,

Muara Siran: Merawat Gambut, Menolak Sawit

Tidak semua daerah yang berada di wilayah Kutai Kartanegara hidup berkelimpahan, meski kabupaten ini dikenal memiliki pendapatan daerah yang tinggi. Masih ada desa yang kondisinya minim infrastruktur. Muara Siran, salah satunya.

Muara Siran yang berada di Kecamatan Muara Kaman, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, merupakan hamparan datar. Letaknya pada salah satu rangkaian danau-danau besar Mahakam. Sebagian besar wilayahnya terendam air, sehingga julukannya kampung di atas air. Betapa tidak, 80% dari wilayahnya seluas 42,201 hektar itu merupakan rawa berair yang basah sepanjang tahun.

Untuk mencapai desa ini, kita harus menempuh jalan darat dahulu selama empat jam dari Samarinda, berhenti di Muara Kaman, lalu menyusuri sungai dengan perahu (ces) sekitar satu jam.

Banjir adalah anugerah

“Banjir adalah anugerah, bukan bencana bagi warga Muara Siran” kata Pak Uhay, Kepala Desa Muara Siran. Musim banjir berarti musim panen ikan. Air yang berlebih menyebabkan permukaan rawa naik, berbagai jenis ikan lebih mudah ditangkap. “Saat itu, justru kami banyak uang, karena tangkapan ikan berlimpah,” lanjutnya.

Abdallah Naem, peneliti dari Jatam Kaltim, mengambarkan kehidupan warga Muara Siran ditopang oleh lingkungan alamnya. Penjaga kehidupan Muara Siran ada tiga yaitu rawa, danau, dan sungai. Ketiganya membentuk satu kesatuan, sebuah rangkaian kehidupan. “Gangguan pada salah satunya akan berdampak buruk pada kehidupan warga” tuturnya.

Dengan kondisi alam yang unik, Muara Siran kaya akan jenis ikan air tawar. Sehari-hari, sebagian besar warganya bekerja sebagai nelayan: menangkap ikan di rawa, danau, atau sungai. Ikan ditangkap dengan berbagai alat seperti pancing, jala, dan perangkap.

Jenis ikan yang biasa diperoleh adalah biawan, haruan, lele, belida dan pada musim tertentu muncul udang galah. Selain itu, ada juga belut dan sejenis ular kadut, ular jinak yang tidak berbahaya untuk diambil kulitnya. Hasil tangkapan umumnya dijual dalam bentuk ikan segar, namun ada juga yang dikeringkan. Ikan jenis tertentu bahkan bukan hanya dipasarkan ke Muara Kaman, ibu kota kecamatan, tetapi juga hingga Banjar dan Jakarta.

“Pendapatan kami bekerja sebagai nelayan sudah cukup untuk menopang kehidupan kami. Makanya, kami menolak ketika perkebunan sawit akan masuk,” terang Pak Uhay.

Masuknya investasi dalam bentuk perkebunan sawit akan merubah bentang alam dan merampas ruang penghidupan masyarakat Muara Siran yang kebanyakan adalah nelayan. “Lagi pula lahan di daerah kami ini tidak cocok untuk sawit,” lanjutnya.

Sebagian besar warga Muara Siran bekerja sebagai nelayan dan mampu menopang kehidupan mereka. Mereka menentang kehadiran kebun kelapa sawit yang akan masuk ke desa mereka. Foto: Yustinus S. Hardjanto
Sebagian besar warga Muara Siran bekerja sebagai nelayan dan mampu menopang kehidupan mereka. Mereka menentang kehadiran kebun kelapa sawit yang akan masuk ke desa mereka. Foto: Yustinus S. Hardjanto

Karena gambut Muara Siran disebut-sebut

Muara Siran mulai disebut-sebut ketika muncul inisatif dari Bupati Kutai Kartanegara untuk melakukan konservasi lahan gambut. Dalam catatan Yayasan Bioma, Kabupaten Kutai Kartanegara mempunyai lahan gambut terluas dibanding daerah lain di Kalimantan Timur. Luasannya kurang lebih 235.862 hektar dan terkonsentrasi di Mahakam Tengah yang meliputi Kecamatan Muara Wis dan Muara Kaman.

Clinton Climate Institution (CCI) dan Bioma pernah melakukan serangkaian kegiatan di Mahakam Tengah untuk mengkampanyekan konsep REDD+. Kurang lebih 20 desa (kampung) yang berinteraksi dengan kegiatan itu. Muara Siran adalah salah satu desa yang menyambut konsep konservasi lahan gambut sebagai langkah untuk mitigasi iklim.

Pak Uhay menuturkan, Pemerintah Desa Muara Siran telah membuat perencanaan tata ruang kampung dan pembentukan Badan Usaha Milik Desa (Bumdes). Pembentukan Bumdes sebagai persiapan implementasi REDD+ agar berdaya guna untuk semua warga. “Namun, keberadaan Bumdes tidak semata-mata untuk REDD+. Ada atau tidak ada REDD+, Bumdes tetap penting sebagai pengelola kekayaan sumber daya alam Muara Siran”, tegasnya.

Ade Fadli dalam tulisannya “Siran: Hantu Pancung, Danau Gaib dan Gambut Berayun” menceritakan tentang kode, sistem dan kepercayaan masyarakat Muara Siran sebagai bentuk kebijakan adat untuk menyeimbangkan dan melestarikan sumber daya alam mereka.

Kisah tentang hantu pancung, naga, danau gaib  dan gambut berayun, jika terus dipelihara dan dipercaya akan menjadi sebuah kebijaksanaan dan landasan usaha konservasi yang sukses. Namun, peranan pemerintah juga penting dalam mendukung upaya masyarakat mempertahankan lahan basahnya. Kebijakan pemerintah yang memberikan ijin dalam bentuk konsesi lahan basah untuk dikonversi menjadi perkebunan selayaknya kembali dikoreksi.

Masyarakat Muara Siran sudah membuktikan dirinya mau memelihara dan melindungi warisan kekayaan alam, sosial dan budayanya.  Bupati, pemerintah daerah Kutai Kartanegara juga mempunyai komitmen untuk mengkonservasi lahan basah, wilayah gambut Mahakam Tengah dimana Muara Siran termasuk di dalamnya.

Yang harus dibuktikan adalah perwujudan keberpihakan pemerintah dengan mendukung keinginan warga. Yaitu, meninjau kembali 13 ijin usaha perkebunan kelapa sawit yang terlanjur diberikan di wilayah Mahakam Tengah.

Dari Muara Siran, kita belajar bagaimana mengelola lahan basah sebagai ekosistem dengan produktivitas tinggi. Lumbung basah yang telah menyediakan berbagai macam kebutuhan warga dan makhluk hidup lainnya. Masyarakat Muara Siran telah membuktikannya dari generasi ke generasi.

Muara Siran kaya akan jenis ikan tawar seperti biawan, haruan, lele, belida, dan udang galah yang muncul pada musim tertentu. Foto: Yustinus S. Hardjanto
Muara Siran kaya akan jenis ikan tawar seperti biawan, haruan, lele, belida, dan udang galah yang muncul pada musim tertentu. Foto: Yustinus S. Hardjanto

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,