Nasib Pengunduh Ditengah Turunnya Jumlah Madu Hutan Alam

Menipisnya kawasan hutan bukan hanya berpengaruh terhadap perubahan iklim tetapi juga turunnya mata pencarian masyarakat. Suatu persoalan yang dirasakan oleh pengunduh (pemburu) madu hutan yang berada di desa Atap, Kecamatan Sembakung, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara.  Pohon tempat berkoloninya lebah liar (Apis dorsata) satu persatu mulai berkurang, ditebang oleh para oknum tak bertanggung jawab, termasuk untuk dibuka menjadi perkebunan sawit dan tambang batubara.

Menurut salah satu ketua kelompok pengunduh madu hutan, Ramsyah, sejak beberapa tahun terakhir pendapatannya sebagai pemburu madu alam mulai menurun. Hal ini tidak terlepas dari hilangnya pohon keramat tempat koloni lebah seperti menggaris, matodon, kalajumi dan bicak akibat ditebang.

“Dulu berburu madu menjadi penghasilan utama kita karena bisa setiap minggu kita dapat memanennya, tetapi sekarang menjadi mata pencaharian sampingan karena susah untuk mencarinya,” ujar Ramsyah. Ia mengaku jika hasil panen madu semakin sulit dengan dibandingkan dengan 10 tahun yang lalu.

Kondisi ini membuat dirinya dan anggota kelompoknya terpaksa mencari penghasilan lain, yaitu dengan menangkap ikan maupun udang galah di sungai, bahkan terkadang menjadi buruh panjat pohon buah-buahan seperti elay, durian, rambutan dan kelapa saat musim buah tiba. Selain itu, ada pula yang menanam sayur mayur di kebun untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Di Kecamatan Sembakung, tempat Ramsyah dan kelompoknya tinggal, terdapat sekitar 30 kelompok pengunduh madu hutan yang dalam sekali musim panen dapat mengumpulkan hingga total 250 liter madu alam. Di desa Atap sendiri, masyarakat mengenal dua musim panen madu yaitu pada bulan Februari hingga April dan Oktober hingga Desember. Untuk setiap musim panen satu kelompok pemburu madu yang terdiri dari dua sampai empat orang mampu mendapatkan tujuh sampai 12 liter madu sekali panjat atau sekali memanen. Untuk setiap madu yang telah dimasukkan botol sirup mereka menjual antara 80-90 ribu rupiah, yang meningkat di tangan pengepul lokal hingga 125 ribu rupiah.

Di Sembakung para pemburu madu memanen pada malam hari untuk menghindari ribuan lebah yang terusik saat akan diambil madunya. Mereka menggunakan peralatan seperti tangga rotan, obor sabut kelapa dan daun kelapa kering, tali dan ember untuk menurunkan sarang lebah, jerigen untuk tempat madu serta senter sebagai alat penerangan.

Sebelumnya pada saat siang hari, mereka memasang tangga rotan dengan cara memasang tali ke ujung anak panah, setelah ditembakan ke cabang pohon yang diinginkan tali selanjutnya diikatkan ke tangga rotan untuk ditarik keatas sesuai ketinggian pohon diantara 50-70 meter. Saat senja barulah pemburu mulai beraksi. Pertama obor yang terbuat dari sabut kelapa dibakar, setelah menyala pemanjat naik ke tangga untuk mengusir lebah. Saat malam hari bara api dari sabut kelapa akan berfungsi untuk mengusik sarang yang terusik oleh asap.

Setelah dirasa aman, barulah pemanjat mengiris sarang lebah yang melekat pada batang pohon dan diturunkan secara perlahan dengan menggunakan ember dan tali. Setelah sampai bawah giliran anggota lain yang langsung memeras madu dengan menggunakan tangan. Sisa perasan sarang lebah masih bisa dimanfaatkan, yaitu untuk bahan dasar pebuatan lilin penerangan yang dijual ke pengepul dengan harga 30 ribu rupiah perkilonya.

Foto: Ali Mustofa
Ramsyah sedang menunjukkan hasil madu alam yang baru ia peras. Foto: Ali Mustofa

Diupayakan Untuk Mulai Beralih ke Budidaya Lebah Madu

Redupnya kejayaan pemburu madu alam di Sembakung membuat pihak kecamatan Sembakung memeras otak untuk melindungi mata pencarian masyarakat. Salah satunya dengan mendorong upaya pembudidayaan lebah seperti yang telah dilakukan oleh para kelompok tani lain di berbagai daerah.

“Kami harapkan para pemburu madu tidak hanya menggantungkan lebah yang di alam tetapi bagaimana mereka dapat mandiri dengan berternak lebah madu tanpa harus lagi memanjat pohon yang cukup tinggi dan penuh resiko,” jelas Abdul Rahman, Sekcam Sembakung.  “Termasuk kami terbitkan juga surat hak kepemilikan empat jenis pohon yang dikeramatkan bagi masyarakat sekitar,” lanjutnya.

Meskipun terus mendorong budidaya lebah madu, namun pihak kecamatan tetap berupaya untuk menjaga kelestarian pohon keramat sebagai bagian dari kearifan lokal turun-temurun masyarakat. Setelah pohon mendapatkan surat hak kepemilikan, jika pohon tersebut ditebang pihak lain, sang pemilik  dapat melaporkan ke kecamatan untuk mendapat ganti rugi dari pihak yang menebang.

Menjawab program kecamatan, salah satu pihak yang merespon pengembangan budidaya lebah madu adalah Pertamina lewat program Corporate Social Responsibility (CSR)-nya.  Menurut Hesty, Humas Asset-5 Tarakan yang membawahi blok Sembakung, menyebutkan pihaknya bersedia memberikan pembinaan lewat fasilitasi perwakilan kelompok.

“Kami akan coba menginventarisasi kelompok pemburu madu hutan untuk diajak studi banding ke Lembang Jabar yang sudah maju budidaya lebah madunya. Sebagai langkah awal, kami belum dapat membawa semuanya, tetapi bila nantinya memiliki prospek yang bagus tidak menutup kemungkinan akan kita lakukan studi banding tahap kedua,” jelas Hesty sembari menyebutkan bahwa madu alam Sembakung memiliki potensi kualitas yang baik untuk dikembangkan.

Selain itu, pihaknya berjanji untuk membantu peningkatan harga jual madu melalui pemberian label terhadap madu yang dijual dalam botol dan membantu pengemasan yang lebih baik. Termasuk akan mempromosikan madu hutan Sembakung dalam berbagai pameran.

Artikel yang diterbitkan oleh
, ,