,

Melihat Jejak Kehancuran Hutan Seblat Tempat Hidup si Bona (Bagian 1)

Tulisan ini adalah feature pertama dari dua bagian tulisan, bercerita tentang ancaman keberadaan habitat satwa tersisa di Seblat, Bengkulu Utara.  Keberadaan satwa endemik seperti gajah, harimau, badak, tapir, beruang madu yang merupakan spesies khas terancam akibat pembukaan area bagi berbagai keperluan seperti sawit, batubara hingga area transmigrasi.  Deskripsi cerita ini merupakan paparan contoh terjadinya konversi hutan alam yang terhubung dengan kepentingan politik tata ruang wilayah.

Matahari tepat berada di atas kepala. Bona (3) mendinginkan tubuhnya di tepi Sungai Air Seblat yang dangkal dan tepiannya mengalami abrasi. Sekitar 20 meter darinya, Aswita mengawasinya. Tidak jauh dari mereka, tiga lelaki mencari ikan dengan tombak. Bona dan Aswita tidak merasa terganggu. Bona menoleh, setelah salah satu dari mereka memanggil, “Bona!”

***

Bona dan Aswita dua dari 20 gajah yang menetap di kamp Pusat Pelatihan Gajah (PLG) Seblat, Bengkulu. PLG Seblat sejak akhir 2012 menjadi Taman Wisata Alam (TWA) PKG Seblat, dengan luasan 7.737 hektar.

Bona cukup dikenal, bukan hanya warga di sekitarnya,  juga masyarakat pecinta gajah international. Bona merupakan anak gajah liar yang diurus PLG Seblat sejak 2011, saat berusia enam bulan.

Awalnya Bona ditemukan terlunta-lunta selama 15 hari tanpa ditemani gajah dewasa di perkebunan milik PT Alno Agro Utama. Perkebunan sawit ini berbatasan PLG Seblat. Bona menderita malnutrisi.

Dia mendapatkan perawatan Erni Suyanti Musabine, dokter hewan khusus satwa liar, yang saat itu menjabat Koordinator PLG Seblat, bersama para relawan yang merupakan warga sekitar, yang sebagian besar transmigran.

Sementara ibunya, diperkirakan mati bersama enam gajah lainnya. Kematian ketujuh gajah itu diduga memakan pupuk dari bibit sawit yang ditanam perusahaan tersebut.

Bona menjadi terkenal setelah dilakukan gerakan penggalangan dana “Save Bona the Elephant” di facebook dan website www.savebona.com. Gerakan yang dipelopori Murray Munro dari Australian Zoo, akhirnya dalam waktu dua bulan, mampu mengumpulkan dana buat membeli susu bernutrisi tinggi untuk Bona selama dua tahun.

Pada 2012, Murray Munro, bersama dua temannya Mandy French dan Bruce Levick, memberikan susu ke Bona selama 20 hari di PLG Seblat.

Saat ini sekitar 800 hektar luasan kebun sawit  yang dikelola sekitar 250 kepala keluarga di Dusun Air Kuro. Dusun Air Kuro merupakan habitat gajah di PLG Sebelat. Foto: Taufik Wijaya
Saat ini  sekitar sekitar 800 hektar kebun sawit dikelola sekitar 250 kepala keluarga di Dusun Air Kuro. Dusun Air Kuro merupakan habitat gajah di PLG Seblat. Foto: Taufik Wijaya

“Senang nian Bona sekarang sudah sehat. Tapi kami sekarang tidak tahu bagaimana masa depan Bona. Sebab kondisi PLG Seblat ini kian terancam,” kata Sugeng (21), seorang relawan yang turut merawat Bona sejak kali pertama ditemukan.

Mendengar perkataan itu, Bona menatap wajah Sugeng. Dia seakan tahu apa yang dirasakan dan dipikirkan pemuda yang tinggal di Desa Suka Baru. Suka Baru berada tepat di seberang PLG Seblat. Bona dan Sugeng dipisahkan Sungai Air Seblat dan perkebunan sawit milik warga.

