Menjaga Kampung Tembawang Lewat Ritual Babantan

Suasana perlahan mengambang ke arah takzim ketika seorang boren (dukun) memasuki altar adat. Lelaki paruh baya itu segera mengambil posisi bersila. Mulutnya komat-kamit, menjura babaca basangkata. Mantera itu dialamatkan kepada para roh agar datang dan menikmati sesajen yang dipersembahkan warga. Lalu, sang dukun bangkit dan menari mengikuti tetabuhan gong gamal.

Mandau pun terhunus. Seekor babi dijadikan persembahan di bantaran sungai. Dukun memimpin ritual mandi bersama di sungai dengan kondisi air bercampur darah hewan ternak. Orang-orang bergerak beriringan menceburkan diri ke sungai. Begitulah rangkaian upacara Babantan di Kabupaten Ketapang, Kalbar.

Babantan adalah ritual tahunan masyarakat adat Dayak untuk membersihkan kampung tembawang dari segala gangguan, penyakit, dan bencana. Rangkaian ritual itu diakhiri dengan penjelasan dukun tentang hal-hal yang pantang dilakukan warga setelah ritual dihelat. Di antaranya, menebas dan menebang pepohonan.

Sejumlah pihak mengakui, ritual ini sudah ada sejak ratusan tahun lalu dan sama usianya dengan kampung tembawang. Perkampungan dengan model agroforestry ini lahir atas kesadaran masyarakat bahwa hutan adalah nafas hidup warga. Ia merupakan wujud penghargaan warga terhadap lingkungan sekitar.

Babantan adalah upacara adat untuk menjaga kampung tembawang dari berbagai ancaman. Babantan sama dengan berpantang merusak hutan. Ini wujud nyata warga hidup berdampingan dengan hutan. Ritual tersebut dilakukan sekali dalam setahun. Sedangkan Babantan besar dilakukan sekali dalam lima tahun. Warga berkeyakinan dengan menggelar Babantan, mereka akan terhindar dari marabahaya dan diberkahi rezeki saat menanam atau membuka ladang.

Selain Babantan, warga juga rutin menggelar ritual Nyelepit Taun’t. Ritual ini dilakukan warga saat memulai dan mengakhiri masa panen. Ia berupa ungkapan syukur atas hasil panen. Bagi warga, adat dan tradisi menjadi satu kesatuan dalam hidup mereka. Terlebih hutan dan kampung tembawang merupakan sumber hidup yang harus dijaga dan dihormati.

Donatus Djambi (57), tokoh masyarakat Simpang Dua, mengatakan kampung tembawang atau bawas belukar adalah sumber utama kehidupan warga sejak dulu. Masyarakat saling berbagi kepada keturunannya. Dari generasi pertama sampai generasi berikutnya wajib membagikan sebagai warisan lelulur untuk keberlangsungan hidup sehari-hari.

“Seingat saya, tembawang telah ada sejak generasi pertama moyang kami. Sekarang saya sudah generasi ke tujuh. Hingga saat ini berarti sudah kurang lebih 600 tahun yang lalu tembawang telah ada. Kampung tembawang yang saya kenal ada di Kampung Bukang dan Banjur,” ujarnya.

Sesajian untuk roh dalam ritual Babantan. Foto: Desa Kepari
Sesajian untuk roh dalam ritual Babantan. Foto: Desa Kepari

Senada dengan itu, Yohanes Terang (58), pegiat lingkungan dari Dusun Manjau, Desa Laman Satong, Kecamatan Matan Hilir Utara mengatakan kampung tembawang itu diperkirakan sudah ada sejak abad ke-18. ”Ini adalah warisan untuk anak cucu kelak. Mereka punya hak penuh untuk menjaga dan mengelolanya,” katanya, Rabu (24/7/2014).

Menurut Yohanes, tata aturan berupa adat sudah tertuang dalam peraturan kampung tembawang. Misalnya, generasi yang satu dan generasi yang lain tidak boleh mengganggu tanam tumbuh generasi lainnya. Dalam satu generasi pun, setelah kampung tembawang dibagikan, tidak boleh saling rebut (bersengketa).

Pria yang akrab disapa Kek Alui ini menjelaskan, dalam tradisi adat Dayak Simpang, kampung tembawang adalah hak masyarakat untuk menjaga dan memanfaatkannya sebagai sumber hidup dan tertuang dalam hukum tidak tertulis (hukum adat). Tata aturan itu menjadi patokan yang berlaku bagi siapa saja. Setiap generasi memiliki warisan kepada anak cucu berupa bawas belukar atau hutan sekunder.

Hal itu juga diamini Yustinus, Kepala Desa Kepari. Menurutnya, kampung tembawang di desanya sudah ada sejak tahun 1950-an. Lantaran kampung tembawang sudah menjadi bagian dari nafas hidup warga, sejatinya ia dapat dijaga kelestariannya. “Kampung tembawang sebagai salah satu bentuk kecil hutan kemasyarakatan, tanah adat, dan hak kelola masyarakat itu seyogyanya diselamatkan,” katanya.

Pria 38 tahun ini mencontohkan keberadaan Bukit Tampun sebagai kampung tembawang. Kenapa? Lantaran perbukitan tersebut berfungsi sebagai penyangga dan penyedia ketersediaan air. Bukit itu memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi. Di dalamnya terdapat tumbuhan obat dan beragam jenis satwa.

Saat ini, kata Yustinus, Desa Kepari didampingi Sahabat Masyarakat Pantai (Sampan) Kalimantan. “Beberapa ancaman sudah ada. Misalnya kebakaran lahan dan hutan, kekeringan, penebangan liar, dan investasi pertambangan serta perusahaan sawit,” ungkapnya.

Oleh karenanya, jelas Yustinus, pihaknya masih membutuhkan aspek legalitas dan pengakuan. “Kampung tembawang sebagai nafas hidup warga sudah layak untuk diakui oleh pemerintah, terutama dalam hal status lahan dan pengakuan hak kelola demi keberlanjutan tembawang yang lestari,” ucapnya.

Salah Satu Kampung Buah Masyarakat di Tanah Kayong, Sukadana. Foto: Yayasan Palung
Salah Satu Kampung Buah Masyarakat di Tanah Kayong, Sukadana. Foto: Yayasan Palung

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,