warga Batang, bahkan ancaman yang terus dirasakan warga sampai saat ini seharusnya sudah menjadi bukti pemerintah sudah mendukung pihak BPI.

“Adanya penundaan lagi ini artinya jika sampai Oktober 2014 nanti tidak kunjung dilakukan pembangunan PLTU Batang, maka seharusnya bagian dari proyek MP3EI ini harus batal,” kata Arif Fiyanto.

Arif menambahkan, ditahun politik ini siapapun pemimpin (presiden dan wakil presiden) kedepannya harus mematuhi peraturan dan kesepakatan bahwa tenggat watktu untuk financial closing pada 6 Oktober 2014. Artinya jika sampai tenggat waktu yang disepakati perusahaan tidak bisa atau gagal melakukan pembebasan lahan dan tidak kunjung dilakukan pembangunan PLTU Batang maka otomatis proyek PLTU Batang harus dibatalkan.

Penundaan ini bukanlah solusi, sudah bertahun-tahun ditunda. Jika alasannya krisis listrik, pemerintah bisa menggunakan energi terbarukan untuk kedepannya, sehingga krisis energi yang ditakutkan pemerintah tidak akan terjadi.

“Krisis energi itu hanya semacam propaganda pemerintah saja, bahwa jika PLTU Batang tidak bangun maka akan ada krisis energi ditahun 2018. Itu hanya justifikasi pemerintah semata. Kan banyak solusi dengan energi terbarukan, dari pada PLTU yang bersumber dari energi fosil (batubara),” tambah Arif.

Fakta-Fakta seputar PLTU Batang

Greepeace Indonesia punya data dan fakta-fakta terkait PLTU Batang. Arif Fiyanto dari Greenpeace Indonesia memaparkan, PLTU Batubara Batang  diklaim akan menjadi PLTU Terbesar di Asia Tenggara dengan kapasitas 2000 Megawatt. Pemerintah menunjuk PT. Bhimasena Power Indonesia sebagai pihak yang akan membangun PLTU Batang. PT. BPI merupakan konsorsium yang terdiri dari 3 perusahaan, antara lain PT. Adaro Power, J-Power, Itochu Corp.

Denah PLTU Batang
Denah PLTU Batang

Proyek raksasa ini akan dibangun di  lahan seluas 226 hektare, memangsa lahan pertanian produktif, sawah beririgasi teknis seluas 124,5 hektar dan perkebunan melati seluas 20 hektar, serta sawah tadah hujan. PLTU ini akan dibangun di Kawasan Konservasi Laut Daerah Ujungnegoro-Roban, Kabupaten Batang. Salah satu perairan paling kaya ikan di pantai utara Jawa.

Batubara adalah bahan bakar fosil terkotor di dunia, mengemisi 29 persen lebih banyak karbon per unit energi dibandingkan minyak, dan 80 persen lebih banyak dari gas. Secara global batubara berkontribusi  terhadap lebih dari 65 persen emisi karbondioksida penyebab terbesar perubahan iklim.

PLTU Batubara adalah salah satu penyebab terbesar polusi udara di berbagai negara termasuk Indonesia. PLTU Batubara melepaskan polutan-polutan yang sangat berbahaya bagi lingkungan dan kesehatan manusia. Polutan Berbahaya yang dilepaskan dari pembakaran batubara di PLTU antara lain SO2, NO, CO, PM 2.5, Mercury, Arsenic, Lead dan lainnya.

Polutan-polutan berbahaya yang dilepaskan PLTU Batubara menyebabkan masalah kesehatan berat bagi warga yang tinggal di sekitar PLTU. SOx, NOx, PM 2.5 menyebabkan berbagai penyakit terkait pernapasan, mulai dari asthma akut, bronchitis, sampai radang paru-paru hitam. Mercury adalah logam berat sangat berbahaya, menyebabkan kerusakan otak berat pada janin, kelainan mental,dan pemicu kanker.

PLTU Batang mengklaim akan menggunakan teknologi USC (Ultra Super Critical). Menurut perhitungan Greenpeace, jika tetap dipaksakan dibangun maka PLTU Batang akan melepaskan emisi karbon sebesar 10,8 Juta ton pertahun. PLTU Batang akan melepaskan Sox sebesar 16200 ton pertahun, Nox sebesar 20200 pertahun, PM 2.5 sebesar 610 ton pertahun. PLTU Batang juga akan melepaskan emisi mercury sekitar 220 kilogram pertahun.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,