“PLG Seblat ini selain dikepung perkebunan sawit, kini pertambangan batubara mengancam,” ujar Sugeng dengan mata berkaca-kaca.

Saat ini, dari ratusan gajah yang hidup di Sebelat, sekitar 20 gajah dilatih di PLG Seblat. Ke-20 gajah itu, yang betina bernama Bona, Aswita, Darmi, Sari, Anggraeni, Desi, Fatma, Mega, Devi, Gara, Ninda, Natasya, Tria, Shinta, dan Eva. Sementara yang jantan bernama Nelson, Cokro, Haris, Dino, dan Robi.

***

Minggu (15/6/2014) sekitar pukul 02.00 dini hari, saya sampai di lokasi penyeberangan menuju PLG Seblat di Desa Suka Maju, Kecamatan Putri Hijau, Kabupaten Bengkulu Utara, Bengkulu. Perjalanan menuju PLG Seblat dari Simpang Pasar Seblat menuju lokasi tidaklah begitu nyaman. Saya harus melalui jalan yang kondisinya sangat buruk sepanjang 20 kilometer. Jalan itu berlubang dan berdebu.

Saya pun sempat terdiam, menyaksikan ribuan pohon kelapa sawit di kanan-kiri jalan di bawah sinar rembulan dan sorot lampu mobil yang membawa kami.

“Perkebunan sawit ini usianya berkisar 10-15 tahun. Pohon sawit milik warga,” kata Delvi Indriadi dari Walhi yang menemani saya.

Saat mendekat lokasi PLG Seblat, saya kian gusar, selain jalan yang terus berlubang, juga lokasi begitu gelap karena sinar rembulan tertutup oleh rapatnya pohonan sawit. Saat Delvi tertidur, kendaraan kami sempat tersesat, masuk ke lokasi pengumpulan batu koral milik sebuah perusahaan di tepi Sungai Air Seblat. Tidak ada petunjuk arah ke lokasi PLG Seblat.

Saya merasa lega mendapatkan sebuah pohon kalpataru yang cukup rimbun di tempat penyeberangan ke PLG Seblat. “Saya kira tidak ada tanaman lain di sini, selain sawit,” kata saya kepada Delvi.

Malam itu kami tidak dapat menyeberang, selain kondisi gelap, juga tidak ada perahu buat menyeberang. Sementara jembatan gantung tinggal kerangkanya. Berdiri, seakan memimpin ribuan pohon kelapa sawit yang tidak jauh darinya, menantang PLG Seblat yang tampak begitu gelap. Kami pun bermalam di rumah Anang, warga Desa Suka Baru, seorang relawan PLG Seblat.

 

Memandang Putri Hijau yang menjadi perkebunan sawit dan batubara. Foto: Taufik Wijaya
Memandang Putri Hijau yang menjadi perkebunan sawit dan batubara. Foto: Taufik Wijaya

Serangan Sawit di Seblat

Seusai keluarnya UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, Marga Seblat yang menetap di sebelah utara Bengkulu atau sebelah barat Bukit Barisan membentuk sebuah kecamatan. Pada tahun 1975, Buktin Dian selaku Pasirah Marga Seblat memimpin pembentukan pemerintahan daerah tersebut.

Saat berkunjung ke Gunung Husin yang terletak di Lebong Kandis, Buktin Dian terkagum saat melihat ke bawah, wilayah Marga Seblat yang dipimpinnya, berupa hamparan hutan hijau yang luas. Dia pun mengibaratkan hamparan hutan berbukit itu sebagai seorang putri yang belum tersentuh lelaki. Yang masih hijau atau perawan.

Dia pun mengusulkan nama pengganti Marga Seblat menjadi Kecamatan Bukit Putri Hijau. Tapi berdasarkan SK Menteri Dalam Negeri Nomor 138/4658/PUOD tanggal 21 November 1991 nama kecamatan ditulis Putri Hijau bukan Bukit Putri Hijau.

Tidak jelas penghilangan nama “bukit” itu. Tetapi, kata Delvi, penghilangan nama tersebut mungkin sebagai upaya untuk menghilangkan kesan jika daerah tersebut merupakan wilayah rimba, bukitan yang dipenuhi pepohonan.

Sebab sejak tahun 1974, sebagian kawasan tersebut dijadikan Hak Pengusahan Hutan (HPH). Misalnya lokasi PLG Seblat yang sebelumnya merupakan wilayah HPH yang dipegang PT Maju Jaya Raya Timber. Perusahaan ini mengantongi izin Keputusan Menteri Pertanian Nomo: 422/Kpts/Um/8/1974. Kawasan ini menjadi blok tebangan pada 1989-1990.

Dengan politik kependudukan, Putri Hijau tidak langsung menjadi kecamatan. Penduduknya hanya 800 kepala keluarga. Maka, pemerintah Kabupaten Bengkulu Utara yang saat itu dipimpin Burhan Dahri, mengusulkan adanya program transmigrasi ke pemerintah pusat.

Pada 1981-1982 datanglah rombongan transmigrasi dari Jawa. Para transmigran ini menetap di sejumlah desa, seperti Desa Karang Pulau, Desa Air Petai, Desa Karang Tengah, Desa Air Muring. Berkembang pula di Desa Karya Pelita, Desa Suka Makmur, Desa Air Putih, Desa Cipta Mulya, Desa Air Pandan. Hingga akhirnya transmigran yang menetap di Desa Suka Maju dan Suka Baru.

Awalnya, kerusakan hutan di Putri Hijau tidak begitu parah. Sebab para transmigran membuka hutan perkebunan palawija. Bersamaan itu munculah perusahaan perkebunan sawit, yakni PT Agricinal. Akibatnya para transmigrasi yang sebelumnya menanam palawija, beransur menanam kelapa sawit. Mereka ikut program PIR (Perkebunan Inti Rakyat) kelapa sawit.

Klik pada tabel untuk memperbesar. Diolah dari berbagai sumber dan data
Klik pada tabel untuk memperbesar. Diolah dari berbagai sumber data.

“Perkebunan sawit ini merupakan awal kehancuran hutan Seblat yang masuk wilayah Kecamatan Putri Hijau,” kata Delvi. “Saat itu banyak terjadi konflik antara masyarakat dengan satwa liar di hutan Seblat, seperti gajah, harimau, dan badak,” katanya.

Puncak konflik, saat kehadiran 200 kepala keluarga transmigran di dekat Desa Suka Merindu, Kecamatan Putri Hijau pada 1992. Para transmigran yang menetap di wilayah yang kemudian dinamakan Desa Suka Maju dan Suka Baru, hampir setiap hari dikunjungi beruang madu atau harimau.

“Beruang madu sering masuk ke desa. Bahkan karena diganggu, seekor beruang madu menyerang seorang penduduk hingga terluka. Beruang madu itu pun mati dibunuh warga secara beramai-ramai. Itu kenangan yang menyedihkan bagi saya hingga saat ini,” sebut Anang.

Akibat konflik tersebut, Menteri Kehutanan pada 8 Desember 1995 menetapkan kawasan konservasi dengan fungsi khusus Pusat Latihan Gajah (PLG) Seblat seluas 6.865 hektar dengan SK Menhut No.658/Kpts-II/1995 di Lebong Kandis. Lokasi ini bekas HPH yang dipegang PT Maju Jaya Raya Timber.

Peta Kawasan Hutan di Bengkulu. Klik pada gambar untuk memperbesar peta. Sumber: Dinas Kehutanan Propinsi Bengkulu

Keberadaan PLG  Seblat menjadi benteng terakhir keberadaan gajah, harimau, tapir dan beruang madu. Sebab PLG Seblat dikepung perkebunan sawit. Di sebelah utara dan timur dibatasi perkebunan sawit milik PT Alno Agro Utama seluas 12.283 hektar dan perkebunan sawit milik warga di Dusun Pulau. Di sebelah barat dibatasi perkebunan sawit PT Mitra Puding Mas seluas 4.323 hektar dan PT Agricinal seluas 8.902 hektar.

Berdasarkan cerita di masyarakat, lokasi yang dijadikan PLG Seblat, sebelum dijadikan lokasi HPH dikenal sebagai “kampung sirap”. Artinya di lokasi tersebut hidup satu kelompok masyarakat bersama rumah, hewan ternak dan kebunnya, yang tidak dapat dilihat manusia. Hanya orang tertentu yang dapat melihatnya.

“Keberadaan marga atau suku-bangsa yang hidup di Bukit Barisan, mereka selama ini turut menjaga berbagai peninggalan sejarah. Biasanya mereka akan membangun legenda atau cerita agar wilayah tersebut terjaga,” kata Nurhadi. “Memang saat ini belum banyak dilakukan penelitian di Sebelat. Tapi itu bukan berarti tidak ada,” tegasnya.

Dapat dikatakan wilayah Seblat, khususnya wilayah Putri Hijau, mulai disentuh manusia menjadi pemukiman setelah adanya transmigran, yang disusul keberadaan berbagai perkebunan sawit dan lainnya, milik perusahaan maupun masyarakat transmigran.

Oleh karena itu, tidak ada masyarakat setempat yang mau membuka kebun maupun menetap di lokasi tersebut. Bahkan, tak jauh dari lokasi kamp PLG Seblat, terdapat makam tua, yang diyakini masyarakat sebagai makam “Bujang Juaro”. Bujang Juaro merupakan seorang bandit judi yang tidak pernah kalah. Tokoh Bujang Juaro dikenal oleh semua masyarakat yang hidup di sepanjang Bukitbarisan.

Menurut penuturan Kepala Balai Arkeologi Palembang Nurhadi Rangkuti, wilayah TNKS merupakan wilayah yang banyak ditemukan peninggalan artefak dari masa prasejarah. Di masa lalu, wilayah ini merupakan sebaran masyarakat dari marga di Bukitbarisan, seperti Rejang, Seblat, Semende, dan lainnya, yang masuk dalam rumpun Melayu.

***

Berdasarkan data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Bengkulu. Bengkulu memiliki luas daratan 2.007.223,9 hektar. Berdasarkan SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan No.420/Kpts-II/1999, luas wilayah hutannya mencapai 920.964 hektar.  Sekitar 217.175 hektar merupakan hutan yang dapat diproduksi atau sekitar 703.338 hektar merupakan hutan yang harus dijaga baik sebagai hutan lindung (HL), taman nasional, cagar alam, taman wisata alam, atau taman hutan raya.

Misalnya berdasarkan SK 643/Menhut-II/2011 kawasan hutan menjadi bukan hutan seluas 2.192 hektar, perubahan antar fungsi kawasan hutan seluas 31.013 hektar, dan penunjukan bukan kawasan hutan menjadi kawasan hutan seluas 101 hektar. Salah satu perubahan itu dialami PLG Seblat, dari hutan produksi dengan fungsi khusus menjadi Taman Wisata Alam.

Lahan sawit (di kejauhan) mengganti hutan, area habitat satwa di Air Kuro Foto: Taufik Wijaya
Lahan sawit (di kejauhan) mengganti hutan, area habitat satwa di Air Kuro Foto: Taufik Wijaya

Dari luasan tersebut, lahan yang dipergunakan untuk perkantoran dan pemukiman 800 ribu hektar. Sedangkan lebih kurang 471.175 ribu hektar dijadikan perkebunan dan pertambangan. Perkebunan sawit dan karet mencapai 208.546 hektar, pertambangan batubara 99.305,78 hektar, pertambangan pasir besi 156.112,76 hektar, pertambangan emas 6.991 hektar, pertambangan batuan 184 hektar.

Dengan angka tersebut, Walhi Bengkulu menemukan hutan yang rusak atau alihfungsi seluas 74.513 hektar.

Kerusakan atau alihfungsi hutan seluas 74.513 itu diduga berada di kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), baik yang masuk ke wilayah Bengkulu Utara, Lebong, Rejang Lebong dan Mukomuko. Kemudian cagar alam di Pasar Seluma dan Pasar Talo.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,